Berlebaran Tidak dengan La Sape
Kamis, 28 April 2022 - 16:17 WIB
Muhammad Sufyan Abdurrahman
Dosen Digital PR FKB Telkom University, Pengurus MUI Kota Bandung & IPHI Jabar
Publikasi sejumlah media daring pada pertengahan Ramadan 1443 H tentang La Sape (Society of Atmosphere-setters and Elegant People) di Kongo sangat menarik sekaligus reflektif. Komunitas masyarakat ini menekankan selalu tampil keren berbusana mahal pantang jiplakan, sekalipun kesehariannya miskin dan jadi makin sulit hidup imbas gaya hidup perlente tersebut.
Menarik sekaligus reflektif karena persis sebelum masuk bulan puasa, obrolan ruang publik (terutama pada medium digital) dibuat riuh afiliator Doni Salmanan dan Indra Kenz. Agar tampil keren dan dipandang crazy rich pengundang aneka atensi dan pujian, maka segala cara mereka halalkan. Sekalipun metode nyawer harus mereka lakukan di mana-mana, mereka tahu bahwa “metode” memancing duit dengan duit ini, masih relatif efektif pada kultur masyarakat komunal Indonesia.
Pada waktu bersamaan, momen mudik tahun ini pun terasa spesial karena dua tahun dilarang pemerintah imbas pandemi. Tahun ini, tak perlu lagi sembunyi-sembunyi mencari jalan tikus dan atau bergonta-ganti kendaraan hindari razia untuk bisa Lebaran di tempat asal. Maka itu, di balik berbagai tasyakur bisa kembali silaturahim tanpa keraguan, momen Lebaran tahun ini boleh jadi akan muncul derivasi semacam La Sape di Tanah Air. Bahkan mungkin makin menjadi dari mudik-mudik sebelum pandemi. Berusaha tampil sohor super keren efek dua tahun “dikekang” (tak bisa show off depan sanak famili dan kolega), sekalipun sesungguhnya berkantong tekor hingga nekat menerabas segala aturan semacam para afiliator tadi.
Indonesia adalah pemilik ritual mudik terbesar sekaligus terunik di dunia. Momen silaturahim masif ini tak cukup sekadar berajang sana, namun sudah sejak lama berkelindan dengan syahwat memamerkan aneka pencapaian di kampung halaman tak peduli bagaimanapun “metode” dalam mencapainya. Terpaan media sosial yang kian merata di semua lokasi geografis Indonesia yang menekankan pola tampil sempurna secara visual, kian menambah sesak naluri pamer tersebut hingga pada usia bocil dan abege.
Untuk itulah, kiranya kita semua terutama penulis dan keluarga, perlu sejenak kontemplasi pada tiga poin. Pertama, umat Islam memang sudah Allah sebutkan memiliki naluri pamer seperti tersurat dalam QS. Al-Hadid ayat 20 (tafaa hurum baynakum/saling berbangga di antara kamu serta takatsurum fiil amwali wal awlaadi/berlomba dalam kekayaan dan keturunan). Hal ini konsekuensi logis ketika banyak umat menjadikan dunia sebagai perhiasan (ziinatun) padahal Allah masih dalam ayat tersebut meminta menempatkan dunia sebagai permainan dan sendagurau (la’ibuw wa lahwun).
Momen silaturahmi bukan lagi saling merekatkan relasi namun kesempatan perlihatkan kekayaan duniawi seri terbaru, mulai dari alas kaki seri terbatas hingga kendaraan mewah sekalipun sampai harus menyewa mingguan dulu sebelum mudik. Saat ini, jangankan mobil, pesawat carter hingga tas branded pun sudah bisa dirental harian. Di sisi lain, open house bukannya saling menguatkan aneka kelemahan anggota keluarga besar, namun jadi tanya jawab berapa jumlah anakmu, kerjanya di mana, sudah kawin atau belum, rumah di mana saja, bagaimana karirmu, dan pelbagai pertanyaan-pertanyaan rese lainnya.
Untuk itulah, sebagaimana para ulama tekankan, tempatkanlah dunia bukan sebagai sumber utama pencapaian penyilau mata, namun sebatas sirkulir kesempatan aneka rizki Allah. Sehingga kelebihan nikmat bukannya diperlombakan pamer, namun kesempatan saling membantu keluarga besar satu sama lainnya. Dengan pola pikir demikian, sepatutnya tak panas dengan keberhasilan yang lain namun turut tambah bahagia. Serta sebaliknya tidak mengejek kekurangan anggota keluarga lain yang memang pasti ada dan sulit ditutupi. Marilah peka dan empati saat berkomunikasi saat momen mudik dan Lebaran.
Dosen Digital PR FKB Telkom University, Pengurus MUI Kota Bandung & IPHI Jabar
Publikasi sejumlah media daring pada pertengahan Ramadan 1443 H tentang La Sape (Society of Atmosphere-setters and Elegant People) di Kongo sangat menarik sekaligus reflektif. Komunitas masyarakat ini menekankan selalu tampil keren berbusana mahal pantang jiplakan, sekalipun kesehariannya miskin dan jadi makin sulit hidup imbas gaya hidup perlente tersebut.
Menarik sekaligus reflektif karena persis sebelum masuk bulan puasa, obrolan ruang publik (terutama pada medium digital) dibuat riuh afiliator Doni Salmanan dan Indra Kenz. Agar tampil keren dan dipandang crazy rich pengundang aneka atensi dan pujian, maka segala cara mereka halalkan. Sekalipun metode nyawer harus mereka lakukan di mana-mana, mereka tahu bahwa “metode” memancing duit dengan duit ini, masih relatif efektif pada kultur masyarakat komunal Indonesia.
Pada waktu bersamaan, momen mudik tahun ini pun terasa spesial karena dua tahun dilarang pemerintah imbas pandemi. Tahun ini, tak perlu lagi sembunyi-sembunyi mencari jalan tikus dan atau bergonta-ganti kendaraan hindari razia untuk bisa Lebaran di tempat asal. Maka itu, di balik berbagai tasyakur bisa kembali silaturahim tanpa keraguan, momen Lebaran tahun ini boleh jadi akan muncul derivasi semacam La Sape di Tanah Air. Bahkan mungkin makin menjadi dari mudik-mudik sebelum pandemi. Berusaha tampil sohor super keren efek dua tahun “dikekang” (tak bisa show off depan sanak famili dan kolega), sekalipun sesungguhnya berkantong tekor hingga nekat menerabas segala aturan semacam para afiliator tadi.
Indonesia adalah pemilik ritual mudik terbesar sekaligus terunik di dunia. Momen silaturahim masif ini tak cukup sekadar berajang sana, namun sudah sejak lama berkelindan dengan syahwat memamerkan aneka pencapaian di kampung halaman tak peduli bagaimanapun “metode” dalam mencapainya. Terpaan media sosial yang kian merata di semua lokasi geografis Indonesia yang menekankan pola tampil sempurna secara visual, kian menambah sesak naluri pamer tersebut hingga pada usia bocil dan abege.
Untuk itulah, kiranya kita semua terutama penulis dan keluarga, perlu sejenak kontemplasi pada tiga poin. Pertama, umat Islam memang sudah Allah sebutkan memiliki naluri pamer seperti tersurat dalam QS. Al-Hadid ayat 20 (tafaa hurum baynakum/saling berbangga di antara kamu serta takatsurum fiil amwali wal awlaadi/berlomba dalam kekayaan dan keturunan). Hal ini konsekuensi logis ketika banyak umat menjadikan dunia sebagai perhiasan (ziinatun) padahal Allah masih dalam ayat tersebut meminta menempatkan dunia sebagai permainan dan sendagurau (la’ibuw wa lahwun).
Momen silaturahmi bukan lagi saling merekatkan relasi namun kesempatan perlihatkan kekayaan duniawi seri terbaru, mulai dari alas kaki seri terbatas hingga kendaraan mewah sekalipun sampai harus menyewa mingguan dulu sebelum mudik. Saat ini, jangankan mobil, pesawat carter hingga tas branded pun sudah bisa dirental harian. Di sisi lain, open house bukannya saling menguatkan aneka kelemahan anggota keluarga besar, namun jadi tanya jawab berapa jumlah anakmu, kerjanya di mana, sudah kawin atau belum, rumah di mana saja, bagaimana karirmu, dan pelbagai pertanyaan-pertanyaan rese lainnya.
Untuk itulah, sebagaimana para ulama tekankan, tempatkanlah dunia bukan sebagai sumber utama pencapaian penyilau mata, namun sebatas sirkulir kesempatan aneka rizki Allah. Sehingga kelebihan nikmat bukannya diperlombakan pamer, namun kesempatan saling membantu keluarga besar satu sama lainnya. Dengan pola pikir demikian, sepatutnya tak panas dengan keberhasilan yang lain namun turut tambah bahagia. Serta sebaliknya tidak mengejek kekurangan anggota keluarga lain yang memang pasti ada dan sulit ditutupi. Marilah peka dan empati saat berkomunikasi saat momen mudik dan Lebaran.
tulis komentar anda