Saksi Ahli: Kuorum Paripurna Pengesahan RUU Harus Berdasarkan Kehadiran Fisik
Rabu, 24 Juni 2020 - 21:31 WIB
JAKARTA - Kuorum rapat paripurna DPR dalam pengesahan rancangan undang-undang (RUU) semestinya dihitung berdasarkan kehadiran fisik anggota DPR, bukan dari daftar hadir.
Hal ini diungkapkan Bagir Manan saat memberikan keterangan sebagai saksi ahli dalam siding gugatan uji materi UU Nomor 19/2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) di di Mahkamah Konstitusi, Rabu (24/6/2020).
Berdasarkan keterangan pemohon, pengesahan DPR atas revisi UU KPK itu tidak memenuhi kuorum karena tidak dihadiri minimal 50 persen tambah 1 anggota DPR.
“Seandainya hal ini terbukti benar, pengesahan persetujuan rancangan UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 tersebut menjadi undang-undang bukan sekedar cacat hukum, tetapi tidak sah karena itu batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” papar Bagir saat memberikan keterangan sebagai ahli pemohon di MK, Rabu (24/6).
Pakar hukum dari Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto yang juga menjadi saksi ahli, berpendapat senada. Ia mengatakan ada tiga esensi mengapa rapat paripurna harus kuorum secara fisik.
Pertama, DPR sebagai lembaga representatif harus menyampaikan aspirasi dari yang diwakili. Penyampaian itu harus ada wujudnya yang bisa dilihat dan didengar dalam suatu pengambilan keputusan.
“Bentuk konkret dalam konsep pelaksanaan perwakilan ini, (wakil rakyat) hadir dalam gedung tersebut sehingga dia bisa mengungkapkan ini rasa rakyat, ini pendapatnya,” terang Aan secara daring.
Kedua, pengambilan keputusan juga harus dilakukan DPR sebagai lembaga, bukan fraksi atau anggota. Rapat paripurna pun menjadi forum bagi anggota yang tak terlibat dalam pembahasan sebelumnya untuk menyampaikan pendapatnya.
Ketiga, kehadiran fisik penting untuk mengantisipasi tidak terjadinya kesepakatan hingga harus voting. Kalau namanya hanya ada di dalam daftar hadir dan tidak terjadi musyawarah mufakat, maka harus dilakukan pemungutan suara langsung.
“Voting diikuti jumlah anggota yang kurang, tidak sesuai dengan daftar hadir. Bagaimana bisa berjalan voting ini? Inilah mengapa urgensinya hadir secara fisik,” jelasnya.
Sebelumnya, Kurnia Ramadhana selaku kuasa hukum pemohon, sempat mengatakan telah menyerahkan bukti tidak kuorumnya rapat paripurna DPR kepada majelis hakim. Menurut dia, rapat paripurna itu hanya dihadiri secara fisik sekitar 120 dari total 560 anggota dewan ketika UU KPK disahkan menjadi inisiatif DPR.
Lihat Juga: Alexander Marwata Gugat Pasal Larangan Pimpinan KPK Berhubungan dengan Pihak Berperkara ke MK
Hal ini diungkapkan Bagir Manan saat memberikan keterangan sebagai saksi ahli dalam siding gugatan uji materi UU Nomor 19/2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) di di Mahkamah Konstitusi, Rabu (24/6/2020).
Berdasarkan keterangan pemohon, pengesahan DPR atas revisi UU KPK itu tidak memenuhi kuorum karena tidak dihadiri minimal 50 persen tambah 1 anggota DPR.
“Seandainya hal ini terbukti benar, pengesahan persetujuan rancangan UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 tersebut menjadi undang-undang bukan sekedar cacat hukum, tetapi tidak sah karena itu batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” papar Bagir saat memberikan keterangan sebagai ahli pemohon di MK, Rabu (24/6).
Pakar hukum dari Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto yang juga menjadi saksi ahli, berpendapat senada. Ia mengatakan ada tiga esensi mengapa rapat paripurna harus kuorum secara fisik.
Pertama, DPR sebagai lembaga representatif harus menyampaikan aspirasi dari yang diwakili. Penyampaian itu harus ada wujudnya yang bisa dilihat dan didengar dalam suatu pengambilan keputusan.
“Bentuk konkret dalam konsep pelaksanaan perwakilan ini, (wakil rakyat) hadir dalam gedung tersebut sehingga dia bisa mengungkapkan ini rasa rakyat, ini pendapatnya,” terang Aan secara daring.
Kedua, pengambilan keputusan juga harus dilakukan DPR sebagai lembaga, bukan fraksi atau anggota. Rapat paripurna pun menjadi forum bagi anggota yang tak terlibat dalam pembahasan sebelumnya untuk menyampaikan pendapatnya.
Ketiga, kehadiran fisik penting untuk mengantisipasi tidak terjadinya kesepakatan hingga harus voting. Kalau namanya hanya ada di dalam daftar hadir dan tidak terjadi musyawarah mufakat, maka harus dilakukan pemungutan suara langsung.
“Voting diikuti jumlah anggota yang kurang, tidak sesuai dengan daftar hadir. Bagaimana bisa berjalan voting ini? Inilah mengapa urgensinya hadir secara fisik,” jelasnya.
Sebelumnya, Kurnia Ramadhana selaku kuasa hukum pemohon, sempat mengatakan telah menyerahkan bukti tidak kuorumnya rapat paripurna DPR kepada majelis hakim. Menurut dia, rapat paripurna itu hanya dihadiri secara fisik sekitar 120 dari total 560 anggota dewan ketika UU KPK disahkan menjadi inisiatif DPR.
Lihat Juga: Alexander Marwata Gugat Pasal Larangan Pimpinan KPK Berhubungan dengan Pihak Berperkara ke MK
(muh)
tulis komentar anda