NFT, Tantangan Baru Dunia Seni di Era Digital
Jum'at, 22 Juli 2022 - 13:24 WIB
YOGYAKARTA - Non Fungible Token (NFT) merupakan teknologi yang membawa kemudahan sekaligus tantangan untuk para kreator seni. Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Anggoro Dasananto, menerangkan bahwa saat ini pihaknya tengah mencari solusi terhadap tantangan baru di era digital ini.
Anggoro mengatakan kemajuan teknologi berupa NFT itu bisa jadi solusi untuk pembajakan karena sistemnya blockchain yang bisa menjadi identitas karya. “Namun di sisi lain, kita juga harus pikirkan bagaimana memastikan karya yang diunggah di sistem NFT itu benar-benar karya milik orang yang mengunggahnya pertama kali?" katanya.
Oleh karena itu saat ini, pemerintah tengah mendiskusikan peraturan yang dapat mengatur kemajuan teknologi terutama di bidang Kekayaan Intelektual (KI). DJKI Kementerian Hukum dan HAM ingin memastikan ekspresi baik itu berupa seni musik/lagu, buku/karya tulis, seni pertunjukan, maupun seni rupa diapresiasi dengan baik oleh penikmatnya.
Senada dengan Anggoro, pelukis Astuti Kusumi juga sepakat bahwa kemajuan teknologi telah memudahkan pemasaran dan pengembangan bisnis produk seni rupa. Kini perupa bisa memiliki akses yang lebih luas untuk memamerkan karya dan berinteraksi dengan penikmat karyanya berkat teknologi informasi.
“Memang ada kebutuhan teknologi untuk perupa-perupa tertentu, tapi ada juga perupa konvensional yang terkena dampak negatif dengan kehadiran teknologi,” imbuh Astuti.
Astuti juga berharap pemerintah memberikan sosialisasi yang lebih massif agar seluruh perupa memiliki pemaham dasar tentang pelindungan karya merek. Tujuannya agar tidak kesulitan jika sewaktu-waktu karyanya diplagiasi atau diklaim orang lain.
Namun DJKI sebagai focal point sistem pelindungan KI juga memiliki pelayanan penyelesaian sengketa alternatif bagi pihak yang berperkara di bidang KI. Ahmad Rifadi, Koordinator Pencegahan dan Penyelesaian Sengketa menjelaskan bahwa pelayanan penyelesaian sengketa alternatif ini di luar meja hijau.
“Untuk pemilik hak cipta, wajib melakukan mediasi terlebih dahulu seperti yang telah diatur oleh undang-undang. Mediasi adalah salah satu penyelesaian sengketa alternatif yang tidak memakan banyak waktu, dan lebih terjangkau secara biaya,” tuturnya.
Penyelesaian sengketa ini juga bisa menjadi pilihan bagi pemilik KI lain seperti merek, atau paten. Jalur alternatif ini hadir sebagai jawaban atas proses pengadilan yang biasanya rumit, memakan banyak waktu, dan biasanya juga memakan banyak biaya para pihak yang berperkara.
“Namun yang perlu diingat baik penyelesaian sengketa secara alternatif maupun tidak, pihak yang merasa memiliki kekayaan intelektual harus telah mendaftarkan kekayaan intelektualnya di DJKI agar aduannya dapat diproses,” pungkasnya. CM
Anggoro mengatakan kemajuan teknologi berupa NFT itu bisa jadi solusi untuk pembajakan karena sistemnya blockchain yang bisa menjadi identitas karya. “Namun di sisi lain, kita juga harus pikirkan bagaimana memastikan karya yang diunggah di sistem NFT itu benar-benar karya milik orang yang mengunggahnya pertama kali?" katanya.
Oleh karena itu saat ini, pemerintah tengah mendiskusikan peraturan yang dapat mengatur kemajuan teknologi terutama di bidang Kekayaan Intelektual (KI). DJKI Kementerian Hukum dan HAM ingin memastikan ekspresi baik itu berupa seni musik/lagu, buku/karya tulis, seni pertunjukan, maupun seni rupa diapresiasi dengan baik oleh penikmatnya.
Senada dengan Anggoro, pelukis Astuti Kusumi juga sepakat bahwa kemajuan teknologi telah memudahkan pemasaran dan pengembangan bisnis produk seni rupa. Kini perupa bisa memiliki akses yang lebih luas untuk memamerkan karya dan berinteraksi dengan penikmat karyanya berkat teknologi informasi.
“Memang ada kebutuhan teknologi untuk perupa-perupa tertentu, tapi ada juga perupa konvensional yang terkena dampak negatif dengan kehadiran teknologi,” imbuh Astuti.
Astuti juga berharap pemerintah memberikan sosialisasi yang lebih massif agar seluruh perupa memiliki pemaham dasar tentang pelindungan karya merek. Tujuannya agar tidak kesulitan jika sewaktu-waktu karyanya diplagiasi atau diklaim orang lain.
Namun DJKI sebagai focal point sistem pelindungan KI juga memiliki pelayanan penyelesaian sengketa alternatif bagi pihak yang berperkara di bidang KI. Ahmad Rifadi, Koordinator Pencegahan dan Penyelesaian Sengketa menjelaskan bahwa pelayanan penyelesaian sengketa alternatif ini di luar meja hijau.
“Untuk pemilik hak cipta, wajib melakukan mediasi terlebih dahulu seperti yang telah diatur oleh undang-undang. Mediasi adalah salah satu penyelesaian sengketa alternatif yang tidak memakan banyak waktu, dan lebih terjangkau secara biaya,” tuturnya.
Penyelesaian sengketa ini juga bisa menjadi pilihan bagi pemilik KI lain seperti merek, atau paten. Jalur alternatif ini hadir sebagai jawaban atas proses pengadilan yang biasanya rumit, memakan banyak waktu, dan biasanya juga memakan banyak biaya para pihak yang berperkara.
“Namun yang perlu diingat baik penyelesaian sengketa secara alternatif maupun tidak, pihak yang merasa memiliki kekayaan intelektual harus telah mendaftarkan kekayaan intelektualnya di DJKI agar aduannya dapat diproses,” pungkasnya. CM
(ars)
tulis komentar anda