Quo Vadis, Ekspor Benih Lobster

Kamis, 25 Juni 2020 - 19:59 WIB
Muhamad Karim
Muhamad Karim

Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Dosen Universitas Trilogi Jakarta

KELUARNYA Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen-KP) No. 12/2020 yang mengenai pengelolaan lobster (Panulirus spp.), kepiting (Scylla spp.), dan rajungan (Portunus spp.) wilayah Negara Republik Indonesia menandai terbukanya ekspor benih lobster. Permen ini otomatis menggugurkan Permen-KP No. 56/2016 yang melarang penangkapan dan ekspor benih lobster. Menariknya, ketentuan baru memberlakukan sistem kuota (pasal 3), dan penentuan harga beli terendah di tingkat nelayan (pasal 5) oleh KKP. Otomotis pemberlakuan kuota ini buat kepentingan eksportir saja. Bukan buat nelayan kecil. Ironisnya, belum lama aturan berlaku, pemerintah sudah merekomendasikan sembilan perusahaan eksportir lobster. Pertanyaannya, kapan mereka memanen berkelanjutan, membudidayakan dan melepasliarkan 2 persen? Apakah itu berdasarkan kajian Komnas Pengkajian Sumber Daya Ikan? Ditambah penentuan harga terendah mengindikasikan pemerintah terkesan hendak berdagang sekaligus mencari rente ekonomi? Lalu eksportir wajib membudidayakan dalam konteks apa? Pembesaran ataukah pembenihan? Inilah soal-soal rancu pasca keluarnya permen ini.



Pemerintah mesti paham, hingga kini lobster masuk kategori plasma nutfah. Rilis Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik KKP yang mengklaim jumlah telur lobster di perairan Indonesia 26,9 miliar per tahun dan larvanya 12,3 miliar per tahun patut dipertanyakan. Kapan dan dimana datanya diperoleh? Apakah menggunakan metode pendugaan stok, atau pengukuran tingkat kematangan gonad (TKG) pertama kali? Lalu apakah pengambilan samplingnya mewakili seluruh habitat lobster di perairan Indonesia? Jika hanya berdasarkan proxy, tidak bisa jadi rujukan pengambilan kebijakan.

KKP juga menyitir Peter Craven dan Cameron Parsons dari Institut Kelautan dan Studi Antartika (Institute for Marine and Antarctic Studies/IMAS) yang mengklaimsukses menetaskan lobster di hatchery. Pertanyaanya, sampai fase mana hasil penetasan itu bertahan hidup dan berapa persen yang mencapai fase baby lobster? Pasalnya, hingga kini belum ada yang berhasil mempertahankan hasil penetasan di hatchery hingga fase baby lobster (puerulus). Inilah masalahnya. Kalau negara yang sukses, mengapa Vietnam masih bergantung pasokan benih dari Indonesia? Mengapa juga Vietnam tidak bekerjasama saja dengan IMAS di Universitas Tasmania itu agar memproduksi benih dalam skala besar? Hemat penulis informasi itu perlu dikonfirmasi lagi keabsahannya secara ilmiah.

Siklus Hidup

Penelitian untuk membenihkan lobster sudah dilakukan berbagai pihak terutama kalangan perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset. Kenyataannya belum ada yang berhasil membenihkannya hatchery hingga fase puerulus (baby lobster). Secara bioekologi, siklus hidup lobster dari sejak pertama matang gonad hingga menjadi baby lobster (puerulus) semuanya berlangsung di alam. Siklusnya adalah lobster dewasa (indukan betina), phyllosoma awal, phyllosoma, puerulus (baby lobster), juvenile dan lobster dewasa. Prosesnya membentuk siklus hidup alamiahnya secara berkelanjutan. Sebelum memasuki masa dewasa ia mesti melewati fase juvenile terlebih dahulu.

Secara keilmuan akuakultur, pembenihan adalah suatu tahapan kegiatan budidaya yang menentukan proses kehidupan berikutnya, yaitu pembesaran/pemeliharaan yang bertujuan menghasilkan benih. Benih tersebut sebagai komponen input dalam proses pembesaran (Effendi, 2004). Pembenihan ini lazimnya berlangsung di hatchery. Prosesnya ialah merekayasa fase-fase siklus hidup lobster lewat tehnik budidaya yang sistemik. Komponen yang direkayasa ialah habitat dan lingkungan perairan (biologi, fisika, dan kimia) hingga jenis pakan. Keberhasilan pembenihan bila mencapai fase puerulus (baby lobster) yang berwarna bening hingga juvenile. Kenyataannya pembenihan yang pernah dilakukan sejak menetas hanya bertahan hidup hingga fase phyllosoma dengan karapasnya kurang dari 2 milimeter, lalu mati semuanya. Kegagalan mencapai fase puerulus (baby lobster) yang berwarna bening inilah problem yang belum terpecahkan. Padahal bila sukses membenihkannya hingga baby lobster, tak masalah mengeekspornya. Penetasan 200.000 telur losbter yang pernah diuji di Situbondo, Jawa Timur ternyata bertahan hingga hari ke 45 hanya 760 ekor. Berarti tingkat survival rate (SR)-nya hanya 0,38 persen. Rendah dan tak layak secara ekonomi.

Permasalahan inilah mestinya dipecahkan dan dikerjakan KKP bersama perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian. Kini membutuhkan penelitian mendalam lewat rekayasa habitat dan kelayakan lingkungan hingga mencapai fase baby lobster dengan tingkat SR melebihi minimal 30 persen. Pembenihan lobster persisikan sidat. Hingga kini belum ada yang berhasil dan bergantung tangkapan alam. Karena itu, pemerintah melarang ekspor benih sidat lewat Permen-KP No. 18/2009. Jepang dan Israel yang unggul dalam pembenihan ikan belum sukses membenihkan sidat. Akibatnya, lobster (Pallunirus spp) dan ikan sidat (Anguilla spp) tetap dianggap plasma nutfah.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More