Subsidi Energi Berbasis Orang

Jum'at, 03 Juli 2020 - 07:05 WIB
Sebagaimana diungkapkan pimpinan BKF itu saat rapat dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR pada akhir Juni lalu, skema subsidi LPG 3 kg dan solar menyebabkan pemborosan pada anggaran negara. Saat ini harga impor LPG terus membengkak seiring kebutuhan subsidi
KEMENTRIAN Keuangan (Kemenkeu) mengakui subsidi energi belum tepat sasaran. Penyaluran subsidi liquified petroleum gas (LPG) 3 kilogram (kg), bahan bakar minyak (BBM) solar, hingga listrik sebagian masih dinikmati oleh masyarakat yang seharusnya tidak menerima subsidi lagi. Dari catatan Kemenkeu terungkap, baru sekitar 36,4% masyarakat miskin yang menikmati budget subsidi LPG. Agar subsidi energi tepat sasaran, salah satu jalan yang diusulkan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) pada Kemenkeu, Febrio Kacaribo, adalah perlunya reformasi kebijakan penyaluran subsidi. Pasalnya, sebagaimana diungkapkan pimpinan BKF itu saat rapat dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR pada akhir Juni lalu, skema subsidi LPG 3 kg dan solar menyebabkan pemborosan pada anggaran negara. Saat ini harga impor LPG terus membengkak seiring kebutuhan subsidi yang terus melambung.

Supaya tidak terjebak dalam pemborosan anggaran, pemerintah menginginkan skema penyaluran subsidi energi tahun depan berbasis orang atau sama mekanisme yang dipakai pada program bantuan sosial (bansos). Gayung bersambut, Banggar menyalakan lampu hijau alias tidak keberatan. Hasil evaluasi pemerintah menyatakan, penyaluran subsidi berbasis orang seperti Kartu Sembako, Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan bansos lain lebih baik dibanding penyaluran subsidi energi. Selama ini, subsidi energi bukan hanya menekan anggaran, tetapi juga menimbulkan persoalan serius terkait utang pemerintah terhadap perusahaan negara di bidang energi, di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan PT Pertamina, yang selalu menumpuk setiap tahun.

Sebelumnya Bank Dunia telah membeberkan bahwa pelaksanaan program subsidi energi dan pupuk oleh pemerintah tidak maksimal alias tidak tepat sasaran. Di dalam kajian Bank Dunia, Public Expenditure Review, terungkap bahwa subsidi kedua komoditas tersebut masih dinikmati masyarakat kelas menengah, bukan kelas masyarakat berpendapatan rendah. Contohnya, lebih dari 50% subsidi BBM solar dinikmati masyarakat kelas menengah ke atas dan terdapat sekitar 20% subsidi LPG tidak tepat sasaran. Untuk subsidi pupuk terungkap sekitar 30% mengalami kebocoran atau subsidi tidak diterima yang berhak sehingga tidak berdampak pada kesejahteraan petani. Karena itu, Bank Dunia mengusulkan perlunya pemerintah merealokasi belanja subsidi. Tujuannya untuk menghemat dan memperbaiki kualitas anggaran belanja negara.

Meski sudah disepakati skema subsidi energi untuk tahun depan yang berbasis orang, Banggar tetap memberi catatan dengan meminta pemerintah memperbaiki data yang akan digunakan atau data dasar penyaluran subsidi. Permintaan wakil rakyat yang berkantor di Senayan itu sangat beralasan karena sampai saat ini penerima bansos masih banyak salah sasaran karena data kurang akurat atau belum diperbarui. Belum lama ini Kementerian Sosial (Kemensos) telah mengajukan penambahan pagu anggaran guna melakukan verifikasi dan validasi data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) menjadi Rp1,3 triliun. Berdasarkan data yang dipublikasikan Kemensos dari 514 kabupaten dan kota yang tersebar di seluruh Indonesia, terdapat 92 daerah yang tidak pernah melakukan verifikasi dan validasi DTKS sejak 2015 lalu. Dan, tercatat 319 kabupaten/kota melakukan pembaruan data sekitar 50%, serta sebanyak 103 kabupaten/kota memperbarui data lebih dari 50%.



Pembaruan data tidak bisa ditunda lagi karena DTKS adalah big data yang digunakan pemerintah dalam menyalurkan bantuan sosial terkait pengentasan kemiskinan. Selain itu, peta kemiskinan di negeri ini berubah total sebagai dampak dari pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang telah mendorong badai pemutusan hubungan kerja (PHK) begitu dahsyat dan mendongkrak angka kemiskinan. Pemerintah memprediksi jumlah penduduk miskin bisa mencapai 12%. Mengutip publikasi Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin negeri ini 24,97 juta orang atau sekitar 9,22% per September 2019 lalu.

Kesepakatan antara Banggar DPR dan pemerintah dalam penyaluran subsidi energi dengan skema berbasis orang adalah langkah yang tepat. Selama ini, skema subsidi energi berbasis barang sehingga sulit mengontrolnya. Lalu, tidak bisa menyalahkan masyarakat, meski mampu mereka mengonsumsi barang subsidi karena barang dijual bebas. Penyaluran subsidi energi berbasis orang yang tidak mampu dengan sendirinya menjadi tameng agar mereka yang tidak berhak menikmati subsidi alias masyarakat mampu terhalang. Hanya, sebelum mekanisme penyaluran subsidi tersebut pemerintah harus memperbarui data penerima. Jangan sampai skema berubah, tetapi menimbulkan kekisruhan baru karena data yang berhak menerima subsidi energi tidak akurat.
(ras)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More