Humor Gus Dur, Pengingat Agar Polisi Tetap Berada di Jalur Integritas
Selasa, 23 Juni 2020 - 13:13 WIB
Hal lainnya, sehari sebelum menjabat sebagai kepala Jawatan Imigrasi yang saat ini dikenal dengan Dirjen Imigrasi, Hoegeng meminta usaha toko bunga yang dijalankan sang istri agar ditutup. Hoegeng mengatakan "Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang ibu, dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya.”
Untungnya sang istri senantiasa mendukung Hoegeng untuk bertindak jujur dan mengedepankan kesederhanaan. Sang istri, Meriyati Roeslani atau biasa disapa Merry Hoegeng memahami bahwa Hoegeng tidak ingin orang-orang membeli bunga di tokonya karena jabatan Hoegeng. (Baca juga: Ini Sosok Hoegeng, Polisi yang Disebut Gus Dur Tidak Mempan Disogok)
Tahun 1956 Ketika Hoegeng ditugaskan sebagai kepala Direktorat Reserse Kriminal di Kantor Polisi Sumatera Utara (saat ini Polda Sumut), Hoegeng mendapati rumah dinasnya sudah lengkap dengan perabot yang tergolong mewah. Setelah diselidiki ternyata perabot tersebut berasal dari orang yang mengaku sebagai panitia selamat datang saat Hoegeng tiba di pelabuhan. Seseorang yang disebut “Cina Medan” tersebut menjanjikan akan memberikan berbagai macam fasilitas, namun Hoegeng menolaknya dengan halus.
Dikarenakan rumah dinas telah terisi dengan perabot rumah yang tergolong mewah tersebut, Hoegeng mengultimatum orang yang menaruh perabot rumah dan barang-barang lainnya itu agar segera mengambil hingga pukul 2 siang. Namun tidak kunjung diambil hingga waktu yang telah diberikan, lantas sambil marah-marah Hoegeng menaruh begitu saja barang-barang tersebut di pinggir jalan.
Selain cerita rumah dinas di Medan yang melegenda hingga sekarang itu, Hoegeng dan kalangan pejabat di Sumut, baik dari polisi, TNI, dan kejaksaan, membuat semacam forum untuk gerakan anti korupsi, yang secara rutin mengadakan pertemuan. Seperti yang dikisahkan dalam buku “Hoegeng: Oase Menyejukan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa”. Anggota forum tersebut antara lain Kol Maludin Simbolon (Panglima TT Bukit Barisan), Letkol. Djamin Ginting (pengganti simbolon sebagai panglima TT Bukit Barisan), Mayor Boyke Nainggolan (Danyon di Medan), dan Hoegeng sendiri.
Jabatan bagi Hoegeng adalah tempat untuknya mengabdi dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. Bukan tempat untuk diperebutkan dan mengeruk manfaat pribadi sebesar-besarnya yang akan merugikan masyarakat dan institusinya.
Bahkan ketika jabatan itu terancam lantaran mengungkap kebenaran, Hoegeng tidak bergeming. Seperti yang ia katakan “selesaikan tugas dengan kejujuran, karena kita masih bisa makan nasi dengan garam”.
Hoegeng juga dikenal sebagai sosok polisi yang tidak gentar untuk menguak kasus pelik yang melibatkan “orang-orang gede”. Misalnya kasus pemerkosaan seorang perempuan bernama Sumarijem atau yang biasa disebut Sum Kuning dan penyelundupan oleh Robby Tjahjadi hingga ia diberhentikan sebagai kapolri lebih awal.
"Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kalau salah tetap kita tindak," tegas Hoegeng dalam buku "Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bbangsa", terbitan Bentang.
Nilai-nilai integritas yang diwariskan Hoegeng seperti kejujuran, kesederhanaan, kedisiplinan, berani bersikap amanah membela kebenaran meskipun mengandung risiko personal dan melakukan terobosan-terobosan (visioner) untuk membangun negara, merupakan warisan berharga untuk dapat diteladani oleh segenap generasi ditengah kebiasaan serta maraknya abuse of power oleh para pemimpin bangsa.
Untungnya sang istri senantiasa mendukung Hoegeng untuk bertindak jujur dan mengedepankan kesederhanaan. Sang istri, Meriyati Roeslani atau biasa disapa Merry Hoegeng memahami bahwa Hoegeng tidak ingin orang-orang membeli bunga di tokonya karena jabatan Hoegeng. (Baca juga: Ini Sosok Hoegeng, Polisi yang Disebut Gus Dur Tidak Mempan Disogok)
Tahun 1956 Ketika Hoegeng ditugaskan sebagai kepala Direktorat Reserse Kriminal di Kantor Polisi Sumatera Utara (saat ini Polda Sumut), Hoegeng mendapati rumah dinasnya sudah lengkap dengan perabot yang tergolong mewah. Setelah diselidiki ternyata perabot tersebut berasal dari orang yang mengaku sebagai panitia selamat datang saat Hoegeng tiba di pelabuhan. Seseorang yang disebut “Cina Medan” tersebut menjanjikan akan memberikan berbagai macam fasilitas, namun Hoegeng menolaknya dengan halus.
Dikarenakan rumah dinas telah terisi dengan perabot rumah yang tergolong mewah tersebut, Hoegeng mengultimatum orang yang menaruh perabot rumah dan barang-barang lainnya itu agar segera mengambil hingga pukul 2 siang. Namun tidak kunjung diambil hingga waktu yang telah diberikan, lantas sambil marah-marah Hoegeng menaruh begitu saja barang-barang tersebut di pinggir jalan.
Selain cerita rumah dinas di Medan yang melegenda hingga sekarang itu, Hoegeng dan kalangan pejabat di Sumut, baik dari polisi, TNI, dan kejaksaan, membuat semacam forum untuk gerakan anti korupsi, yang secara rutin mengadakan pertemuan. Seperti yang dikisahkan dalam buku “Hoegeng: Oase Menyejukan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa”. Anggota forum tersebut antara lain Kol Maludin Simbolon (Panglima TT Bukit Barisan), Letkol. Djamin Ginting (pengganti simbolon sebagai panglima TT Bukit Barisan), Mayor Boyke Nainggolan (Danyon di Medan), dan Hoegeng sendiri.
Jabatan bagi Hoegeng adalah tempat untuknya mengabdi dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. Bukan tempat untuk diperebutkan dan mengeruk manfaat pribadi sebesar-besarnya yang akan merugikan masyarakat dan institusinya.
Bahkan ketika jabatan itu terancam lantaran mengungkap kebenaran, Hoegeng tidak bergeming. Seperti yang ia katakan “selesaikan tugas dengan kejujuran, karena kita masih bisa makan nasi dengan garam”.
Hoegeng juga dikenal sebagai sosok polisi yang tidak gentar untuk menguak kasus pelik yang melibatkan “orang-orang gede”. Misalnya kasus pemerkosaan seorang perempuan bernama Sumarijem atau yang biasa disebut Sum Kuning dan penyelundupan oleh Robby Tjahjadi hingga ia diberhentikan sebagai kapolri lebih awal.
"Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kalau salah tetap kita tindak," tegas Hoegeng dalam buku "Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bbangsa", terbitan Bentang.
Nilai-nilai integritas yang diwariskan Hoegeng seperti kejujuran, kesederhanaan, kedisiplinan, berani bersikap amanah membela kebenaran meskipun mengandung risiko personal dan melakukan terobosan-terobosan (visioner) untuk membangun negara, merupakan warisan berharga untuk dapat diteladani oleh segenap generasi ditengah kebiasaan serta maraknya abuse of power oleh para pemimpin bangsa.
tulis komentar anda