Perlu Kerja Sama Tingkatkan Pemahaman Masyarakat Papua soal COVID-19
Selasa, 30 Juni 2020 - 07:30 WIB
JAKARTA - Sebagian besar masyarakat Papua sampai saat ini belum menyadari mengenai bahaya virus corona jenis baru, COVID-19 . Mereka beranggapan tidak akan terkena COVID-10 karena merasa tubuhnya kuat.
"Ada juga yang meyakini bahwa pandemi ini sebagai bentuk kutukan dari Tuhan. Pandangan kultural ini mungkin menjadi alasan mengapa masyarakat cenderung tidak patuh pada protokol kesehatan," kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Nduga, Innah Gwinjangge dalam acara webinar yang diadakan oleh Jaringan Damai Papua (JDP) Jakarta, Senin (29/6/2020).
Menurutnya, untuk meningkatkan pemahaman masyarakat Papua terkait COVID-19 , maka diperlukan kerja sama dengan lembaga gereja dan sekolah. Selain itu, pemerintah juga perlu menyediakan puskesmas udara dengan helikopter untuk menjangkau penduduk di daerah pedalaman Nduga. ( )
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat, Victor Nugrahaputra berharap pandemi COVID-19 bisa menjadi momentum untuk melakukan terobosan bagi penyediaan fasilitas kesehatan yang lebih baik di Papua dan Papua Barat. Selain juga penting untuk melanjutkan pembangunan Palapa Ring Timur untuk mendukung teknologi kesehatan (telemedicine) untuk menjangkau seluruh Papua.
"Penyebab kematian terbanyak telah mengalami perubahan, terutama disebabkan penyakit katastropik yang berbiaya mahal, seperti stroke, ischemic heart disease, diabetes, TBC, dan cirrhosis," katanya.
Bupati Paniai Meki Nawipa menyatakan, pandemi COVID-19 tidak bisa diselesaikan hanya dengan uang. Menurutnya, harus ada komunikasi bersama dengan para bupati wilayah adat Meepago (Kabupaten Intan Jaya, Paniai, Deiyai dan Dogiyai). "Sampai saat ini masih ada masyarakat yang kurang paham Covid-19.
Sementara itu, Koordinator JDP Jakarta, Adriana Elisabeth menjelaskan, webinar ini bertujuan agar publik tidak hanya tahu bahwa persoalan Papua tidak hanya konflik politik dan keamanan, tapi juga kesehatan masyarakatnya. Menurutnya, secara umum Papua berada dalam tiga kondisi darurat. Pertama, penyakit endemik yang ada sebelum virus corona, yaitu malaria, TBC, HIV/AIDS dan kekurangan gizi. Kedua, darurat kesehatan karena wabah Covid-19 sejak ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia secara nasional. Ketiga, konflik berkepanjangan sejak 1960-an, terutama konflik bersenjanta khususnya di wilayah pegungungan tengah Provinsi Papua.( )
"Darurat kesehatan terkait COVID-19 dialami oleh orang Papua, terutama yang tinggal di daerah pedalaman, seperti masyarakat di Kabupaten Boven Digul. Transportasi udara yang tidak tersedia secara reguler (setiap hari), mengakibatkan salah seorang narasumber webinar ini tidak bisa hadir, karena dokter Aarom Rumainum harus melayani tes PCR untuk 1.000 orang di pedalaman dan tidak bisa kembali tepat waktu ke Jayapura," katanya.
Sementara itu, dokter Maria Rumetaray dari Wamena mengatakan, penyakit yang lebih mengancam orang Papua bukan COVID-19, melainkan penyakit endemi yang telah lama ada di Papua. Baginya, untuk membangun SDM Papua yang sehat harus mengatasi penyakit endemik, bukan hanya fokus pada penanganan Covid-19. "Pelayanan kesehatan terkendala karena berlangsungnya konflik bersenjata, padahal standar pelayanan minimal (SPM) bagi masyarakat Papua saja belum terpenuhi selama ini," katanya.
"Ada juga yang meyakini bahwa pandemi ini sebagai bentuk kutukan dari Tuhan. Pandangan kultural ini mungkin menjadi alasan mengapa masyarakat cenderung tidak patuh pada protokol kesehatan," kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Nduga, Innah Gwinjangge dalam acara webinar yang diadakan oleh Jaringan Damai Papua (JDP) Jakarta, Senin (29/6/2020).
Menurutnya, untuk meningkatkan pemahaman masyarakat Papua terkait COVID-19 , maka diperlukan kerja sama dengan lembaga gereja dan sekolah. Selain itu, pemerintah juga perlu menyediakan puskesmas udara dengan helikopter untuk menjangkau penduduk di daerah pedalaman Nduga. ( )
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat, Victor Nugrahaputra berharap pandemi COVID-19 bisa menjadi momentum untuk melakukan terobosan bagi penyediaan fasilitas kesehatan yang lebih baik di Papua dan Papua Barat. Selain juga penting untuk melanjutkan pembangunan Palapa Ring Timur untuk mendukung teknologi kesehatan (telemedicine) untuk menjangkau seluruh Papua.
"Penyebab kematian terbanyak telah mengalami perubahan, terutama disebabkan penyakit katastropik yang berbiaya mahal, seperti stroke, ischemic heart disease, diabetes, TBC, dan cirrhosis," katanya.
Bupati Paniai Meki Nawipa menyatakan, pandemi COVID-19 tidak bisa diselesaikan hanya dengan uang. Menurutnya, harus ada komunikasi bersama dengan para bupati wilayah adat Meepago (Kabupaten Intan Jaya, Paniai, Deiyai dan Dogiyai). "Sampai saat ini masih ada masyarakat yang kurang paham Covid-19.
Sementara itu, Koordinator JDP Jakarta, Adriana Elisabeth menjelaskan, webinar ini bertujuan agar publik tidak hanya tahu bahwa persoalan Papua tidak hanya konflik politik dan keamanan, tapi juga kesehatan masyarakatnya. Menurutnya, secara umum Papua berada dalam tiga kondisi darurat. Pertama, penyakit endemik yang ada sebelum virus corona, yaitu malaria, TBC, HIV/AIDS dan kekurangan gizi. Kedua, darurat kesehatan karena wabah Covid-19 sejak ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia secara nasional. Ketiga, konflik berkepanjangan sejak 1960-an, terutama konflik bersenjanta khususnya di wilayah pegungungan tengah Provinsi Papua.( )
"Darurat kesehatan terkait COVID-19 dialami oleh orang Papua, terutama yang tinggal di daerah pedalaman, seperti masyarakat di Kabupaten Boven Digul. Transportasi udara yang tidak tersedia secara reguler (setiap hari), mengakibatkan salah seorang narasumber webinar ini tidak bisa hadir, karena dokter Aarom Rumainum harus melayani tes PCR untuk 1.000 orang di pedalaman dan tidak bisa kembali tepat waktu ke Jayapura," katanya.
Sementara itu, dokter Maria Rumetaray dari Wamena mengatakan, penyakit yang lebih mengancam orang Papua bukan COVID-19, melainkan penyakit endemi yang telah lama ada di Papua. Baginya, untuk membangun SDM Papua yang sehat harus mengatasi penyakit endemik, bukan hanya fokus pada penanganan Covid-19. "Pelayanan kesehatan terkendala karena berlangsungnya konflik bersenjata, padahal standar pelayanan minimal (SPM) bagi masyarakat Papua saja belum terpenuhi selama ini," katanya.
(abd)
Lihat Juga :
tulis komentar anda