Industrialisasi Kunci Sukses Ekonomi Pancasila
Selasa, 27 September 2022 - 11:22 WIB
Dalam konteks ekonomi Pancasila yang menekankan pada upaya menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, industrialisasi merupakan faktor pendorong adanya demokratisasi ekonomi. Baik secara langsung melalui implikasinya di pasar ketenagakerjaan, maupun melalui peningkatan kapasitas fiskal. Industrialisasi menciptakan kondisi yang unik bagi demokrasi.
Besarnya lapangan kerja yang diciptakan di sektor ini, dengan pekerjaan yang semakin terspesialisasikan membuat mobilisasi massa politik oleh elite pragmatis menjadi semakin sulit dilakukan. Noort (2021) menggambarkan bahwa besarnya lapangan kerja di manufaktur, akan menciptakan redistribusi kekuatan politik secara relatif dari elitE otokrasi menjadi milik masyarakat luas. Kasus ini terjadi di berbagai negara, terutama Jerman.
Tentu proses demokratisasi melalui industrialisasi ini menjadi antitesis dengan struktur ekonomi yang berbasiskan komoditas semata. Walaupun komoditas dapat menjadi penyumbang pendapatan yang besar, sektor ini memiliki potensi dalam mendorong ketimpangan pendapatan. Seperti yang dialami Indonesia saat commodity boom di batu bara dan minyak sawit pada awal 2000-an (Arief dkk, 2014).
Pada aspek lain, seiring dengan meningkatnya lapangan kerja di sektor formal, kelak akan meningkatkan basis pajak, dan nantinya rasio pajak di sebuah negara akan meningkat. Meningkatnya penerimaan pajak, kelak akan menciptakan ruang fiskal yang lebih besar. Dengan ini, kapasitas negara dalam menanggung kebutuhan sosial akan bertambah, seperti membiayai pendidikan atau meningkatkan basis jaminan sosial kesehatan seperti BPJS. Maka tercapailah apa yang Pancasila cita-citakan: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Tentu saja hal ini berbeda dengan struktur ekonomi yang bergantung bukan pada rakyatnya, melainkan pada komoditas semata. Kecenderungan pemimpin untuk mengambil kebijakan yang tidak sesuai dengan aspirasi cenderung besar. Karena seakan-akan, pemerintahan tidak butuh rakyatnya untuk berjalan. Sebagai contoh adalah Rusia hari ini. Negara tersebut secara perekonomian diuntungkan dengan ekspor energi seperti gas ke Uni Eropa, dan menggunakannya untuk menciptakan ketergantungan energi negara-negara lain, tanpa perlu peduli pada aspirasi warga negaranya (Korteweg, 2018).
Katalis Pertumbuhan
Indonesia sebenarnya telah lama mencoba untuk melakukan industrialisasi dengan strategi yang terus berubah dalam beberapa kurun waktu. Diawali dengan berorientasi pada substitusi impor hingga orientasi ekspor, kemudian berfokus pada industri alat berat dan sebagainya. Pada periode-periode tersebut, tidak semua elemen kebijakan industri sukses.
Perubahan dari kebijakan proteksi menjadi berorientasi pada ekspor pada 1980-an merupakan reaksi dari tidak efektifnya kebijakan sebelumnya yang berbasis oil boom. Kemudian, Indonesia mengalami krisis 1997 yang berakibat pada deindustrialisasi prematur. Ialah transisi ekonomi sebuah negara dari sektor manufaktur menuju sektor jasa, sebelum sektor manufaktur tersebut beroperasi secara maksimal, sehingga mengakibatkan ketimpangan meningkat, kapasitas inovasi berkurang, dan hilangnya pekerjaan (Rodrik, 2016).
Fenomena tersebut tampak dari stagnannya nilai tambah manufaktur paska krisis. Salah satu faktor utama dari tidak berkembangnya pertumbuhan manufaktur di masa lalu adalah, pertumbuhan yang ada cenderung mengandalkan pada menambahkan buruh dan modal saja untuk meningkatkan produksi, ketimbang berupaya untuk meningkatkan produktivitas secara luas (Naudé, 2013).
Di saat yang sama, tingkat kompetitif sektor manufaktur tidak didukung oleh pengembangan teknologi lebih lanjut dan berakhir pada pertumbuhan produktivitas yang rendah. Berbeda dengan negara-negara di Asia Timur.
Besarnya lapangan kerja yang diciptakan di sektor ini, dengan pekerjaan yang semakin terspesialisasikan membuat mobilisasi massa politik oleh elite pragmatis menjadi semakin sulit dilakukan. Noort (2021) menggambarkan bahwa besarnya lapangan kerja di manufaktur, akan menciptakan redistribusi kekuatan politik secara relatif dari elitE otokrasi menjadi milik masyarakat luas. Kasus ini terjadi di berbagai negara, terutama Jerman.
Tentu proses demokratisasi melalui industrialisasi ini menjadi antitesis dengan struktur ekonomi yang berbasiskan komoditas semata. Walaupun komoditas dapat menjadi penyumbang pendapatan yang besar, sektor ini memiliki potensi dalam mendorong ketimpangan pendapatan. Seperti yang dialami Indonesia saat commodity boom di batu bara dan minyak sawit pada awal 2000-an (Arief dkk, 2014).
Pada aspek lain, seiring dengan meningkatnya lapangan kerja di sektor formal, kelak akan meningkatkan basis pajak, dan nantinya rasio pajak di sebuah negara akan meningkat. Meningkatnya penerimaan pajak, kelak akan menciptakan ruang fiskal yang lebih besar. Dengan ini, kapasitas negara dalam menanggung kebutuhan sosial akan bertambah, seperti membiayai pendidikan atau meningkatkan basis jaminan sosial kesehatan seperti BPJS. Maka tercapailah apa yang Pancasila cita-citakan: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Tentu saja hal ini berbeda dengan struktur ekonomi yang bergantung bukan pada rakyatnya, melainkan pada komoditas semata. Kecenderungan pemimpin untuk mengambil kebijakan yang tidak sesuai dengan aspirasi cenderung besar. Karena seakan-akan, pemerintahan tidak butuh rakyatnya untuk berjalan. Sebagai contoh adalah Rusia hari ini. Negara tersebut secara perekonomian diuntungkan dengan ekspor energi seperti gas ke Uni Eropa, dan menggunakannya untuk menciptakan ketergantungan energi negara-negara lain, tanpa perlu peduli pada aspirasi warga negaranya (Korteweg, 2018).
Katalis Pertumbuhan
Indonesia sebenarnya telah lama mencoba untuk melakukan industrialisasi dengan strategi yang terus berubah dalam beberapa kurun waktu. Diawali dengan berorientasi pada substitusi impor hingga orientasi ekspor, kemudian berfokus pada industri alat berat dan sebagainya. Pada periode-periode tersebut, tidak semua elemen kebijakan industri sukses.
Perubahan dari kebijakan proteksi menjadi berorientasi pada ekspor pada 1980-an merupakan reaksi dari tidak efektifnya kebijakan sebelumnya yang berbasis oil boom. Kemudian, Indonesia mengalami krisis 1997 yang berakibat pada deindustrialisasi prematur. Ialah transisi ekonomi sebuah negara dari sektor manufaktur menuju sektor jasa, sebelum sektor manufaktur tersebut beroperasi secara maksimal, sehingga mengakibatkan ketimpangan meningkat, kapasitas inovasi berkurang, dan hilangnya pekerjaan (Rodrik, 2016).
Fenomena tersebut tampak dari stagnannya nilai tambah manufaktur paska krisis. Salah satu faktor utama dari tidak berkembangnya pertumbuhan manufaktur di masa lalu adalah, pertumbuhan yang ada cenderung mengandalkan pada menambahkan buruh dan modal saja untuk meningkatkan produksi, ketimbang berupaya untuk meningkatkan produktivitas secara luas (Naudé, 2013).
Di saat yang sama, tingkat kompetitif sektor manufaktur tidak didukung oleh pengembangan teknologi lebih lanjut dan berakhir pada pertumbuhan produktivitas yang rendah. Berbeda dengan negara-negara di Asia Timur.
Lihat Juga :
tulis komentar anda