Mengakhiri Polemik Politisasi Toa
Selasa, 08 Maret 2022 - 06:05 WIB
SE Toa untuk Ciptakan Kehidupan Harmonis
Ketika SE aturan Toa Masjid dan Mushalla dikeluarkan lalu menjadi polemik, banyak pihak yang mempolitisasi. Suara nyaring dan teriakan lantang datang dari pelbagai arus terutama dari kelompok-kelompok radikal yang selama ini kerap memusuhi dan tidak setuju dengan kebijakan Menag. Lebih dari itu, mereka tidak hanya memusuhi kebijakannya tetapi juga memusuhi dan membenci pribadi Gus Yaqut. Puncak dari kebencian itu mereka luapkan dengan melakukan aksi demonstrasi meminta Presiden Jokowi mencopot Gus Yaqut dari jabatan Menteri Agama.
Pada titik inilah, patut dicurigai jangan-jangan teriakan lantang dan desakan mencopot Gus Yaqut dari Menag hanya semata-mata disebabkan kebencian dan "ketidaksukaan" terhadap Menag. Andai saja Gus Yaqut dinyatakan bersalah, apakah cukup alasan mencopot Gus Yaqut dari Menag, dan apakah berbanding lurus hanya karena disebabkan kesalahpahaman dalam menafsirkan statemen yang ditafsirkan sempit lalu didesak mundur dan dipecat.
Padahal, semua itu terjadi akibat propaganda dan narasi yang sengaja "digoreng" untuk menyudutkan gus Yaqut seolah-olah salah sehingga dibenci publik. Dari sini, penulis meyakini bahwa polemik soal SE Toa Masjid dan Mushalla jelas dipolitisasi dan digoreng sedemikian rupa terutama oleh pihak-pihak yang selama ini antiterhadap Menag karena Gus Yaqut adalah menteri yang paling lantang mengobarkan api perlawanan dan perang terhadap radikalisme dan ekstremisme. Akibatnya, kelompok ini merasa tidak nyaman dengan kebijakan Gus Yaqut yang oleh mereka dianggap merugikan.
Sejak dilantik menjadi Menteri Agama, Gus Yaqut banyak melakukan terobosan kebijakan yang progresif. Meskipun kebijakannya resisten dan menuai polemik, namun niat dan semangat Gus Yaqut tak lain dan tak bukan semata-mata untuk menciptakan kehidupan umat yang harmonis, hidup rukun, dan tidak ada yang merasa terganggu sehingga merasa nyaman dan tentram. Dalam konteks mewujudkan kehidupan yang harmonis antar umat beragama sudah tentu tidak boleh ada yang merasa "terganggu" apalagi merasa "bising" dengan suara nyaring yang dinilai mengganggu kenyamanannya.
Maka hal tersebut menjadi suatu hal yang wajar ketika dibuatkan aturan termasuk soal aturan Toa Masjid dan Mushalla. Hanya saja, masyarakat nampaknya termakan isu dan terprovokasi oleh narasi-narasi "jahat" dalam perspektif penulis. Padahal jika ditelaah secara mendalam, SE tersebut tak merugikan umat Islam, tetapi justru SE tersebut adalah bentuk toleransi keberagaman. Inilah yang sesungguhnya tidak dipahami publik dan terburu-buru memberikan penilaian negatif alias objektif terhadap persoalan SE dan stetemen Gus Yaqut.
Lihat Juga: Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi: Kebutuhan untuk Wujudkan Merdeka Belajar
Ketika SE aturan Toa Masjid dan Mushalla dikeluarkan lalu menjadi polemik, banyak pihak yang mempolitisasi. Suara nyaring dan teriakan lantang datang dari pelbagai arus terutama dari kelompok-kelompok radikal yang selama ini kerap memusuhi dan tidak setuju dengan kebijakan Menag. Lebih dari itu, mereka tidak hanya memusuhi kebijakannya tetapi juga memusuhi dan membenci pribadi Gus Yaqut. Puncak dari kebencian itu mereka luapkan dengan melakukan aksi demonstrasi meminta Presiden Jokowi mencopot Gus Yaqut dari jabatan Menteri Agama.
Pada titik inilah, patut dicurigai jangan-jangan teriakan lantang dan desakan mencopot Gus Yaqut dari Menag hanya semata-mata disebabkan kebencian dan "ketidaksukaan" terhadap Menag. Andai saja Gus Yaqut dinyatakan bersalah, apakah cukup alasan mencopot Gus Yaqut dari Menag, dan apakah berbanding lurus hanya karena disebabkan kesalahpahaman dalam menafsirkan statemen yang ditafsirkan sempit lalu didesak mundur dan dipecat.
Padahal, semua itu terjadi akibat propaganda dan narasi yang sengaja "digoreng" untuk menyudutkan gus Yaqut seolah-olah salah sehingga dibenci publik. Dari sini, penulis meyakini bahwa polemik soal SE Toa Masjid dan Mushalla jelas dipolitisasi dan digoreng sedemikian rupa terutama oleh pihak-pihak yang selama ini antiterhadap Menag karena Gus Yaqut adalah menteri yang paling lantang mengobarkan api perlawanan dan perang terhadap radikalisme dan ekstremisme. Akibatnya, kelompok ini merasa tidak nyaman dengan kebijakan Gus Yaqut yang oleh mereka dianggap merugikan.
Sejak dilantik menjadi Menteri Agama, Gus Yaqut banyak melakukan terobosan kebijakan yang progresif. Meskipun kebijakannya resisten dan menuai polemik, namun niat dan semangat Gus Yaqut tak lain dan tak bukan semata-mata untuk menciptakan kehidupan umat yang harmonis, hidup rukun, dan tidak ada yang merasa terganggu sehingga merasa nyaman dan tentram. Dalam konteks mewujudkan kehidupan yang harmonis antar umat beragama sudah tentu tidak boleh ada yang merasa "terganggu" apalagi merasa "bising" dengan suara nyaring yang dinilai mengganggu kenyamanannya.
Maka hal tersebut menjadi suatu hal yang wajar ketika dibuatkan aturan termasuk soal aturan Toa Masjid dan Mushalla. Hanya saja, masyarakat nampaknya termakan isu dan terprovokasi oleh narasi-narasi "jahat" dalam perspektif penulis. Padahal jika ditelaah secara mendalam, SE tersebut tak merugikan umat Islam, tetapi justru SE tersebut adalah bentuk toleransi keberagaman. Inilah yang sesungguhnya tidak dipahami publik dan terburu-buru memberikan penilaian negatif alias objektif terhadap persoalan SE dan stetemen Gus Yaqut.
Lihat Juga: Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi: Kebutuhan untuk Wujudkan Merdeka Belajar
(kri)
tulis komentar anda