Puasa Ramadan, Idul Fitri, dan Pemerataan Kesejahteraan
Selasa, 10 Mei 2022 - 11:40 WIB
Dalam rangka mengendalikan kerusakan lingkungan dan perubahan iklim global, sejak 1972 PBB telah menganjurkan masyarakat dunia untuk meninggalkan paradigma pembangunan kapitalistik yang sangat growth mania, ekstraktif, dan hedonis; dengan paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development) (WCED, 1987). Kemudian, sejak akhir 1980-an konsep ekonomi hijau (green economy), ekonomi biru (blue economy), dan ekonomi sirkular pun dijadikan arus utama pembangunan di seluruh negara anggota PBB guna merealisasikan 17 tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals) pada 2030.
Namun, faktanya seperti telah diuraikan di atas, ketimpangan ekonomi malah semakin melebar, dan beragam jenis kerusakan lingkungan serta dampak negatif akibat perubahan iklim pun kian parah. Dengan perkataan lain, pendekatan teknologi, hukum, dan kelembagaan ala kapitalisme dalam mengatasi kedua tantangan global (global challenges) tersebut terbukti telah gagal. Mengapa bisa terjadi? Itu karena kapitalisme memiliki cacat bawaan alias kesalahan paradigmatik, yakni tidak mempertimbangkan aspek spiritual, akhirat, dan Tuhan dalam proses perencanaan dan implementasi kebijakan dan regulasi pembangunan.
Dalam sistem kehidupan manusia yang tidak percaya adanya kehidupan akhirat dan tidak menyertakan Tuhan, semua peraturan- perundangan bisa diatur oleh mereka yang punya kekuasaaan dan/atau harta melimpah. Maka, jangan heran bila semua kapitalis kerjaannya hanya menumpuk harta, dan enggan berbagi untuk membantu warga miskin keluar dari jebakan kemiskinan.
Solusi Puasa Ramadhan
Maka, solusi tuntas untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi harus melibatkan dimensi spiritual dan ukhrawi. Kepatuhan seorang muslim yang beriman dan taqwa terhadap suatu peraturan, bukan hanya sekadar takut hukuman (punishment) di dunia, tetapi utamanya karena dia ingin mendapatkan ridha Allah, supaya di akhirat kelak terhindar dari siksa neraka, dan menjadi penghuni surga-Nya. Sementara itu, tujuan utama dari ibadah puasa Ramadan adalah agar orang-orang beriman yang melaksanakannya menjadi insan yang taqwa (QS. Al-Baqarah: 183). Taqwa adalah menjalankan seluruh perintah Allah dan menjauhi setiap larangan-Nya.
Dalam konteks pemerataan kesejahteraan, perintah Allah yang relevan adalah berupa zakat, infaq, sedekah, dan waqaf. Hal yang sangat dianjurkan untuk ditingkatkan selama bulan Ramadan adalah mengeluarkan zakat, infaq, dan sedekah (ZIS) untuk menolong kaum duafa supaya bisa hidup sejahtera. Seorang muslim juga diwajibkan untuk membayar zakat fitrah, sebanyak 2,5 kg beras kualitas terbaik.
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sekitar 238 juta orang (87% total penduduknya) (BPS, 2021), potensi ZIS dan waqaf di Indonesia untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi sangatlah besar. Ada dua jenis zakat, yakni zakat fitrah dan zakat mal. Tujuan akhir dari zakat fitrah adalah pemerataan konsumsi pangan, khususnya bahan pangan pokok, secara berkeadilan di antara warga masyarakat (bangsa) melalui consumption transfer dari kelompok kaya ke kelompok miskin. Melalui mekanisme ini, maka tidak akan terjadi tekanan permintaan pangan yang mendorong kenaikan harga-harga (demand-pull inflation). Lebih dari itu, distribusi konsumsi pangan yang lebih merata akan secara signifikan turut memecahkan salah satu permasalahan kronis bangsa kita berupa gizi buruk dan stunting.
Pada 2022 sekitar 211,7 juta muslim (89% total muslim) di Tanah Air dinilai memenuhi syarat (wajib) untuk mengeluarkan zakat fitrah, dengan total potensi di kisaran 476.000–529.000 ton beras setara dengan Rp4,7–6,7 triliun (IDEAS, 2022). Dalam pada itu, jumlah mustahik (muslim yang memenuhi syarat untuk menerima zakat fitrah) tahun ini sekitar 23,9 juta orang terdiri dari 15,7 juta orang miskin dan 8,2 juta orang miskin ekstrem (BAZNAS, 2022). Artinya, dari total potensi volume beras dan nilai rupiah itu, hanya sekitar 11% yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan mustahik di seluruh wilayah NKRI pada hari Raya Idul Fitri 1443 H tahun ini. Selebihnya (89%), setara dengan 424 – 471 ribu ton beras (Rp4,2 – Rp6 triliun) bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan pokok kaum fakir miskin selama sebelas bulan ke depan, hingga masuk bulan Ramadan berikutnya. Demikan, seterusnya.
Sementara itu, total potensi zakat mal (2,5% dari harta sesuai nisabnya) yang bisa dikumpulkan dari seluruh muslim muzaki (wajib bayar zakat) Indonesia rata-rata Rp327 triliun per tahun (BAZNAS, 2022). Zakat mal ini bisa digunakan untuk membantu usaha ekonomi kaum duafa, sehingga mereka menjadi ”tangan di atas” dan hidup sejahtera. Selain itu, zakat mal juga bisa untuk pembangunan sektor kesehatan dan pendidikan, dakwah, dan beragam kegiatan sosial (amal saleh) lainnya.
Apabila, iman dan taqwa muslim Indonesia terus meningkat, maka potensi dana filantropis yang bisa terkumpul dari infaq, sedekah, dan waqaf untuk mengatasi kemiskinan dan menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia itu akan jauh lebih besar dan dahsyat. Pasalnya, zakat mal itu hanya 2,5% total harta sesuai nisab. Sedangkan, infaq, sedekah, dan waqaf yang hukumnya sunah bisa sepertiga, setengah, atau bahkan seluruh harta, seperti yang dilakukan oleh para konglomerat dan sahabat Nabi Muhammad saw, Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan Abu Bakar Ashidiq.
Namun, faktanya seperti telah diuraikan di atas, ketimpangan ekonomi malah semakin melebar, dan beragam jenis kerusakan lingkungan serta dampak negatif akibat perubahan iklim pun kian parah. Dengan perkataan lain, pendekatan teknologi, hukum, dan kelembagaan ala kapitalisme dalam mengatasi kedua tantangan global (global challenges) tersebut terbukti telah gagal. Mengapa bisa terjadi? Itu karena kapitalisme memiliki cacat bawaan alias kesalahan paradigmatik, yakni tidak mempertimbangkan aspek spiritual, akhirat, dan Tuhan dalam proses perencanaan dan implementasi kebijakan dan regulasi pembangunan.
Dalam sistem kehidupan manusia yang tidak percaya adanya kehidupan akhirat dan tidak menyertakan Tuhan, semua peraturan- perundangan bisa diatur oleh mereka yang punya kekuasaaan dan/atau harta melimpah. Maka, jangan heran bila semua kapitalis kerjaannya hanya menumpuk harta, dan enggan berbagi untuk membantu warga miskin keluar dari jebakan kemiskinan.
Solusi Puasa Ramadhan
Maka, solusi tuntas untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi harus melibatkan dimensi spiritual dan ukhrawi. Kepatuhan seorang muslim yang beriman dan taqwa terhadap suatu peraturan, bukan hanya sekadar takut hukuman (punishment) di dunia, tetapi utamanya karena dia ingin mendapatkan ridha Allah, supaya di akhirat kelak terhindar dari siksa neraka, dan menjadi penghuni surga-Nya. Sementara itu, tujuan utama dari ibadah puasa Ramadan adalah agar orang-orang beriman yang melaksanakannya menjadi insan yang taqwa (QS. Al-Baqarah: 183). Taqwa adalah menjalankan seluruh perintah Allah dan menjauhi setiap larangan-Nya.
Dalam konteks pemerataan kesejahteraan, perintah Allah yang relevan adalah berupa zakat, infaq, sedekah, dan waqaf. Hal yang sangat dianjurkan untuk ditingkatkan selama bulan Ramadan adalah mengeluarkan zakat, infaq, dan sedekah (ZIS) untuk menolong kaum duafa supaya bisa hidup sejahtera. Seorang muslim juga diwajibkan untuk membayar zakat fitrah, sebanyak 2,5 kg beras kualitas terbaik.
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sekitar 238 juta orang (87% total penduduknya) (BPS, 2021), potensi ZIS dan waqaf di Indonesia untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi sangatlah besar. Ada dua jenis zakat, yakni zakat fitrah dan zakat mal. Tujuan akhir dari zakat fitrah adalah pemerataan konsumsi pangan, khususnya bahan pangan pokok, secara berkeadilan di antara warga masyarakat (bangsa) melalui consumption transfer dari kelompok kaya ke kelompok miskin. Melalui mekanisme ini, maka tidak akan terjadi tekanan permintaan pangan yang mendorong kenaikan harga-harga (demand-pull inflation). Lebih dari itu, distribusi konsumsi pangan yang lebih merata akan secara signifikan turut memecahkan salah satu permasalahan kronis bangsa kita berupa gizi buruk dan stunting.
Pada 2022 sekitar 211,7 juta muslim (89% total muslim) di Tanah Air dinilai memenuhi syarat (wajib) untuk mengeluarkan zakat fitrah, dengan total potensi di kisaran 476.000–529.000 ton beras setara dengan Rp4,7–6,7 triliun (IDEAS, 2022). Dalam pada itu, jumlah mustahik (muslim yang memenuhi syarat untuk menerima zakat fitrah) tahun ini sekitar 23,9 juta orang terdiri dari 15,7 juta orang miskin dan 8,2 juta orang miskin ekstrem (BAZNAS, 2022). Artinya, dari total potensi volume beras dan nilai rupiah itu, hanya sekitar 11% yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan mustahik di seluruh wilayah NKRI pada hari Raya Idul Fitri 1443 H tahun ini. Selebihnya (89%), setara dengan 424 – 471 ribu ton beras (Rp4,2 – Rp6 triliun) bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan pokok kaum fakir miskin selama sebelas bulan ke depan, hingga masuk bulan Ramadan berikutnya. Demikan, seterusnya.
Sementara itu, total potensi zakat mal (2,5% dari harta sesuai nisabnya) yang bisa dikumpulkan dari seluruh muslim muzaki (wajib bayar zakat) Indonesia rata-rata Rp327 triliun per tahun (BAZNAS, 2022). Zakat mal ini bisa digunakan untuk membantu usaha ekonomi kaum duafa, sehingga mereka menjadi ”tangan di atas” dan hidup sejahtera. Selain itu, zakat mal juga bisa untuk pembangunan sektor kesehatan dan pendidikan, dakwah, dan beragam kegiatan sosial (amal saleh) lainnya.
Apabila, iman dan taqwa muslim Indonesia terus meningkat, maka potensi dana filantropis yang bisa terkumpul dari infaq, sedekah, dan waqaf untuk mengatasi kemiskinan dan menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia itu akan jauh lebih besar dan dahsyat. Pasalnya, zakat mal itu hanya 2,5% total harta sesuai nisab. Sedangkan, infaq, sedekah, dan waqaf yang hukumnya sunah bisa sepertiga, setengah, atau bahkan seluruh harta, seperti yang dilakukan oleh para konglomerat dan sahabat Nabi Muhammad saw, Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan Abu Bakar Ashidiq.
Lihat Juga :
tulis komentar anda