Krisis Global, Bamsoet: Saatnya Indonesia Kembali ke Ekonomi Pancasila

Sabtu, 20 Juni 2020 - 19:13 WIB
"Para pejabat baik di tingkat pusat maupun daerah lebih condong berpihak pada para pengusaha besar dengan berbagai motivasi jangka pendek untuk kepentingan personal atau kelompok. Sehingga kelompok ekonomi bawah maupun kecil yang seharusnya menjadi prioritas justru tertinggal sama sekali di belakang," tandas Bamsoet.

Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menilai, jika sistem yang kontradiksi dalam demokrasi politik dan demokrasi ekonomi ini terus terjadi, maka masalah kesejahteraan sosial sangat sulit diwujudkan. Ketidakadilan dan kesenjangan ekonomi akan terus berjalan sehingga semakin jauh dari Pancasila dan cita-cita kemerdekaan bangsa.

"Tantangan terbesar Ekonomi Pancasila semata bukan hanya pada globalisasi, melainkan pada mental dan kualitas pejabatnya. Sebagus apapun konsep tatanan perekonomian tak akan membuahkan hasil maksimal jika dijalankan oleh para pejabat yang tak memiliki semangat nasionalisme dan berjiwa Pancasila," ujar Bamsoet.

Seperti diketahui, lanjut Bamsoet di sektor pangan kondisi kedaulatan pangan Indonesia tampak mulai memprihatinkan sejak 2010. Sejak 2010 – 2013, setiap tahun Indonesia mengimpor 1,5 juta ton garam (50% kebutuhan garam nasional), 70% kebutuhan kedelai nasional, 12% kebutuhan jagung, 15% kebutuhan kacang tanah, 90% kebutuhan bawang putih, 30% konsumsi daging sapi nasional, 70% kebutuhan susu, dan impor buah serta sayuran yang terus meningkat.

Kondisi ini terus memburuk sehingga pada 2017/2018 misalnya, Indonesia sudah menjadi importir gula terbesar dunia (4,45 juta ton) menggesar China (4,2 juta ton). Kondisi impor pangan yang lain juga tidak menunjukkan adanya perubahan yang berarti.

Saat ini, jelas Bamsoet, kondisi keuangan Indonesia dan juga banyak negara dunia lainnya sedang mengalami hantaman keras. Bisa dilihat dari penerimaan pajak yang terpukul, per April 2020 turun 3,1% menjadi Rp 376,3 triliun dengan defisit APBN mencapai Rp 74,5 triliun. Total hutang kita juga tak sedikit. Per April 2020, tercatat mencapai Rp5.172,48 triliun.

Terdiri dari Rp 4.338,44 triliun atau 83,9% dari Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp 834,04 triliun atau 16,1% berasal dari pinjaman luar dan negeri. Dimana Rp 9,92 triliun berasal dari pinjaman dalam negeri dan Rp 824,12 triliun dari pinjaman luar negeri.

Menurutnya, dalam banyak pembahasan tentang sistem perekonomian Indonesia, disebutkan Indonesia memiliki sistem ekonomi tersendiri di luar sistem ekonomi besar dunia yang berlaku di banyak Negara yakni, kapitalisame dan Sosialisme. Sistem perekonomian Indonesia adalah sebuah sistem khas dan genuine dirancang oleh para pendiri bangsa, yang merupakan “jalan ketiga” (the third way), dan bukan menjadi jalan tengah dari dua ideologi besar tersebut.

Sistem perekonomian nasional, secara yuridis konstitusional sesungguhnya telah diatur secara tegas dalam konstitusi. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan perwujudan dari sila kelima Pancasila, yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

"The founding fathers secara tegas merumuskan sistem perekonomian nasional kita bukanlah sistem ekonomi sosialis, di mana negara menjadi dominan sebagai pelaku ekonomi, dan bukan pula negara dengan sistem ekonomi kapitalis, dimana individu dan pasar menjadi dominan menentukan perilaku ekonomi,” kata Bamsoet. abdul rochim
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More