Waspada Adu Domba dari Sosial Media
Kamis, 24 Maret 2022 - 18:09 WIB
PERKEMBANGAN dunia digital telah menyasar ke segala aspek kehidupan. Hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi. Bahkan, digitalisasi sudah menjadi adiksi bagi masyarakat terutama di kota-kota besar.
Namun demikian, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar. Tak jarang, masyarakat terprovokasi dengan konten-konten bernarasi adu domba di media sosial.
Konten-konten itu menyasar masyarakat dari segala level sosial maupun ekonomi. Umumnya konten-konten yang diproduksi menunggangi momen atau kejadian tertentu. Bahkan penyebaran konten provokatif dan mengadu domba itu kini juga dilakukan oleh media mainstream. Salah satu contohnya, aksi Fitri Arni Matondang yang menerobos dan menabrakkan motor yang dikendarainya ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polres Pematangsiantar.
Dengan atribut keagamaan yang dikenakannya, kejadian tersebut sontak dikaitkan dengan pemahaman keagamaan pelaku. Bahkan, tanpa proses check and recheck, beberapa media mainstream menuliskan, aksi yang dilakukan Fitri, karena perempuan tersebut ingin masuk surga. Narasi yang dikembangkan dibumbui dengan menyebutkan ormas Islam tertentu sebagai alasan Fitri melakukan tindakan tersebut.
Yang tak kalah sadis, di media sosial, para buzzer dan akun-akun anonim melakukan orkestrasi bahwa apa yang dilakukan oleh Fitri tersebut merupakan pemahaman keagamaan. Faktanya, polisi menduga Fitri mengalami stres karena pelaku ingin kembali rujuk dengan mantan suaminya, tetapi tidak direstui keluarganya.
Banyaknya disinformasi dan provokasi di masyarakat tak lain karena minimnya literasi masyarakat di media sosial. Sehingga muncul efek negatif seperti suburnya hoaks, fitnah, ujaran kebencian, dan provokasi.
Media sosial dapat menjadi alat yang luar biasa untuk menggerakkan massa. Apalagi dengan semakin maraknya kecenderungan provokasi, sehingga narasi yang dikembangkan menjadi semakin liar. Ironisnya, masyarakat banyak yang tidak sadar dengan disinformasi dan adu domba itu.
Pengguna sosial media rentan dengan penyebaran konten atau informasi negatif. Karenanya, masyarakat perlu memiliki kesadaran menjadikan etika digital sebagai panduan menggunakan media digital. Sebagai pengguna internet tentu masyarakat diharapkan memahami aturan hukum yang mengatur gerak-gerik di dunia digital. Aturan hukum tersebut tertuang di dalam UU ITE.
Media sosial menjadi sebuah ruang publik yang terbuka bagi semua orang untuk mengemukakan opini, mengunggah informasi sesuai keinginan dan kebutuhan. Dengan segala kelebihannya, media sosial menjadi paling cepat, mudah, dan murah untuk menyampaikan pendapat dan gagasan. Namun, saat media sosial isinya hoaks, informasi negatif, penuh dengan caci-maki dan kebencian, pada titik inilah banyak pihak mulai risau dengan kehadiran dan peran media sosial.
Namun demikian, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar. Tak jarang, masyarakat terprovokasi dengan konten-konten bernarasi adu domba di media sosial.
Konten-konten itu menyasar masyarakat dari segala level sosial maupun ekonomi. Umumnya konten-konten yang diproduksi menunggangi momen atau kejadian tertentu. Bahkan penyebaran konten provokatif dan mengadu domba itu kini juga dilakukan oleh media mainstream. Salah satu contohnya, aksi Fitri Arni Matondang yang menerobos dan menabrakkan motor yang dikendarainya ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polres Pematangsiantar.
Dengan atribut keagamaan yang dikenakannya, kejadian tersebut sontak dikaitkan dengan pemahaman keagamaan pelaku. Bahkan, tanpa proses check and recheck, beberapa media mainstream menuliskan, aksi yang dilakukan Fitri, karena perempuan tersebut ingin masuk surga. Narasi yang dikembangkan dibumbui dengan menyebutkan ormas Islam tertentu sebagai alasan Fitri melakukan tindakan tersebut.
Yang tak kalah sadis, di media sosial, para buzzer dan akun-akun anonim melakukan orkestrasi bahwa apa yang dilakukan oleh Fitri tersebut merupakan pemahaman keagamaan. Faktanya, polisi menduga Fitri mengalami stres karena pelaku ingin kembali rujuk dengan mantan suaminya, tetapi tidak direstui keluarganya.
Banyaknya disinformasi dan provokasi di masyarakat tak lain karena minimnya literasi masyarakat di media sosial. Sehingga muncul efek negatif seperti suburnya hoaks, fitnah, ujaran kebencian, dan provokasi.
Media sosial dapat menjadi alat yang luar biasa untuk menggerakkan massa. Apalagi dengan semakin maraknya kecenderungan provokasi, sehingga narasi yang dikembangkan menjadi semakin liar. Ironisnya, masyarakat banyak yang tidak sadar dengan disinformasi dan adu domba itu.
Pengguna sosial media rentan dengan penyebaran konten atau informasi negatif. Karenanya, masyarakat perlu memiliki kesadaran menjadikan etika digital sebagai panduan menggunakan media digital. Sebagai pengguna internet tentu masyarakat diharapkan memahami aturan hukum yang mengatur gerak-gerik di dunia digital. Aturan hukum tersebut tertuang di dalam UU ITE.
Media sosial menjadi sebuah ruang publik yang terbuka bagi semua orang untuk mengemukakan opini, mengunggah informasi sesuai keinginan dan kebutuhan. Dengan segala kelebihannya, media sosial menjadi paling cepat, mudah, dan murah untuk menyampaikan pendapat dan gagasan. Namun, saat media sosial isinya hoaks, informasi negatif, penuh dengan caci-maki dan kebencian, pada titik inilah banyak pihak mulai risau dengan kehadiran dan peran media sosial.
Lihat Juga :
tulis komentar anda