Sejalan Komnas HAM, TGIPF Sebut Gas Air Mata Mematikan di Tragedi Kanjuruhan
Senin, 10 Oktober 2022 - 20:30 WIB
JAKARTA - Polri menegaskan tidak ada satupun dokter spesialis yang menyatakan korban tewas tragedi Kanjuruhan disebabkan gas air mata. Polisi juga berdalih belum ada penelitian jurnal ilmiah yang menyebutkan gas air mata dapat mengakibatkan seseorang sampai meninggal dunia.
Merespons Polri tersebut, Anggota Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Rhenald Kasali mengatakan justru penggunaan gas air mata saat mengurai massa usai pertandingan Arema FC vs Persebaya menjadi penyebab kematian. Hal ini sejalan dengan pendapat Komnas HAM bahwa tragedi Kanjuruhan terjadi dikarenakan gas air mata yang menjadi pemicu utama jatuhnya korban jiwa. Baca juga: Polri: Tak Satu Pun Dokter Spesialis Nyatakan Korban Tewas Kanjuruhan Akibat Gas Air Mata
"Ya (gas air mata mematikan), tidak dibenarkan menggunakan senjata yang berpotensi bisa mematikan," ujar Rhenald kepada MNC Portal, Senin (10/10/2022).
Rhenald menjelaskan penggunaan gas air mata memiliki tingkatkan. Harus ada pembeda antara gas air mata dalam menangani teroris dan penanganan kerumunan.
"Gas air mata ada tingkatannya, misalnya untuk penanganan terorisme tentu berbeda dengan gas air mata untuk penanganan crowd yang mencari kegembiraan," jelasnya.
Bahkan, kepolisian wajib memerhatikan beberapa aspek ketika hendak menggunakan gas air mata. "Lalu gas air mata kalaupun digunakan harus penuh kehati-hatian. Dengan memperhatikan arah angin, ruang terbuka, dan tidak untuk memprovokasi reaksi perlawanan crowd," tegasnya.
"Juga gas air mata kalau sudah expired harus dipahami apakah sudah berubah menjadi racun yang mematikan atau masih aman," sambungnya.
Rhenald menambahkan penggunaan gas air mata kedaluwarsa merupakan penyimpangan dan pelanggaran dalam pengamanan.
"Tentu itu adalah penyimpangan, tentu itu adalah pelanggaran. Karena gas air mata itu, ingat ini adalah kalau kepolisian itu adalah sekarang ini bukan military police bukan polisi yang berbasis militer tapi ini adalah civilian police. Nah maka polisi itu ditangankanani oleh kitab HAM," katanya.
"Jadi bukan senjata untuk mematikan tapi senjata untuk melumpuhkan supaya tidak menimbulkan agresivitas. Yang terjadi adalah justru mematikan. Jadi ini tentu harus diperbaiki," pungkasnya.
Merespons Polri tersebut, Anggota Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Rhenald Kasali mengatakan justru penggunaan gas air mata saat mengurai massa usai pertandingan Arema FC vs Persebaya menjadi penyebab kematian. Hal ini sejalan dengan pendapat Komnas HAM bahwa tragedi Kanjuruhan terjadi dikarenakan gas air mata yang menjadi pemicu utama jatuhnya korban jiwa. Baca juga: Polri: Tak Satu Pun Dokter Spesialis Nyatakan Korban Tewas Kanjuruhan Akibat Gas Air Mata
"Ya (gas air mata mematikan), tidak dibenarkan menggunakan senjata yang berpotensi bisa mematikan," ujar Rhenald kepada MNC Portal, Senin (10/10/2022).
Rhenald menjelaskan penggunaan gas air mata memiliki tingkatkan. Harus ada pembeda antara gas air mata dalam menangani teroris dan penanganan kerumunan.
"Gas air mata ada tingkatannya, misalnya untuk penanganan terorisme tentu berbeda dengan gas air mata untuk penanganan crowd yang mencari kegembiraan," jelasnya.
Bahkan, kepolisian wajib memerhatikan beberapa aspek ketika hendak menggunakan gas air mata. "Lalu gas air mata kalaupun digunakan harus penuh kehati-hatian. Dengan memperhatikan arah angin, ruang terbuka, dan tidak untuk memprovokasi reaksi perlawanan crowd," tegasnya.
"Juga gas air mata kalau sudah expired harus dipahami apakah sudah berubah menjadi racun yang mematikan atau masih aman," sambungnya.
Rhenald menambahkan penggunaan gas air mata kedaluwarsa merupakan penyimpangan dan pelanggaran dalam pengamanan.
"Tentu itu adalah penyimpangan, tentu itu adalah pelanggaran. Karena gas air mata itu, ingat ini adalah kalau kepolisian itu adalah sekarang ini bukan military police bukan polisi yang berbasis militer tapi ini adalah civilian police. Nah maka polisi itu ditangankanani oleh kitab HAM," katanya.
"Jadi bukan senjata untuk mematikan tapi senjata untuk melumpuhkan supaya tidak menimbulkan agresivitas. Yang terjadi adalah justru mematikan. Jadi ini tentu harus diperbaiki," pungkasnya.
(kri)
tulis komentar anda