Prabowo Subianto Dinilai Jadi Solusi Atasi Polarisasi Pemilu 2024
Senin, 18 April 2022 - 14:05 WIB
JAKARTA - Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto dinilai mampu menjadi solusi mengatasi polarisasi masyakat pada Pemilu 2024. Pasalnya, potensi polarisasi masih sangat mungkin terjadi seperti halnya pada Pilpres 2014 dan 2019.
“Kalau terjadi pertarungan Ganjar-Anies saat pilpres 2024 mendatang saya yakin akan terbentuk polarisasi yang semakin tajam lagi di masyarakat kita, cebong versus kadrun akan berulang lagi dan itu bisa berakibat buruk bagi bangsa ini,” kata Sekretaris Presidium Nasional Poros Prabowo-Puan, Dhachri Oskandar Senin (18/4/2022).
Kentalnya polarisasi sisa dari pilpres terdahulu menurut Dhachri, terlihat dari aksi pengeroyokan terhadap aktivis media sosial Ade Armando saat aksi demonstrasi di depan Gedung DPR beberapa waktu lalu. “Kami relawan Poros Prabowo-Puan sangat prihatin dengan kondisi bangsa kita saat ini. Banyak terjadi gesekan antar kelompok masyarakat yang berbeda pandangan politik akibat polarisasi politik yang terbentuk,” ungkapnya.
Dhachri menjelaskan, sangat disayangkan ketika saat ini segala hal interaksi sosial politik selalu digiring dalam situasi pertentangan antar kelompok yang diistilahkan cebong bagi pendukung Jokowi dan pemerintahannya dan kampret atau kadrun bagi yang mengkritisi atau oposannya. Oleh karena itu, dalam Pemilu 2024, sosok Prabowo Subianto kemudian yang dianggap layak untuk menghentikan polarisasi yang sudah sekian tahun berlangsung tersebut.
“Kenapa saya katakan jalan tengah, karena Prabowo telah membuktikan dengan masuk ke dalam kabinet Presiden Jokowi untuk kepentingan bangsa guna meredam polarisasi cebong kadrun yang populis saat itu. Prabowo Subianto adalah tokoh yang bisa merangkul atau mewakili semua golongan masyarakat yang terpolarisasi tadi,” jelasnya.
Selain itu, Dachri turut menjelaskan, polarisasi terjadi bila pihak kanan bermain di antara para calon, sehingga menonjol dalam kampanye jargon agama. “Kalau itu muncul terhadap salah satu calon maka polarisasi akan terjadi lagi. Stop politisasi agama untuk kepentingan politik, maka polarisasi tidak akan terjadi,” tegasnya.
Sesuai UU No 10 Tahun 2008, bangsa Indonesia sudah sepakat akan memenuhi keterlibatan perempuan dalam dunia politik dengan kuota 30%. Tokoh perempuan di dunia politik juga sangat diperlukan untuk membangun kultur pengambilan kebijakan publik yang ramah dan sensitif pada kepentingan perempuan di Indonesia.
“Kalau terjadi pertarungan Ganjar-Anies saat pilpres 2024 mendatang saya yakin akan terbentuk polarisasi yang semakin tajam lagi di masyarakat kita, cebong versus kadrun akan berulang lagi dan itu bisa berakibat buruk bagi bangsa ini,” kata Sekretaris Presidium Nasional Poros Prabowo-Puan, Dhachri Oskandar Senin (18/4/2022).
Kentalnya polarisasi sisa dari pilpres terdahulu menurut Dhachri, terlihat dari aksi pengeroyokan terhadap aktivis media sosial Ade Armando saat aksi demonstrasi di depan Gedung DPR beberapa waktu lalu. “Kami relawan Poros Prabowo-Puan sangat prihatin dengan kondisi bangsa kita saat ini. Banyak terjadi gesekan antar kelompok masyarakat yang berbeda pandangan politik akibat polarisasi politik yang terbentuk,” ungkapnya.
Dhachri menjelaskan, sangat disayangkan ketika saat ini segala hal interaksi sosial politik selalu digiring dalam situasi pertentangan antar kelompok yang diistilahkan cebong bagi pendukung Jokowi dan pemerintahannya dan kampret atau kadrun bagi yang mengkritisi atau oposannya. Oleh karena itu, dalam Pemilu 2024, sosok Prabowo Subianto kemudian yang dianggap layak untuk menghentikan polarisasi yang sudah sekian tahun berlangsung tersebut.
“Kenapa saya katakan jalan tengah, karena Prabowo telah membuktikan dengan masuk ke dalam kabinet Presiden Jokowi untuk kepentingan bangsa guna meredam polarisasi cebong kadrun yang populis saat itu. Prabowo Subianto adalah tokoh yang bisa merangkul atau mewakili semua golongan masyarakat yang terpolarisasi tadi,” jelasnya.
Selain itu, Dachri turut menjelaskan, polarisasi terjadi bila pihak kanan bermain di antara para calon, sehingga menonjol dalam kampanye jargon agama. “Kalau itu muncul terhadap salah satu calon maka polarisasi akan terjadi lagi. Stop politisasi agama untuk kepentingan politik, maka polarisasi tidak akan terjadi,” tegasnya.
Sesuai UU No 10 Tahun 2008, bangsa Indonesia sudah sepakat akan memenuhi keterlibatan perempuan dalam dunia politik dengan kuota 30%. Tokoh perempuan di dunia politik juga sangat diperlukan untuk membangun kultur pengambilan kebijakan publik yang ramah dan sensitif pada kepentingan perempuan di Indonesia.
tulis komentar anda