Kontroversi Nikah Beda Agama, Guru Besar UIN Jakarta Gagas Omnibus Law
Kamis, 15 September 2022 - 12:20 WIB
JAKARTA - Guru Besar Hukum Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tholabi Kharlie menggulirkan gagasan koeksistensi hukum nasional sebagai respons untuk membenahi sengkarutnya praktik hukum di Indonesia dengan cara yang sistemik, komprehensif, dan holistik.
Dengan koeksistensi hukum nasional, pilar hukum dalam sistem hukum di Indonesia, yakni hukum Islam, hukum adat, dan hukum warisan kolonial Belanda, harus bersanding dan saling bekerjasama menunaikan amanat konstitusi.
”Untuk mewujudkan cita-cita tersebut dibutuhkan langkah konkret berupa koeksistensi hukum nasional (national law coexixtence) melalui pilar hukum yang tersedia,” kata Tholabi dikutip dalam keterangan nya, Kamis,(15/09/2022).
Tholabi mencontohkan kerumitan praktik hukum keluarga dengan administrasi negara. Dia melihat kerap ada persoalan di lapangan. Sebut saja perkawinan beda agama.
Dari sisi norma, baik pada Pasal 2 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun putusan Mahkamah Konstitusi 68/PUU-XII/2014, disandingkan dengan keberadaan norma seperti di pasal 35 huruf (a) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang memberi ruang perkawinan beda agama dari sisi administratif.
“Fakta inilah yang mestinya dapat dituntaskan oleh negara melalui penataan hukum keluarga yang solid dan holistik sehingga memberi kepastian hukum kepada warga negara,” tutur Tholabi.
Dalam konteks inilah, kata Tholabi, koeksistensi hukum nasional dapat dioperasionalkan secara konsisten mulai dari sisi hulu hingga hilir. Eksistensi hukum agama (Islam) dalam hukum keluarga secara konsekuen dijalankan dengan baik oleh pemeluknya yang berkedudukan menjadi dasar bagi negara dalam pengadministrasian kependudukan di bidang perkawinan untuk memberi kepastian hukum.
“Kebijakan hukum negara yang dituangkan melalui Undang-Undang dan aturan turunan lainnya menjadi titik pijak untuk menyudahi kerumitan yang dipicu oleh benturan antar-norma. Langkah selanjut- nya, secara simultan kesamaan pemahaman oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) khususnya penyelenggara administrasi negara,” kata Tholabi.
Dengan koeksistensi hukum nasional, pilar hukum dalam sistem hukum di Indonesia, yakni hukum Islam, hukum adat, dan hukum warisan kolonial Belanda, harus bersanding dan saling bekerjasama menunaikan amanat konstitusi.
”Untuk mewujudkan cita-cita tersebut dibutuhkan langkah konkret berupa koeksistensi hukum nasional (national law coexixtence) melalui pilar hukum yang tersedia,” kata Tholabi dikutip dalam keterangan nya, Kamis,(15/09/2022).
Tholabi mencontohkan kerumitan praktik hukum keluarga dengan administrasi negara. Dia melihat kerap ada persoalan di lapangan. Sebut saja perkawinan beda agama.
Dari sisi norma, baik pada Pasal 2 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun putusan Mahkamah Konstitusi 68/PUU-XII/2014, disandingkan dengan keberadaan norma seperti di pasal 35 huruf (a) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang memberi ruang perkawinan beda agama dari sisi administratif.
“Fakta inilah yang mestinya dapat dituntaskan oleh negara melalui penataan hukum keluarga yang solid dan holistik sehingga memberi kepastian hukum kepada warga negara,” tutur Tholabi.
Dalam konteks inilah, kata Tholabi, koeksistensi hukum nasional dapat dioperasionalkan secara konsisten mulai dari sisi hulu hingga hilir. Eksistensi hukum agama (Islam) dalam hukum keluarga secara konsekuen dijalankan dengan baik oleh pemeluknya yang berkedudukan menjadi dasar bagi negara dalam pengadministrasian kependudukan di bidang perkawinan untuk memberi kepastian hukum.
“Kebijakan hukum negara yang dituangkan melalui Undang-Undang dan aturan turunan lainnya menjadi titik pijak untuk menyudahi kerumitan yang dipicu oleh benturan antar-norma. Langkah selanjut- nya, secara simultan kesamaan pemahaman oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) khususnya penyelenggara administrasi negara,” kata Tholabi.
tulis komentar anda