Serapan Anggaran Tak Sesuai Harapan
Rabu, 01 Juli 2020 - 06:00 WIB
NADA marah bercampur rasa jengkel mewarnai rapat terbatas Kabinet Indonesia Maju pada 18 Juni 2020 dan baru dipublikasikan di saluran YouTube Sekretariat Presiden akhir Juni lalu. Presiden RI Joko Widodo tak bisa menyembunyikan kekesalannya saat menyinggung soal belanja kesehatan. Di bidang kesehatan telah dianggarkan Rp75 triliun, tetapi yang terserap baru 1,53%. Hanya dalam hitungan detik setelah video orang nomor satu di negeri ini diunggah di platform penyedia layanan video gratis itu, langsung jagat media sosial (medsos) riuh.
Berbagai respons bermunculan. Misalnya ada yang menilai pertanda Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto bakal meninggalkan kursi jabatan, apalagi dalam pidato pengantar Presiden pada rapat kabinet itu menyebut kemungkinan terjadinya perubahan susunan (reshuffle ) kabinet. Ada juga yang membela Menkes dengan menyorot Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang terlalu birokratis dalam pencairan anggaran pada pandemi Covid-19. Lainnya, ada yang mempertanyakan kondisi kas negara. Jangan-jangan anggaran negara dalam kondisi memprihatinkan sehingga berdampak pada belanja kementerian dan lembaga.
Munculnya berbagai spekulasi masyarakat seputaran anggaran negara, entah masalah pencairan dana yang terlalu birokratis atau isi kas negara yang memang lagi menipis, itu wajar-wajar saja. Tugas pemerintah bagaimana membuktikan bahwa spekulasi tersebut hanya isapan jempol, sekaligus membuktikan perintahan Presiden Jokowi bahwa dana anggaran tidak dibiarkan mengendap dan segera dibelanjakan agar terserap sehingga berdampak pada pemutaran roda perekonomian nasional. Masalahnya, bila pertumbuhan ekonomi terjun bebas pada kuartal ketiga alias bertumbuh negatif, kehadiran resesi ekonomi Indonesia sulit ditolak.
Sebelumnya Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati sudah memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi triwulan kedua bakal mengikuti triwulan kesatu yang negatif. Kalau di triwulan ketiga tumbuh negatif lagi, maka resesi ekonomi tak bisa dihindari. Karena itu, angka pertumbuhan ekonomi triwulan ketiga minimal 1% dan berharap serapan belanja dari pemulihan ekonomi nasional (PEN) bisa menjadi dewa penyelamat. Dari prediksi Kementerian Keuangan (Kemenkeu), apabila anggaran PEN yang nilainya ratusan triliun terserap dengan baik setidaknya bisa berkontribusi hingga 1,4% pada pertumbuhan ekonomi nasional hingga akhir tahun ini.
Berselang sekitar 10 hari setelah Presiden Jokowi marah di depan para pembantunya, pihak Kemenkeu mengklaim penyaluran insentif kesehatan dalam program PEN sudah mencapai 4,68% dari anggaran sebesar Rp87,55 triliun. Selain itu, realisasi perlindungan sosial seperti bansos sudah di level 34,05%, insentif usaha 10,14% dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sekitar 22,74%, dan pemerintah daerah sekitar 4%. Adapun anggaran yang disiapkan pemerintah untuk program PEN sebesar Rp695,2 triliun dari rencana semula sebesar Rp677 triliun. Dari anggaran jumbo itu dialokasikan untuk kesehatan Rp87,55 triliun, perlindungan sosial sebesar Rp203,9 triliun, insentif usaha sekitar Rp120,61 triliun, lalu UMKM Rp123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp53,57 triliun, serta dukungan sektoral kementerian/lembaga dan pemerintah daerah sebesar Rp106,11 triliun.
Bagaimana dengan kinerja anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dari Januari sampai Mei tahun ini? Realisasi pendapatan negara dan hibah tercatat Rp664,32 triliun hingga Mei 2020 atau turun sekitar 9,02% bila dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Hampir seluruh jenis pajak utama mengalami kontraksi dari Januari sampai Mei. Kontraksi penerimaan pajak pada Mei cukup dalam sebagai dampak Covid-19 dan pemanfaatan insentif fiskal terkait PEN. Sebaliknya, realisasi belanja negara tercatat Rp843,9 triliun atau mengalami kontraksi sekitar 1,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, Rp 855,9 triliun. Defisit anggaran pun membengkak.
Untuk mengatasi defisit APBN 2020 sudah bisa ditebak jalan pintas pemerintah adalah menarik utang. Hingga akhir Mei lalu pemerintah telah menarik utang baru sebesar Rp360,7 triliun. Dengan demikian, kinerja APBN yang diwarnai angka defisit yang besar sudah pasti akan menggerek rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB). Jadi, wajar kalau Presiden Jokowi marah dan mengancam mencopot para pembantunya yang kinerjanya masih standar dalam era serbasulit ini. Kemarahan Presiden pun tidak boleh berhenti hanya di depan sidang kabinet, tetapi dampaknya harus terwujud dalam kinerja pemerintah menghadapi segala persoalan yang melilit negeri ini.
Berbagai respons bermunculan. Misalnya ada yang menilai pertanda Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto bakal meninggalkan kursi jabatan, apalagi dalam pidato pengantar Presiden pada rapat kabinet itu menyebut kemungkinan terjadinya perubahan susunan (reshuffle ) kabinet. Ada juga yang membela Menkes dengan menyorot Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang terlalu birokratis dalam pencairan anggaran pada pandemi Covid-19. Lainnya, ada yang mempertanyakan kondisi kas negara. Jangan-jangan anggaran negara dalam kondisi memprihatinkan sehingga berdampak pada belanja kementerian dan lembaga.
Munculnya berbagai spekulasi masyarakat seputaran anggaran negara, entah masalah pencairan dana yang terlalu birokratis atau isi kas negara yang memang lagi menipis, itu wajar-wajar saja. Tugas pemerintah bagaimana membuktikan bahwa spekulasi tersebut hanya isapan jempol, sekaligus membuktikan perintahan Presiden Jokowi bahwa dana anggaran tidak dibiarkan mengendap dan segera dibelanjakan agar terserap sehingga berdampak pada pemutaran roda perekonomian nasional. Masalahnya, bila pertumbuhan ekonomi terjun bebas pada kuartal ketiga alias bertumbuh negatif, kehadiran resesi ekonomi Indonesia sulit ditolak.
Sebelumnya Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati sudah memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi triwulan kedua bakal mengikuti triwulan kesatu yang negatif. Kalau di triwulan ketiga tumbuh negatif lagi, maka resesi ekonomi tak bisa dihindari. Karena itu, angka pertumbuhan ekonomi triwulan ketiga minimal 1% dan berharap serapan belanja dari pemulihan ekonomi nasional (PEN) bisa menjadi dewa penyelamat. Dari prediksi Kementerian Keuangan (Kemenkeu), apabila anggaran PEN yang nilainya ratusan triliun terserap dengan baik setidaknya bisa berkontribusi hingga 1,4% pada pertumbuhan ekonomi nasional hingga akhir tahun ini.
Berselang sekitar 10 hari setelah Presiden Jokowi marah di depan para pembantunya, pihak Kemenkeu mengklaim penyaluran insentif kesehatan dalam program PEN sudah mencapai 4,68% dari anggaran sebesar Rp87,55 triliun. Selain itu, realisasi perlindungan sosial seperti bansos sudah di level 34,05%, insentif usaha 10,14% dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sekitar 22,74%, dan pemerintah daerah sekitar 4%. Adapun anggaran yang disiapkan pemerintah untuk program PEN sebesar Rp695,2 triliun dari rencana semula sebesar Rp677 triliun. Dari anggaran jumbo itu dialokasikan untuk kesehatan Rp87,55 triliun, perlindungan sosial sebesar Rp203,9 triliun, insentif usaha sekitar Rp120,61 triliun, lalu UMKM Rp123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp53,57 triliun, serta dukungan sektoral kementerian/lembaga dan pemerintah daerah sebesar Rp106,11 triliun.
Bagaimana dengan kinerja anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dari Januari sampai Mei tahun ini? Realisasi pendapatan negara dan hibah tercatat Rp664,32 triliun hingga Mei 2020 atau turun sekitar 9,02% bila dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Hampir seluruh jenis pajak utama mengalami kontraksi dari Januari sampai Mei. Kontraksi penerimaan pajak pada Mei cukup dalam sebagai dampak Covid-19 dan pemanfaatan insentif fiskal terkait PEN. Sebaliknya, realisasi belanja negara tercatat Rp843,9 triliun atau mengalami kontraksi sekitar 1,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, Rp 855,9 triliun. Defisit anggaran pun membengkak.
Untuk mengatasi defisit APBN 2020 sudah bisa ditebak jalan pintas pemerintah adalah menarik utang. Hingga akhir Mei lalu pemerintah telah menarik utang baru sebesar Rp360,7 triliun. Dengan demikian, kinerja APBN yang diwarnai angka defisit yang besar sudah pasti akan menggerek rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB). Jadi, wajar kalau Presiden Jokowi marah dan mengancam mencopot para pembantunya yang kinerjanya masih standar dalam era serbasulit ini. Kemarahan Presiden pun tidak boleh berhenti hanya di depan sidang kabinet, tetapi dampaknya harus terwujud dalam kinerja pemerintah menghadapi segala persoalan yang melilit negeri ini.
(ras)
tulis komentar anda