KH Cholil Nafis di Sidang MK: Ulama Sepakat Nikah Beda Agama Dilarang, Tidak Sah dan Haram
Senin, 26 September 2022 - 18:39 WIB
JAKARTA - Ulama Islam sepakat bahwa pernikahan beda agama dilarang. Hal itu disampaikan KH Cholil Nafis selaku dosen Hukum Islam PSKTTI Universitas Indonesia saat menjadi saksi ahli dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (26/9/2022).
Dia menjelaskan, UU Perkawinan menyebutkan suatu perkawinan dinyatakan sah apabila sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Berdasarkan rujukan tafsir, fikih, peraturan perundang-undangan, dan sosial keagamaan, dapat disimpulkan pernikahan beda agama antara laki-laki muslim maupun perempuan muslimah dengan orang non-muslim hukumnya tidak sah dan haram.
"Dan keputusan ulama Indonesia yang tergabung di organisasi MUI, NU, dan Muhammadiyah sepakat melarang pernikahan beda agama secara mutlak, baik laki-laki muslim maupun perempuan muslimah,” jelas Cholil dikutip dari laman MK.
Dia menuturkan penjelasan ini juga dimuat pada Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Pada Pasal 44 KHI terdapat larangan menikah beda agama.
Diketahui, Majelis Ulama Indonesia (MUI) selaku Pihak Terkait menghadirkan dua orang Ahli dalam sidang lanjutan ini selain Cholil, juga ada Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Hafid Abbas. M.
Sidang ini digelar berdasarkan permohonan perkara Nomor 24/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh E. Ramos Petege yang merupakan seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam.
Dalam keputusan MUI Nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 mengeluarkan fatwa tentang hukum larangan pernikahan beda agama. Yakni, perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah; dan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlu kitab menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah.
Sedangkan Nahdlatul Ulama (NU) dalam fatwa yang ditetapkan dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989, NU menegaskan nikah antara dua orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah. Selanjutnya organisasi Muhammadiyah dalam keputusan Muktamar Tarjih ke-22 Tahun 1989 di Malang Jawa Timur telah mengatakan tidak boleh menikahi wanita non-muslimah atau ahlul kitab.
Hafid Abbas yang juga Guru Besar Pendidikan HAM dari FIP Universitas Negeri Jakarta menjelaskan bahwa khusus untuk hak atas perkawinan, Pasal 28B UUD 1945 pada intinya menyebutkan (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Dia menjelaskan, UU Perkawinan menyebutkan suatu perkawinan dinyatakan sah apabila sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Berdasarkan rujukan tafsir, fikih, peraturan perundang-undangan, dan sosial keagamaan, dapat disimpulkan pernikahan beda agama antara laki-laki muslim maupun perempuan muslimah dengan orang non-muslim hukumnya tidak sah dan haram.
"Dan keputusan ulama Indonesia yang tergabung di organisasi MUI, NU, dan Muhammadiyah sepakat melarang pernikahan beda agama secara mutlak, baik laki-laki muslim maupun perempuan muslimah,” jelas Cholil dikutip dari laman MK.
Dia menuturkan penjelasan ini juga dimuat pada Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Pada Pasal 44 KHI terdapat larangan menikah beda agama.
Diketahui, Majelis Ulama Indonesia (MUI) selaku Pihak Terkait menghadirkan dua orang Ahli dalam sidang lanjutan ini selain Cholil, juga ada Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Hafid Abbas. M.
Sidang ini digelar berdasarkan permohonan perkara Nomor 24/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh E. Ramos Petege yang merupakan seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam.
Dalam keputusan MUI Nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 mengeluarkan fatwa tentang hukum larangan pernikahan beda agama. Yakni, perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah; dan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlu kitab menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah.
Sedangkan Nahdlatul Ulama (NU) dalam fatwa yang ditetapkan dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989, NU menegaskan nikah antara dua orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah. Selanjutnya organisasi Muhammadiyah dalam keputusan Muktamar Tarjih ke-22 Tahun 1989 di Malang Jawa Timur telah mengatakan tidak boleh menikahi wanita non-muslimah atau ahlul kitab.
Hafid Abbas yang juga Guru Besar Pendidikan HAM dari FIP Universitas Negeri Jakarta menjelaskan bahwa khusus untuk hak atas perkawinan, Pasal 28B UUD 1945 pada intinya menyebutkan (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Lihat Juga :
tulis komentar anda