Strategi Akselerasi dan Keharusan Protokol Kesehatan
Kamis, 30 Juni 2022 - 10:56 WIB
Indikator lain yang tidak kalah penting adalah status vaksinasi. WHO menegaskan bahwa fase akut pandemi bisa terlewati bila 70% penduduk telah memperoleh vaksin lengkap. Pada tingkat global, proporsi penduduk yang telah tervaksinasi penuh adalah 60,7%. Di Indonesia cakupannya juga berkisar demikian. Meski belum memenuhi target WHO, cakupan ini sudah lumayan. Bila dilakukan penggenjotan, standar 70% dapat tercapai dalam beberapa bulan mendatang. Selain itu, meski cakupan belum mencapai 70%, survei tim Universitas Indonesia melaporkan bahwa 86,6% penduduk Indonesia telah memiliki antibodi; memiliki kekebalan. Antibodi ini dihasilkan oleh vaksin dan juga efek setelah terinfeksi.
Interpretasi sederhana data-data di atas: kasus masih terus berfluktuasi tetapi trennya sudah sangat menurun dibanding sebelumnya. Meski kasus masih berfluktuasi, tingkat kematian yang ditimbulkannya sudah sangat menurun. Kefatalannya sangat berkurang. Artinya, dibanding awal-awal pandemi, Covid-19 kini menjadi a less deadlly disease. Selain itu, jumlah kasus dan kematian akan semakin terkontrol karena efek proteksi yang dihasilkan vaksinasi serta antibodi pascainfeksi. Kasarnya, pendulum profil epidemiologis saat ini bergerak ke arah positif.
Tren positif di atas tercapai akibat makin adekuatnya penanganan pandemi. Saat awal pandemi, semua pihak kebingungan karena diterpa penyakit baru yang belum dikenal sebelumnya. Semuanya masih serba gelap. Kondisi saat ini sudah sangat beda. Kini, penyakit ini telah lebih bisa ditatalaksanai. Tes sudah tersedia di mana-mana dengan tingkat keakuratan tinggi dan harga terjangkau. Tenaga medis telah memiliki resources yang lebih memadai dan makin terlatih menangani penyakit ini. Penelitian terkait sudah sangat marak. Vaksinasi juga menyebar luas. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat jauh meningkat dibanding saat awal. Artinya, kita telah berada di atmosfer positif dan kondusif.
Akselerasi Terkontrol
Perjalanan pandemi mengajarkan prinsip krusial: setiap penatalaksanaan mesti menyeimbangkan aspek kesehatan dan aspek lain, terutama ekonomi. Harus ada keseimbangan dinamis antarsektor. Prioritas berlebihan sektor kesehatan, termasuk melakukan restriksi berlebihan, jelas mendestruksi sektor ekonomi. Malaysia, Selandia Baru, dan Vietnam adalah contoh negara yang sempat melakukan restriksi sangat ketat, termasuk berkali-kali lockdown. Akibatnya, aspek ekonomi negara-negara ini sempat terpuruk. Faktanya, hingga saat ini profil epidemiologis negara-negara ini masih berfluktuasi. Belum ada eliminasi konstan. Artinya, tidak ada jaminan bahwa restriksi maksimal bisa mengontrol pandemi.
Sebagian ahli sepakat bahwa metode penanggulangan terbaik saat ini adalah tarik-ulur. Restriksi diperketat bila profil epidemiologi memburuk dan diperlunak bila profil membaik. Penatalaksanaan ini menyeimbangkan iklim ekonomi dengan kesehatan.
Di Indonesia pasca-Omicron tampak pemerintah mulai mengaktifkan kegiatan-kegiatan ekonomi, sosial, budaya dan keagamaan. Berbagai kegiatan internasional digelar, termasuk ajang di Mandalika dan Formula E. Demikian pula relaksasi Idulfitri, protokol bepergian dan pariwisata. Bukan hanya mengaktifkan, pemerintah tampak menggerakkan dan mengakselerasi maksimal. Mereka ingin menggerakkan roda ekonomi yang mengalami stagnasi signifikan selama pandemi.
Bermodal iklim positif yang ada saat ini, upaya pemerintah mengaktifkan dan mengakselerasi gerbong-gerbong kehidupan dapat dipahami. Memang tidak perlu menunggu jumlah kasus dan kematian menjadi sangat rendah untuk kembali bergeliat karena kondisi ini membutuhkan waktu lama. Meski demikian, upaya pengaktifan dan akselerasi ini mesti bersifat akselerasi terkontrol; bukan akselerasi ugal-ugalan.
Artinya, di satu sisi dilakukan pengaktifan intens, di sisi lain dilakukan proteksi terhadap potensi sekuel pandemi. Meski melakukan akselerasi, selayaknya protokol kesehatan standar tidak dilepas semua. Apalagi protokol yang sudah terbukti baik dan telah dipraktikkan oleh masyarakat. Kebiasaan menggunakan masker dan mencuci tangan sebaiknya tidak diutak-atik, apalagi memberikan himbauan melepas masker atau menghentikan cuci tangan. Masyarakat sudah terbiasa melakukan perilaku positif yang ditelurkan oleh pandemi ini. Biarkan masyarakat terus membudayakan perilaku ini secara konsisten. Perilaku ini bermanfaat bukan hanya untuk Covid-19 tetapi juga untuk berbagai penyakit lainnya. Ada atau tidaknya Covid-19, kebiasaan ini amat diperlukan.
Juga perlu terus gaungkan perlunya vaksinasi. Jangan karena akselerasi kegiatan, program vaksinasi ditinggalkan. Vaksinasi adalah backbone penanganan yang urgensinya sangat krusial. Jadi ketiga elemen (menggunakan masker, mencuci tangan dan vaksinasi) mesti menjadi fixed price. Dalam fixed price, tidak ada tawar-menawar apalagi diskon.
Interpretasi sederhana data-data di atas: kasus masih terus berfluktuasi tetapi trennya sudah sangat menurun dibanding sebelumnya. Meski kasus masih berfluktuasi, tingkat kematian yang ditimbulkannya sudah sangat menurun. Kefatalannya sangat berkurang. Artinya, dibanding awal-awal pandemi, Covid-19 kini menjadi a less deadlly disease. Selain itu, jumlah kasus dan kematian akan semakin terkontrol karena efek proteksi yang dihasilkan vaksinasi serta antibodi pascainfeksi. Kasarnya, pendulum profil epidemiologis saat ini bergerak ke arah positif.
Tren positif di atas tercapai akibat makin adekuatnya penanganan pandemi. Saat awal pandemi, semua pihak kebingungan karena diterpa penyakit baru yang belum dikenal sebelumnya. Semuanya masih serba gelap. Kondisi saat ini sudah sangat beda. Kini, penyakit ini telah lebih bisa ditatalaksanai. Tes sudah tersedia di mana-mana dengan tingkat keakuratan tinggi dan harga terjangkau. Tenaga medis telah memiliki resources yang lebih memadai dan makin terlatih menangani penyakit ini. Penelitian terkait sudah sangat marak. Vaksinasi juga menyebar luas. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat jauh meningkat dibanding saat awal. Artinya, kita telah berada di atmosfer positif dan kondusif.
Akselerasi Terkontrol
Perjalanan pandemi mengajarkan prinsip krusial: setiap penatalaksanaan mesti menyeimbangkan aspek kesehatan dan aspek lain, terutama ekonomi. Harus ada keseimbangan dinamis antarsektor. Prioritas berlebihan sektor kesehatan, termasuk melakukan restriksi berlebihan, jelas mendestruksi sektor ekonomi. Malaysia, Selandia Baru, dan Vietnam adalah contoh negara yang sempat melakukan restriksi sangat ketat, termasuk berkali-kali lockdown. Akibatnya, aspek ekonomi negara-negara ini sempat terpuruk. Faktanya, hingga saat ini profil epidemiologis negara-negara ini masih berfluktuasi. Belum ada eliminasi konstan. Artinya, tidak ada jaminan bahwa restriksi maksimal bisa mengontrol pandemi.
Sebagian ahli sepakat bahwa metode penanggulangan terbaik saat ini adalah tarik-ulur. Restriksi diperketat bila profil epidemiologi memburuk dan diperlunak bila profil membaik. Penatalaksanaan ini menyeimbangkan iklim ekonomi dengan kesehatan.
Di Indonesia pasca-Omicron tampak pemerintah mulai mengaktifkan kegiatan-kegiatan ekonomi, sosial, budaya dan keagamaan. Berbagai kegiatan internasional digelar, termasuk ajang di Mandalika dan Formula E. Demikian pula relaksasi Idulfitri, protokol bepergian dan pariwisata. Bukan hanya mengaktifkan, pemerintah tampak menggerakkan dan mengakselerasi maksimal. Mereka ingin menggerakkan roda ekonomi yang mengalami stagnasi signifikan selama pandemi.
Bermodal iklim positif yang ada saat ini, upaya pemerintah mengaktifkan dan mengakselerasi gerbong-gerbong kehidupan dapat dipahami. Memang tidak perlu menunggu jumlah kasus dan kematian menjadi sangat rendah untuk kembali bergeliat karena kondisi ini membutuhkan waktu lama. Meski demikian, upaya pengaktifan dan akselerasi ini mesti bersifat akselerasi terkontrol; bukan akselerasi ugal-ugalan.
Artinya, di satu sisi dilakukan pengaktifan intens, di sisi lain dilakukan proteksi terhadap potensi sekuel pandemi. Meski melakukan akselerasi, selayaknya protokol kesehatan standar tidak dilepas semua. Apalagi protokol yang sudah terbukti baik dan telah dipraktikkan oleh masyarakat. Kebiasaan menggunakan masker dan mencuci tangan sebaiknya tidak diutak-atik, apalagi memberikan himbauan melepas masker atau menghentikan cuci tangan. Masyarakat sudah terbiasa melakukan perilaku positif yang ditelurkan oleh pandemi ini. Biarkan masyarakat terus membudayakan perilaku ini secara konsisten. Perilaku ini bermanfaat bukan hanya untuk Covid-19 tetapi juga untuk berbagai penyakit lainnya. Ada atau tidaknya Covid-19, kebiasaan ini amat diperlukan.
Juga perlu terus gaungkan perlunya vaksinasi. Jangan karena akselerasi kegiatan, program vaksinasi ditinggalkan. Vaksinasi adalah backbone penanganan yang urgensinya sangat krusial. Jadi ketiga elemen (menggunakan masker, mencuci tangan dan vaksinasi) mesti menjadi fixed price. Dalam fixed price, tidak ada tawar-menawar apalagi diskon.
tulis komentar anda