Agropancasila

Jum'at, 26 Juni 2020 - 08:00 WIB
Sofyan Sjaf
Sofyan Sjaf

Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) IPB, Kader Muhammadiyah

PERINGATAN hari lahir Pancasila ke-75 tahun ini sangat monumental karena dunia (termasuk Indonesia) lagi dilanda pandemi Covid-19 (korona). Pandemi korona ternyata berhasil mendekonstruksi dan mempertanyakan keberlanjutan sistem kapitalis yang mendominasi dunia saat ini. Peringatan Food and Agriculture Organization (FAO) tentang ancaman krisis pangan dan bencana kelaparan 276 juta jiwa oleh World Food Programme (WFP) pasca pandemi korona semakin mempertegas bahwa dunia butuh sistem baru tata kelola pertanian (pangan). Lalu bagaimana Indonesia merespons peringatan tersebut?



Merajut Isu

Pembangunan pertanian di Indonesia, memberikan ambiguitas bagi para pelaku pertanian. Potensinya besar, namun tidak ditopang dengan keberpihakan politik menyebabkan kemiskinan dan ketertinggalan masih menjadi momok yang belum terselesaikan hingga kini. Alhasil, di tengah pandemi korona, negara mengalami ketidakmampuan menjamin terpenuhinya ketersediaan pangan dengan baik. Pertanyaannya, mengapa hal ini terjadi?

Semua ini dikarenakan tidak adanya tata kelola pertanian yang komprehensif sehingga dibutuhkan pemahaman terhadap isu strategis yang mampu mengurai sekaligus merajutnya menjadi pemahaman atau konsep yang kontekstual. Untuk itu, terdapat enam isu strategis yang perlu dirajut untuk melahirkan konsep dan pendekatan baru dalam pertanian: pertama, pertanian adalah sektor hajat hidup orang banyak. Awal 2009, penulis melihat fenomena keterkaitan "petani, kelaparan, dan kerusuhan". Fenomena ini didukung FAO (2009) yang mengungkapkan kenaikan harga bahan pokok sebagai pemicu kerusuhan di negara-negara berkembang. FAO mengingatkan, apabila warga mengalami keterbatasan pangan sehingga terjadi kelaparan, maka akan terjadi tiga opsi, yakni rusuh, bermigrasi, atau mati.

Kedua, liberalisme pertanian sebagai bentuk neokolonialisme. Pada medio 2012, penulis merasakan hadirnya "agrokolonial" yang ditandai dengan sikap pemerintah Indonesia di ajang World Economic Forum (WEF) yang menyepakati kemitraan dengan 14 perusahaan swasta (transnasional) pertanian. Aroma liberalisasi pangan begitu terasa yang kemudian terbukti lima tahun kemudian. Di mana kemitraan dengan perusahaan transnasional tersebut tidak berdampak terhadap penurunan angka indeks gini di perdesaan.

Ketiga, politik dan kebijakan pertanian yang berpihak petani. Isu ini adalah respons penulis atas kebijakan kementerian pertanian menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) dan posisi penataan relasi kuasa pangan yang absurd. Atas situasi ini, penulis memberikan tiga solusi: (1) pemerintah harus mempersenjatai petani dengan pengetahuan dan teknologi; (2) memperkuat benteng komoditas sesuai konteks ekologi; dan (3) menciptakan sekutu kedaulatan pangan. Ketiga solusi tersebut hanya bisa dilakukan apabila pemerintah menitikberatkan kekuatan petani dalam kuasa pertanian dan mengajak para pihak untuk bersama-sama petani menata persoalan pertanian.

Keempat, kedaulatan pangan. Isu ini merupakan respons penulis atas "salah makna" kedaulatan pangan oleh pemerintah. Untuk menuju kedaulatan pangan, seyogianya pemerintah memfasilitasi konsolidasi kaum tani melalui organisasi tani, memastikan ketersediaan alat-alat produksi yang dibutuhkan kaum tani, memperkuat kapasitas serta kelembagaan (hulu-hilir) petani, membangun konsorsium sebagai media rembuk petani-pemerintah-pihak lainnya, dan merevisi regulasi yang menghambat tumbuh dan berkembangnya aktivitas petani. Namun demikian, tanpa kerja sama yang baik, dipastikan semua tidak akan terwujud.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More