Pandemi COVID-19, BPJS Kesehatan Perlu Menambah Kuota PBI
Senin, 27 April 2020 - 14:02 WIB
JAKARTA - Pemerintah belum juga mengeluarkan peraturan baru untuk merespons putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Pemerintah berlindung pada Peraturan MA yang memberi waktu 90 hari untuk menjalankan keputusan.
Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar mengatakan pemerintah seharusnya mempercepat terbitnya aturan baru yang merevisi Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Ini akan meringankan pekerja informal yang terdampak pandemi COVID-19 untuk membayar iuran di angka Rp25,500 untuk kelas III, kelas II Rp51.000, dan kelas Rp80.000.
Pekerja di sektor informal, seperti tukang ojek dan pedagang mendominasi peserta mandiri BPJS Kesehatan. “Pertimbangan ekonomi yang harus dikedepankan, jangan pertimbangan hukum. Masuknya per Maret, artinya 1 Mei, ada kelebihan pembayaran di Maret dan April,” ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Senin (27/4/2020).
Sebelum putusan MA pada 27 Februari lalu, pemerintah menargetkan pemasukan dari peserta mandiri itu sekitar Rp14 triliun. Setelah putusan MA, besaran target pemasukan direvisi menjadi Rp9 triliun.
Timboel mengungkapkan pemerintah sudah menyuntikkan dana dari anggaran pendapatan dan belanja negara sekitar Rp3 triliun. Itu artinya masih ada defisit sekitar Rp3 triliun.
“Tinggal Rp2 triliun itu dicari oleh BPJS kesehatan dari piutang-piutang iuran yang belum tertagih, agar putusan MA tidak menjadi masalah. BPJS harus kreatif bagaimana mendapatkan iuran tertunggak itu,” tuturnya.
Namun, pemerintah perlu memperhatikan keadaan ekonomi yang terus memburuk. Masyarakat miskin pun diprediksi bertambah. Pemerintah perlu mengantisipasi itu dengan memasukkan masyarakat miskin baru ke dalam penerima bantuan iuran (PBI).
Saat ini kuota PBI itu mencapai 96,8 juta orang. Dengan adanya pandemi COVID-19, tentu kuota itu sebaiknya ditambah untuk menampung masyarakat yang tidak mampu membayar karena usahanya berhenti atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Konsekuensi kuota pesertanya dinaikkan dan anggaran ditambahkan. Ini harus didorong agar rakyat miskin sesuai UU Sistem Jaminan Sosial Nasional itu dijamin dan ditanggung pemerintah,” pungkasnya.
Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar mengatakan pemerintah seharusnya mempercepat terbitnya aturan baru yang merevisi Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Ini akan meringankan pekerja informal yang terdampak pandemi COVID-19 untuk membayar iuran di angka Rp25,500 untuk kelas III, kelas II Rp51.000, dan kelas Rp80.000.
Pekerja di sektor informal, seperti tukang ojek dan pedagang mendominasi peserta mandiri BPJS Kesehatan. “Pertimbangan ekonomi yang harus dikedepankan, jangan pertimbangan hukum. Masuknya per Maret, artinya 1 Mei, ada kelebihan pembayaran di Maret dan April,” ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Senin (27/4/2020).
Sebelum putusan MA pada 27 Februari lalu, pemerintah menargetkan pemasukan dari peserta mandiri itu sekitar Rp14 triliun. Setelah putusan MA, besaran target pemasukan direvisi menjadi Rp9 triliun.
Timboel mengungkapkan pemerintah sudah menyuntikkan dana dari anggaran pendapatan dan belanja negara sekitar Rp3 triliun. Itu artinya masih ada defisit sekitar Rp3 triliun.
“Tinggal Rp2 triliun itu dicari oleh BPJS kesehatan dari piutang-piutang iuran yang belum tertagih, agar putusan MA tidak menjadi masalah. BPJS harus kreatif bagaimana mendapatkan iuran tertunggak itu,” tuturnya.
Namun, pemerintah perlu memperhatikan keadaan ekonomi yang terus memburuk. Masyarakat miskin pun diprediksi bertambah. Pemerintah perlu mengantisipasi itu dengan memasukkan masyarakat miskin baru ke dalam penerima bantuan iuran (PBI).
Saat ini kuota PBI itu mencapai 96,8 juta orang. Dengan adanya pandemi COVID-19, tentu kuota itu sebaiknya ditambah untuk menampung masyarakat yang tidak mampu membayar karena usahanya berhenti atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Konsekuensi kuota pesertanya dinaikkan dan anggaran ditambahkan. Ini harus didorong agar rakyat miskin sesuai UU Sistem Jaminan Sosial Nasional itu dijamin dan ditanggung pemerintah,” pungkasnya.
(kri)
tulis komentar anda