Quo Vadis, Ekspor Benih Lobster
Kamis, 25 Juni 2020 - 19:59 WIB
Potensi Lestari
Stok sumber daya lobster Indonesia berdasarkan Permen-KP No. 46/2016 pada 11 wilayah pengelolaan perikanan Indonesia Negara Republik Indonesia (WPPNRI) sebesar 8,804 ton per tahun. Penangkapan lobster dewasa yang diperbolehkan 7,044 ton per tahun supaya terjamin kelestariannya. Menariknya, sembilan WPPNRI lobster sudah mengalami tangkap lebih melampaui 100 persen. Terkecuali, Samudera Hindia (54 persen) dan Laut Banda (96 persen). Rata-rata tingkat pemanfaatannya sebelas WPPNRI mencapai 113 persen (KKP, 2016). Berarti, penangkapan sumber daya lobster Indonesia mengkhawatirkan. Bukankah membebaskan ekspor dan membiarkan penangkapan benih lobster di seluruh perairan Indonesia sama saja mempercepat kepunahannya? Esensi, Permen-KP No. 56/2016 sejatinya mencegah itu. Larangan penangkapan dan mengekspor baby lobster bukan saja Indonesia. India,Inggris, Australia, Kanada, Nikaragua, dan Hondurassudah sejak lama menerapkannya. Aturan mereka lebih ketat ketimbang Indonesia utamanya betina yang sedang bertelur.
Membebaskan ekspor Lobster dan penangkapan baby lobster di perairan Indonesia berpotensi mematikan usaha budidayanya di Indonesia semisal di Lombok Timur, sekaligus menghancurkan sumber daya plasma nutfahnya. Pasalnya, mereka membutuhkan lobster berukuran juvenile hingga 40 gram per ekor. Nantinya lobster ini dibesarkan dikeramba jaring apung hingga mencapai ukuran ekonomis. Tindakan pembebasan ekspor dan penangkapan benihnya sama artinya membiarkan perampasan ruang hidup dan sumber daya nya (ocean grabbing) di Indonesia demi kepentingan perburuan rente ekonomi (Bennet et al 2015). Perampasan ini berupa perubahan rezim alokasi sumber daya dan pemanfaatan sumber daya lobster. Selama ini alokasi dan pemanafaatan hasil tangkapan baby lobster diperuntukkan bagi kepentingan pembesaran dalam negeri. Berubah peruntukkannya menjadi kepentinngan ekspor yang memasok kebutuhahn pembudidayaan negara lain secara masif. Perubahan alokasi dan pemanfaatan juga dari hanya dilakukan oleh masyarakat lokal yang menangkap benih menjadi kepentingan bisnis korporasi yang berorientasi ekspor.
Bagaimana Semestinya?
Supaya sumber daya lobster tetap lestari di Indonesia maka pertama, pemerintah harus menggalakan kolaborasi riset dengan penguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset. Tujuannya, agar berhasil membenihkan di hatchery hingga fase puerulus (baby lobster) dengan tingkat SR minimal 30 persen. Lalu mensertifikasi dan menstandarisasi kualitasnya. Keberhasilan ini bakal mereduksi ketegantungan pasokan benih dari hasil tangkapan di alam. Imbasnya, keberlajutan siklus hidup tetap terjamin. Ekspor pun tak perlu lagi dipersoalkan. Prosesnya memang memerlukan waktu lama. Tapi, bila mengerjakannya secara konsisten dan tekun dengan dukungan anggaran dan teknologi budidaya memadai penulis yakin pasti sukses. Kasus ikan kerapu tikus (cromileptes altivelis) sebelum tahun 2000-an belum berhasil dibenihkan. Berkat dukungan riset dan kerja yang telaten, beberapa tahun kemudian pembenihannya berhasil. Tak lagi mengandalkan penangkapan di alam.
Kedua, pemerintah mestinya memprioritaskan pembesaran, dan ketimbang mengekspor benih alam sebelum sukses membenihkannya. Pasalnya tindakan ini, memicu tragedy of common sumber daya lobster di Indonesia. Sekarang saja tingkat eksploitasi lobster dewasa melampaui 100 persen. Bukankan jika benihnya tangkap lagi deplesi sumber dayanya kian merosot? Tak menutup kemungkinan dalam kurun waktu tertentu status lobster di Indonesia masuk kategori CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Indonesia meratifikasinya lewat Keputusan Pemerintah No. 43/1978. Pun, ekspor benih lobster berpotensi memicu ancaman krisis pasokan benih dari alam. Bukankah pada gilirannya mengancam keberlanjutan usaha dan kesejahteraan pembudidaya lobster?
Ketiga, pemerintah bersama aparat keamanan mestinya memprioritaskan pemberantasan mafia lobster yang menyelundupkan ke Vietnam dan Singapura sebagai bentuk illegal dan unreported fishing. Mereka inilah biang kerok merugikan negara dan mempercepat deplesi sumber daya lobster. Apalagi, dibelakangnya di becking dan didukung oknum pemburu rente yang meraup keuntungan dari bisnis ilegal ini.
Melarang ekspor benih lobster bukanlah kebijakan keliru. Negara tak bakal kehilangan devisa. Lobster dewasa pun diekspor dengan harga kompetitif di pasar internasional. Di sisi lain, aktivitas budidaya-pembesaran tetap bergairah. Imbasnya, lapangan kerja tersedia dan menciptakan sumber penghidupan (pendapatan) bagi pembudidanya. Bukankah keluarnya Permen-KP No. 12/2020 jadi langkah mundur bagi pemerintah? Quo vadis!
Stok sumber daya lobster Indonesia berdasarkan Permen-KP No. 46/2016 pada 11 wilayah pengelolaan perikanan Indonesia Negara Republik Indonesia (WPPNRI) sebesar 8,804 ton per tahun. Penangkapan lobster dewasa yang diperbolehkan 7,044 ton per tahun supaya terjamin kelestariannya. Menariknya, sembilan WPPNRI lobster sudah mengalami tangkap lebih melampaui 100 persen. Terkecuali, Samudera Hindia (54 persen) dan Laut Banda (96 persen). Rata-rata tingkat pemanfaatannya sebelas WPPNRI mencapai 113 persen (KKP, 2016). Berarti, penangkapan sumber daya lobster Indonesia mengkhawatirkan. Bukankah membebaskan ekspor dan membiarkan penangkapan benih lobster di seluruh perairan Indonesia sama saja mempercepat kepunahannya? Esensi, Permen-KP No. 56/2016 sejatinya mencegah itu. Larangan penangkapan dan mengekspor baby lobster bukan saja Indonesia. India,Inggris, Australia, Kanada, Nikaragua, dan Hondurassudah sejak lama menerapkannya. Aturan mereka lebih ketat ketimbang Indonesia utamanya betina yang sedang bertelur.
Membebaskan ekspor Lobster dan penangkapan baby lobster di perairan Indonesia berpotensi mematikan usaha budidayanya di Indonesia semisal di Lombok Timur, sekaligus menghancurkan sumber daya plasma nutfahnya. Pasalnya, mereka membutuhkan lobster berukuran juvenile hingga 40 gram per ekor. Nantinya lobster ini dibesarkan dikeramba jaring apung hingga mencapai ukuran ekonomis. Tindakan pembebasan ekspor dan penangkapan benihnya sama artinya membiarkan perampasan ruang hidup dan sumber daya nya (ocean grabbing) di Indonesia demi kepentingan perburuan rente ekonomi (Bennet et al 2015). Perampasan ini berupa perubahan rezim alokasi sumber daya dan pemanfaatan sumber daya lobster. Selama ini alokasi dan pemanafaatan hasil tangkapan baby lobster diperuntukkan bagi kepentingan pembesaran dalam negeri. Berubah peruntukkannya menjadi kepentinngan ekspor yang memasok kebutuhahn pembudidayaan negara lain secara masif. Perubahan alokasi dan pemanfaatan juga dari hanya dilakukan oleh masyarakat lokal yang menangkap benih menjadi kepentingan bisnis korporasi yang berorientasi ekspor.
Bagaimana Semestinya?
Supaya sumber daya lobster tetap lestari di Indonesia maka pertama, pemerintah harus menggalakan kolaborasi riset dengan penguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset. Tujuannya, agar berhasil membenihkan di hatchery hingga fase puerulus (baby lobster) dengan tingkat SR minimal 30 persen. Lalu mensertifikasi dan menstandarisasi kualitasnya. Keberhasilan ini bakal mereduksi ketegantungan pasokan benih dari hasil tangkapan di alam. Imbasnya, keberlajutan siklus hidup tetap terjamin. Ekspor pun tak perlu lagi dipersoalkan. Prosesnya memang memerlukan waktu lama. Tapi, bila mengerjakannya secara konsisten dan tekun dengan dukungan anggaran dan teknologi budidaya memadai penulis yakin pasti sukses. Kasus ikan kerapu tikus (cromileptes altivelis) sebelum tahun 2000-an belum berhasil dibenihkan. Berkat dukungan riset dan kerja yang telaten, beberapa tahun kemudian pembenihannya berhasil. Tak lagi mengandalkan penangkapan di alam.
Kedua, pemerintah mestinya memprioritaskan pembesaran, dan ketimbang mengekspor benih alam sebelum sukses membenihkannya. Pasalnya tindakan ini, memicu tragedy of common sumber daya lobster di Indonesia. Sekarang saja tingkat eksploitasi lobster dewasa melampaui 100 persen. Bukankan jika benihnya tangkap lagi deplesi sumber dayanya kian merosot? Tak menutup kemungkinan dalam kurun waktu tertentu status lobster di Indonesia masuk kategori CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Indonesia meratifikasinya lewat Keputusan Pemerintah No. 43/1978. Pun, ekspor benih lobster berpotensi memicu ancaman krisis pasokan benih dari alam. Bukankah pada gilirannya mengancam keberlanjutan usaha dan kesejahteraan pembudidaya lobster?
Ketiga, pemerintah bersama aparat keamanan mestinya memprioritaskan pemberantasan mafia lobster yang menyelundupkan ke Vietnam dan Singapura sebagai bentuk illegal dan unreported fishing. Mereka inilah biang kerok merugikan negara dan mempercepat deplesi sumber daya lobster. Apalagi, dibelakangnya di becking dan didukung oknum pemburu rente yang meraup keuntungan dari bisnis ilegal ini.
Melarang ekspor benih lobster bukanlah kebijakan keliru. Negara tak bakal kehilangan devisa. Lobster dewasa pun diekspor dengan harga kompetitif di pasar internasional. Di sisi lain, aktivitas budidaya-pembesaran tetap bergairah. Imbasnya, lapangan kerja tersedia dan menciptakan sumber penghidupan (pendapatan) bagi pembudidanya. Bukankah keluarnya Permen-KP No. 12/2020 jadi langkah mundur bagi pemerintah? Quo vadis!
(ras)
tulis komentar anda