Suara-Suara Tertahan
Minggu, 29 Mei 2022 - 09:07 WIB
Sekar Mayang
Editor, penulis, pengulas buku, hidup di Bali
Pertanyaan “Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?” mungkin serupa dengan “Mengapa langit berwarna biru?” atau “Mengapa payudara perempuan bentuknya menggelembung sedemikian rupa?” Semua bermuara di satu titik jawaban, “Sebab, memang begitulah semesta bekerja: dengan tidak membiarkan segalanya tercipta sia-sia.”
Yap, semua hal di jagat ini memiliki perannya masing-masing. Jika ada hal-hal yang masih menjadi misteri, tentu bukan karena tidak punya peran apa-apa, tetapi pengetahuan kita saja yang belum sampai ke titik itu. Itu termasuk untuk sekian juta pertanyaan yang muncul tiba-tiba di sepanjang perjalanan hidup kita. Seperti yang tersirat dari judul buku ini, adalah fitrah manusia mempertanyakan macam-macam hal yang menarik minatnya, atau mungkin sesuatu yang telah berdampak besar terhadap kehidupannya.
Dibuka dengan cerpen Menunggu Marduk Datang, Sasti seolah-olah mengingatkan pembaca bahwa memang kegiatan menunggu amatlah membosankan, bahkan tidak jarang malah melelahkan. Menunggu berarti diam. Dan, dalam diam, seringnya benak kita malah mengembara ke mana-mana, menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa jadi seharusnya tidak perlu dipikirkan. Ya, apa lagi? Sebab, masa depan memang bukan hal yang dapat dipastikan.
Akan tetapi, menunggu bukan melulu hal yang menjengkelkan. Semesta kerap mengirim sinyal kepada kita. Dan, menunggu adalah sebuah syarat. Seperti yang coba Sasti sampaikan dalam cerpen Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?. Seandainya Eren mau menunggu sebentar lagi agar Han bisa mengantarnya pulang, mungkin peristiwa di bawah Jembatan Semanggi tidak perlu terjadi.
Mungkin, pernikahan mereka yang tinggal mencari tanggal baik pun bisa berlangsung. Mungkin, Han tidak perlu terdiam di meja makan seolah-olah mendengar serenade yang muncul entah dari mana. Mungkin, ia juga tidak perlu berjumpa kucing hitam yang tiba-tiba saja bertengger di ambang jendela dapur. Mungkin, kucing itu juga tidak perlu menggelepar dengan mulut berbusa setelah menjilat tumpahan susu yang sejatinya hendak Han minum.
Memang, semuanya masih serba-mungkin. Setidaknya, dengan menunggu sebentar lagi, dukacita bisa sedikit menunda kehadirannya. “Kadang, siapa yang salah, bukan tergantung pada siapa yang benar-benar berbuat.” (Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?, halaman 28)
Dalam cerpen ini, dengan lantang Sasti menyodorkan pertanyaan, “Apa yang lebih menyakitkan dari sebuah kehilangan?” Apalagi, jika ia adalah orang terkasih. Apalagi, jika kehilangan itu seharusnya tidak perlu terjadi apabila mau sedikit bersabar. Apalagi, kesalahan selalu dan selalu ditimpakan kepada orang-orang yang bahkan tidak ada hubungannya dengan keributan yang tengah terjadi.
Editor, penulis, pengulas buku, hidup di Bali
Pertanyaan “Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?” mungkin serupa dengan “Mengapa langit berwarna biru?” atau “Mengapa payudara perempuan bentuknya menggelembung sedemikian rupa?” Semua bermuara di satu titik jawaban, “Sebab, memang begitulah semesta bekerja: dengan tidak membiarkan segalanya tercipta sia-sia.”
Yap, semua hal di jagat ini memiliki perannya masing-masing. Jika ada hal-hal yang masih menjadi misteri, tentu bukan karena tidak punya peran apa-apa, tetapi pengetahuan kita saja yang belum sampai ke titik itu. Itu termasuk untuk sekian juta pertanyaan yang muncul tiba-tiba di sepanjang perjalanan hidup kita. Seperti yang tersirat dari judul buku ini, adalah fitrah manusia mempertanyakan macam-macam hal yang menarik minatnya, atau mungkin sesuatu yang telah berdampak besar terhadap kehidupannya.
Dibuka dengan cerpen Menunggu Marduk Datang, Sasti seolah-olah mengingatkan pembaca bahwa memang kegiatan menunggu amatlah membosankan, bahkan tidak jarang malah melelahkan. Menunggu berarti diam. Dan, dalam diam, seringnya benak kita malah mengembara ke mana-mana, menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa jadi seharusnya tidak perlu dipikirkan. Ya, apa lagi? Sebab, masa depan memang bukan hal yang dapat dipastikan.
Akan tetapi, menunggu bukan melulu hal yang menjengkelkan. Semesta kerap mengirim sinyal kepada kita. Dan, menunggu adalah sebuah syarat. Seperti yang coba Sasti sampaikan dalam cerpen Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?. Seandainya Eren mau menunggu sebentar lagi agar Han bisa mengantarnya pulang, mungkin peristiwa di bawah Jembatan Semanggi tidak perlu terjadi.
Mungkin, pernikahan mereka yang tinggal mencari tanggal baik pun bisa berlangsung. Mungkin, Han tidak perlu terdiam di meja makan seolah-olah mendengar serenade yang muncul entah dari mana. Mungkin, ia juga tidak perlu berjumpa kucing hitam yang tiba-tiba saja bertengger di ambang jendela dapur. Mungkin, kucing itu juga tidak perlu menggelepar dengan mulut berbusa setelah menjilat tumpahan susu yang sejatinya hendak Han minum.
Memang, semuanya masih serba-mungkin. Setidaknya, dengan menunggu sebentar lagi, dukacita bisa sedikit menunda kehadirannya. “Kadang, siapa yang salah, bukan tergantung pada siapa yang benar-benar berbuat.” (Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?, halaman 28)
Dalam cerpen ini, dengan lantang Sasti menyodorkan pertanyaan, “Apa yang lebih menyakitkan dari sebuah kehilangan?” Apalagi, jika ia adalah orang terkasih. Apalagi, jika kehilangan itu seharusnya tidak perlu terjadi apabila mau sedikit bersabar. Apalagi, kesalahan selalu dan selalu ditimpakan kepada orang-orang yang bahkan tidak ada hubungannya dengan keributan yang tengah terjadi.
tulis komentar anda