Gugatan UU HAM Dikabulkan MK, Komisioner Berpeluang Ada di Setiap Provinsi
Selasa, 21 Juni 2022 - 23:35 WIB
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini membuka peluang Komisioner Komnas HAM ada di setiap provinsi.
UU HAM ini digugat oleh Pemohon I, yakni dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta yang juga Ketua Bidang Hukum Forum Ulama dan Habaib Jakarta Achmad Kholidin; serta Pemohon II, yakni aktivis Lentera HAM Tasya Nabila, yang teregistrasi pada 5 April 2022 dengan Nomor Perkara: 30/PUU-XX/2022.
Keduanya mengajukan permohonan uji materi terkait ketentuan jumlah anggota Komisioner Komnas HAM yang tertuang di dalam Pasal 83 Ayat (1) UU HAM. Keduanya juga menggugat ketentuan dalam Pasal 85 Ayat (1), Pasal 86, dan Pasal 87 Ayat (2) huruf d.
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; menyatakan kata 'berjumlah' dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai berjumlah paling tinggi,” tulis amar putusan MK, dikutip Selasa (21/6/2022).
"Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya," lanjut isi amar Putusan MK.
Dalam gugatan tersebut, Pemohon I merasa dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Hal itu terjadi di tengah adanya jaminan atas hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945. Hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon itu dirugikan dengan berlakunya Pasal 83 ayat (1), Pasal 85 Ayat (1), Pasal 86, dan Pasal 87 ayat (2) huruf.
Berlakunya suatu peraturan perundang-undangan dapat dilihat dari salah satunya adanya kerugian konstitusional harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Dalam hal ini terkait dengan latar belakang dari para Pemohon yang merupakan penggiat dalam advokasi Hak Asasi Manusia, dimana hal tersebut dibuktikan bahwa Pemohon I merupakan advokat dan dosen/pengajar dengan memiliki pengalaman kurang lebih selama 22 tahun.
UU HAM ini digugat oleh Pemohon I, yakni dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta yang juga Ketua Bidang Hukum Forum Ulama dan Habaib Jakarta Achmad Kholidin; serta Pemohon II, yakni aktivis Lentera HAM Tasya Nabila, yang teregistrasi pada 5 April 2022 dengan Nomor Perkara: 30/PUU-XX/2022.
Keduanya mengajukan permohonan uji materi terkait ketentuan jumlah anggota Komisioner Komnas HAM yang tertuang di dalam Pasal 83 Ayat (1) UU HAM. Keduanya juga menggugat ketentuan dalam Pasal 85 Ayat (1), Pasal 86, dan Pasal 87 Ayat (2) huruf d.
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; menyatakan kata 'berjumlah' dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai berjumlah paling tinggi,” tulis amar putusan MK, dikutip Selasa (21/6/2022).
"Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya," lanjut isi amar Putusan MK.
Dalam gugatan tersebut, Pemohon I merasa dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Hal itu terjadi di tengah adanya jaminan atas hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945. Hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon itu dirugikan dengan berlakunya Pasal 83 ayat (1), Pasal 85 Ayat (1), Pasal 86, dan Pasal 87 ayat (2) huruf.
Berlakunya suatu peraturan perundang-undangan dapat dilihat dari salah satunya adanya kerugian konstitusional harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Dalam hal ini terkait dengan latar belakang dari para Pemohon yang merupakan penggiat dalam advokasi Hak Asasi Manusia, dimana hal tersebut dibuktikan bahwa Pemohon I merupakan advokat dan dosen/pengajar dengan memiliki pengalaman kurang lebih selama 22 tahun.
tulis komentar anda