HRWG Sesalkan Rencana Pembentukan Dewan Keamanan Nasional
Jum'at, 16 September 2022 - 14:24 WIB
JAKARTA - Human Rights Working Group (HRWG) menyesalkan rencana pemerintah melanjutkan upaya pengesahan Rancangan Peraturan Presiden tentang Dewan Keamanan Nasional (DKN). Apalagi hal itu telah ditolak oleh DPR dalam proses penyusunan RUU Keamanan Nasional.
”Adanya proses yang tertutup dan tidak melibatkan secara penuh berbagai kelompok masyarakat sipil, akademisi, dan pihak yang berkepentingan dalam proses perumusan Rancangan Perpres tentang DKN menunjukkan adanya upaya yang patut dipertanyakan,” ujar Direktur Eksekutif HRWG Daniel Awigra, Jumat (16/9/2022).
Merujuk pada Rekomendasi Komite HAM PBB pada 2013, Pemerintah Indonesia diminta untuk mengambil tindakan praktis mengakhiri impunity terkait dengan penahanan sewenang-wenang dan extrajudicial killings, serta melindungan hak-hak warga dan pembela HAM (Paragraf 16 dokumen Nomor CCPR/C/IDN/CO/1).
”Dalam hal ini, seharusnya memang pemerintah Indonesia memperhatikan aspek penguatan perlindungan warga sipil secara lebih utuh, termasuk di antaranya mencegah potensi adanya represivitas negara ketika Dewan Keamaman Nasional dibentuk. Bila kemudian Presiden tetap mengeluarkan Perpres terkait DKN, maka Peresiden sama sekali tidak mengindahkan upaya pembaruan sistem ketatanegaraan Indonesia yang terus-menerus disempurnakan sejak masa Reformasi,” kata dia.
Secara hukum, kata dia, Dewan Keamanan Nasional tidak memiliki payung hukum yang jelas di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebaliknya, UU Pertahanan Negara menegaskan tentang adanya Dewan Pertahanan Nasional (DPN) yang seharusnya perwujudan dari penyesuaian kewenangan Dewan Pertahanan Nasional (Wantannas).
”Alih-alih menyesuaikan tugas dan fungsi Wantannas saat ini dengan UU Pertahanan Nasional, Rancangan Perpres ini justru hendak memotong kompas proses yang sebelumnya telah dibahas dan ditolak oleh DPR dalam pengesahan RUU Keamanan Nasional,” katanya.
Kewenangan yang luas, yaitu mencakup keamanan nasional, keamanan negara, dan pertahanan negara, semakin membuat rencana pembentukan DKN ini semakin mengkhawatirkan, karena akan mengaburkan kewenangan dari setiap lembaga negara yang telah ditegaskan di masing-masing UU yang menaunginya, seperti TNI, Kepolisian, dan Badan Intelijen Negara.
”Adanya DKN justru akan mengacaukan tata kelola keamanan dan pertahanan yang telah ada, yang kemudian memperkuat dugaan adanya kecenderungan untuk membangun sistem pemerintahan yang lebih represif sebagaimana di masa Orde Baru,” ucapnya.
Mengacu pada alasan tersebut di atas, HRWG menilai sudah seharusnya Presiden tidak mengesahkan Rancangan Peraturan Presiden DKN tersebut untuk menghindari adanya kekacauan hukum dan kewenangan lembaga negara, termasuk pula mencegah terjadinya potensi pelanggaran hak asasi manusia dan terkikisnya prinsip demokrasi.
”Adanya proses yang tertutup dan tidak melibatkan secara penuh berbagai kelompok masyarakat sipil, akademisi, dan pihak yang berkepentingan dalam proses perumusan Rancangan Perpres tentang DKN menunjukkan adanya upaya yang patut dipertanyakan,” ujar Direktur Eksekutif HRWG Daniel Awigra, Jumat (16/9/2022).
Merujuk pada Rekomendasi Komite HAM PBB pada 2013, Pemerintah Indonesia diminta untuk mengambil tindakan praktis mengakhiri impunity terkait dengan penahanan sewenang-wenang dan extrajudicial killings, serta melindungan hak-hak warga dan pembela HAM (Paragraf 16 dokumen Nomor CCPR/C/IDN/CO/1).
”Dalam hal ini, seharusnya memang pemerintah Indonesia memperhatikan aspek penguatan perlindungan warga sipil secara lebih utuh, termasuk di antaranya mencegah potensi adanya represivitas negara ketika Dewan Keamaman Nasional dibentuk. Bila kemudian Presiden tetap mengeluarkan Perpres terkait DKN, maka Peresiden sama sekali tidak mengindahkan upaya pembaruan sistem ketatanegaraan Indonesia yang terus-menerus disempurnakan sejak masa Reformasi,” kata dia.
Secara hukum, kata dia, Dewan Keamanan Nasional tidak memiliki payung hukum yang jelas di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebaliknya, UU Pertahanan Negara menegaskan tentang adanya Dewan Pertahanan Nasional (DPN) yang seharusnya perwujudan dari penyesuaian kewenangan Dewan Pertahanan Nasional (Wantannas).
”Alih-alih menyesuaikan tugas dan fungsi Wantannas saat ini dengan UU Pertahanan Nasional, Rancangan Perpres ini justru hendak memotong kompas proses yang sebelumnya telah dibahas dan ditolak oleh DPR dalam pengesahan RUU Keamanan Nasional,” katanya.
Kewenangan yang luas, yaitu mencakup keamanan nasional, keamanan negara, dan pertahanan negara, semakin membuat rencana pembentukan DKN ini semakin mengkhawatirkan, karena akan mengaburkan kewenangan dari setiap lembaga negara yang telah ditegaskan di masing-masing UU yang menaunginya, seperti TNI, Kepolisian, dan Badan Intelijen Negara.
”Adanya DKN justru akan mengacaukan tata kelola keamanan dan pertahanan yang telah ada, yang kemudian memperkuat dugaan adanya kecenderungan untuk membangun sistem pemerintahan yang lebih represif sebagaimana di masa Orde Baru,” ucapnya.
Mengacu pada alasan tersebut di atas, HRWG menilai sudah seharusnya Presiden tidak mengesahkan Rancangan Peraturan Presiden DKN tersebut untuk menghindari adanya kekacauan hukum dan kewenangan lembaga negara, termasuk pula mencegah terjadinya potensi pelanggaran hak asasi manusia dan terkikisnya prinsip demokrasi.
(cip)
tulis komentar anda