Komnas HAM Nilai Kesiapan Tahapan Pilkada Masih Lemah
Senin, 22 Juni 2020 - 16:08 WIB
JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia melihat masih adanya kelemahan dalam pelaksanaan tahapan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 yang sudah dimulai. Hal itu didasari dari Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas PKPU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaran Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020.
(Baca juga: Revisi UU Pemilu Harus Bisa Hadirkan Banyak Paslon Capres dan Cawapres)
Komisioner Komnas HAM Hairansyah menilai aturan itu sudah menunjukkan proses pilkada dimulai. Hanya saja, pihaknya belum melihat tahapan-tahapan tersebut memberikan sesuatu yang jelas terkait protokol kesehatan.
"Pilkada penting, tapi melindungi kesehatan masyarakat dan penyelenggara itu jauh lebih penting. Kalau memang pemerintah daerah tidak bisa dalam keterbatasan anggaran, lebih baik ditunda," ujar Khairansyah dalam konferensi pers di Komnas HAM, Jakarta Pusat, Senin (22/6/2020).
(Baca juga: Kampanye Tatap Muka Dikurangi, Slot Medsos dan Iklan Diperbanyak)
Jika memang tahapan itu tetap harus dilanjutkan, ia mengusulkan adanya tiga klaster tahapan pilkada yang bisa diterapkan oleh KPU dan jajarannya di berbagai daerah. Klaster pertama, terkait kegiatan tahapan yang harus dilakukan dengan tatap muka.
Misalnya pemungutan suara. Menurut dia, hal itu harus dilakukan tatap muka dengan datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Sebab, pelaksanaan itu sejalan asas pemilu itu langsung, umum, bebas dan rahasia. "Artinya, baik pencoblosan dan pemungutan suara di TPS harus dilakukan secara tatap muka," jelasnya.
Kedua, klaster kegiatan yang harus bisa dilakukan melalui daring (online). Hal ini berkaitan dengan proses-proses tahapan yang bersifat administratif di KPU. Salah satunya, tahapan pelantikan, rekrutmen petugas penyelenggara pemilu.
"Kami menghargai KPU yang sudah melaksanakan tahapan. Salah satunya mengaktifkan kembali petugas penyelenggara PPK dan PPS untuk dilantik secara daring," ucap Hairansyah.
Begitu juga tahapan lainnya yang bersifat administrative seperti pengumuman maupun pelaksanaan tahapan lain yang bisa dilakukan secara daring. Ketiga, klaster yang bisa dilakukan secara tatap muka dan daring. Misalnya, penyerahan dukungan. Saat pendaftaran calon, biasanya diikuti para pendukungnya.
"Hal ini berpotensi menimbulkan kerumunan di dalam proses tahapan sehingga kami menyarankan ada pembatasan sebagaimana sesuai protokol kesehatan, baik pembatasan ruang, jarak, dan penggunaan alat pelindung diri (APD) seperti masker, hand sanitizer atau mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir selama 20 detik," tuturnya.
Karena itu, dirinya menilai penerapan itu bisa dilakukan dengan membatasi jumlah yang hadir dalam proses pendaftaran calon bisa dibatasi dan sekaligus bisa disiarkan melalui proses daring.
(Baca juga: Revisi UU Pemilu Harus Bisa Hadirkan Banyak Paslon Capres dan Cawapres)
Komisioner Komnas HAM Hairansyah menilai aturan itu sudah menunjukkan proses pilkada dimulai. Hanya saja, pihaknya belum melihat tahapan-tahapan tersebut memberikan sesuatu yang jelas terkait protokol kesehatan.
"Pilkada penting, tapi melindungi kesehatan masyarakat dan penyelenggara itu jauh lebih penting. Kalau memang pemerintah daerah tidak bisa dalam keterbatasan anggaran, lebih baik ditunda," ujar Khairansyah dalam konferensi pers di Komnas HAM, Jakarta Pusat, Senin (22/6/2020).
(Baca juga: Kampanye Tatap Muka Dikurangi, Slot Medsos dan Iklan Diperbanyak)
Jika memang tahapan itu tetap harus dilanjutkan, ia mengusulkan adanya tiga klaster tahapan pilkada yang bisa diterapkan oleh KPU dan jajarannya di berbagai daerah. Klaster pertama, terkait kegiatan tahapan yang harus dilakukan dengan tatap muka.
Misalnya pemungutan suara. Menurut dia, hal itu harus dilakukan tatap muka dengan datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Sebab, pelaksanaan itu sejalan asas pemilu itu langsung, umum, bebas dan rahasia. "Artinya, baik pencoblosan dan pemungutan suara di TPS harus dilakukan secara tatap muka," jelasnya.
Kedua, klaster kegiatan yang harus bisa dilakukan melalui daring (online). Hal ini berkaitan dengan proses-proses tahapan yang bersifat administratif di KPU. Salah satunya, tahapan pelantikan, rekrutmen petugas penyelenggara pemilu.
"Kami menghargai KPU yang sudah melaksanakan tahapan. Salah satunya mengaktifkan kembali petugas penyelenggara PPK dan PPS untuk dilantik secara daring," ucap Hairansyah.
Begitu juga tahapan lainnya yang bersifat administrative seperti pengumuman maupun pelaksanaan tahapan lain yang bisa dilakukan secara daring. Ketiga, klaster yang bisa dilakukan secara tatap muka dan daring. Misalnya, penyerahan dukungan. Saat pendaftaran calon, biasanya diikuti para pendukungnya.
"Hal ini berpotensi menimbulkan kerumunan di dalam proses tahapan sehingga kami menyarankan ada pembatasan sebagaimana sesuai protokol kesehatan, baik pembatasan ruang, jarak, dan penggunaan alat pelindung diri (APD) seperti masker, hand sanitizer atau mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir selama 20 detik," tuturnya.
Karena itu, dirinya menilai penerapan itu bisa dilakukan dengan membatasi jumlah yang hadir dalam proses pendaftaran calon bisa dibatasi dan sekaligus bisa disiarkan melalui proses daring.
(maf)
Lihat Juga :
tulis komentar anda