Industrialisasi Kunci Sukses Ekonomi Pancasila
Selasa, 27 September 2022 - 11:22 WIB
Mendorong investasi di sektor ini merupakan sebuah keperluan. Akan tetapi upaya akuisisi teknologi perlu menjadi fokus utama, untuk meningkatkan tingkat kompetitif dan berdasarkan pada pengetahuan. Karena belajar dari pengalaman Indonesia sebelumnya, tanpa fokus ini maka pengembangan manufaktur tidak akan berkelanjutan.
Pada saat yang sama, kita melihat ada dua fenomena manufaktur yang ada di Indonesia: tingginya protes buruh terkait dengan upah dan banyaknya iklan dari kepala daerah di daerah industri yang menawarkan rendahnya biaya buruh sebagai keunggulan berinvestasi di daerahnya. Kedua fenomena tersebut menggambarkan bahwa produktivitas manufaktur di Indonesia cenderung rendah.
Padahal dalam “menggaet’ investasi, terdapat pola unik salah satu sumber penanaman modal terbesar, yakni Jepang. Smith & Florida (1994) menemukan bahwa Industri otomotif Jepang cenderung memiliki preferensi berlokasi di tempat yang saling berdekatan dengan populasi yang besar namun berpendidikan, serta padat manufaktur.
Pola ini kemudian dilanjutkan Jepang ketika menanamkan modal di berbagai negara berkembang. Pada proyek di Meksiko, ditemukan umumnya mereka berlokasi di kotamadya yang memiliki upah relatif tinggi namun produktif.
Mengapa demikian? Karena Industri Jepang cenderung memilih kualitas pembangunan manusia lebih tinggi dan stabilitas angkatan kerja ketimbang upah yang lebih rendah (Guzman, 2015). Mewariskan Kesejahteraan Ideologi pembangunan bangsa tidak perlu dikorbankan demi pertumbuhan ekonomi. Justru sebaliknya, keduanya dapat berjalan beriringan melalui upaya revitalisasi industri manufaktur.
Beberapa upaya dapat diperhatikan untuk meningkatkan kapasitas sektor manufaktur kita. Pertama, diperlukan paket kebijakan yang komprehensif hulu ke hilir. Yang juga mempertimbangkan siklus inovasi, yang dimulai dari riset, pengembangan awal teknologi, hingga produksi. Diperlukan insentif fiskal untuk R&D sebagai mekanisme de-risking (Mazzucato, 2011). Kemudian adanya bantuan pembiayaan untuk scale up bagi swasta yang ada di industri, termasuk untuk berkompetisi di pasar global.
Belajar dari Korea Selatan, bentuk disiplin ekspor ini akan mendorong perusahaan meningkatkan kualitas produknya demi bersaing di pasar, dan kelak produktivitas meningkat (Hahn & Choi, 2020). Strategi komprehensif ini juga melibatkan sektor finansial, terutama perbankan yang dimiliki oleh pemerintah. Penyaluran kredit murah alias window guidance kepada manufaktur yang berusaha scale up di pasar global perlu dipertimbangkan.
Dengan fokus utama pada akuisisi dan difusi teknologi di pasar domestik. Kesuksesan kebijakan-kebijakan ini bergantung pada bagaimana relasi antar pemerintah dan swasta. Selain menciptakan iklim usaha yang kondusif dan meminimalisasi risiko berusaha, tingkat kompetitif antara perusahaan domestik perlu dijaga.
Mendukung industri dalam negeri merupakan bukti patriotisme. Akan tetapi, perlu ada cara lebih baik untuk mengekspresikan patriotisme apabila tidak sesuai dengan bukti yang ada.
Perlu ada cara lebih baik dalam mengekspresikan nasionalisme, dan diperlukan bukti ilmiah untuk benar-benar mengekspresikannya secara tepat. Kebijakan patriotistik seperti tarif proteksi barang input mungkin terlihat populer secara politik. Secara prinsip, kebijakan ini bertujuan agar perusahaan dalam negeri cukup menggunakan barang dalam negeri dalam produksinya. Akan tetapi, perusahaan tidak serta merta mensubtitusi barang input impornya ke domestik ketika tarif diberlakukan. Begitulah menurut studi Nursamsu & Narjoko (2019).
Pada saat yang sama, kita melihat ada dua fenomena manufaktur yang ada di Indonesia: tingginya protes buruh terkait dengan upah dan banyaknya iklan dari kepala daerah di daerah industri yang menawarkan rendahnya biaya buruh sebagai keunggulan berinvestasi di daerahnya. Kedua fenomena tersebut menggambarkan bahwa produktivitas manufaktur di Indonesia cenderung rendah.
Padahal dalam “menggaet’ investasi, terdapat pola unik salah satu sumber penanaman modal terbesar, yakni Jepang. Smith & Florida (1994) menemukan bahwa Industri otomotif Jepang cenderung memiliki preferensi berlokasi di tempat yang saling berdekatan dengan populasi yang besar namun berpendidikan, serta padat manufaktur.
Pola ini kemudian dilanjutkan Jepang ketika menanamkan modal di berbagai negara berkembang. Pada proyek di Meksiko, ditemukan umumnya mereka berlokasi di kotamadya yang memiliki upah relatif tinggi namun produktif.
Mengapa demikian? Karena Industri Jepang cenderung memilih kualitas pembangunan manusia lebih tinggi dan stabilitas angkatan kerja ketimbang upah yang lebih rendah (Guzman, 2015). Mewariskan Kesejahteraan Ideologi pembangunan bangsa tidak perlu dikorbankan demi pertumbuhan ekonomi. Justru sebaliknya, keduanya dapat berjalan beriringan melalui upaya revitalisasi industri manufaktur.
Beberapa upaya dapat diperhatikan untuk meningkatkan kapasitas sektor manufaktur kita. Pertama, diperlukan paket kebijakan yang komprehensif hulu ke hilir. Yang juga mempertimbangkan siklus inovasi, yang dimulai dari riset, pengembangan awal teknologi, hingga produksi. Diperlukan insentif fiskal untuk R&D sebagai mekanisme de-risking (Mazzucato, 2011). Kemudian adanya bantuan pembiayaan untuk scale up bagi swasta yang ada di industri, termasuk untuk berkompetisi di pasar global.
Belajar dari Korea Selatan, bentuk disiplin ekspor ini akan mendorong perusahaan meningkatkan kualitas produknya demi bersaing di pasar, dan kelak produktivitas meningkat (Hahn & Choi, 2020). Strategi komprehensif ini juga melibatkan sektor finansial, terutama perbankan yang dimiliki oleh pemerintah. Penyaluran kredit murah alias window guidance kepada manufaktur yang berusaha scale up di pasar global perlu dipertimbangkan.
Dengan fokus utama pada akuisisi dan difusi teknologi di pasar domestik. Kesuksesan kebijakan-kebijakan ini bergantung pada bagaimana relasi antar pemerintah dan swasta. Selain menciptakan iklim usaha yang kondusif dan meminimalisasi risiko berusaha, tingkat kompetitif antara perusahaan domestik perlu dijaga.
Mendukung industri dalam negeri merupakan bukti patriotisme. Akan tetapi, perlu ada cara lebih baik untuk mengekspresikan patriotisme apabila tidak sesuai dengan bukti yang ada.
Perlu ada cara lebih baik dalam mengekspresikan nasionalisme, dan diperlukan bukti ilmiah untuk benar-benar mengekspresikannya secara tepat. Kebijakan patriotistik seperti tarif proteksi barang input mungkin terlihat populer secara politik. Secara prinsip, kebijakan ini bertujuan agar perusahaan dalam negeri cukup menggunakan barang dalam negeri dalam produksinya. Akan tetapi, perusahaan tidak serta merta mensubtitusi barang input impornya ke domestik ketika tarif diberlakukan. Begitulah menurut studi Nursamsu & Narjoko (2019).
tulis komentar anda