Harga BBM di Tengah Perang Rusia-Ukraina 

Senin, 07 Maret 2022 - 16:29 WIB
Harga minyak dunia terus melonjak akibat dampak perang Rusia-Ukraina. FOTO/Istimewa
Harga sejumlah komoditas yang terus merangkak naik dalam beberapa bulan terakhir tidak bisa bisa dihindari. Sebagai bagian dari rantai pasok global, dampak kenaikan harga-harga di pasar internasional cepat atau lambat tentu saja akan dirasakan di Tanah Air.

Jauh sebelum serangan Rusia ke Ukraina, komoditas seperti minyak , batu bara, gas dan minyak sawit mentah (CPO) sebenarnya sudah merangkak naik. Pemicunya, tak lain karena permintaan dari sejumlah negara yang sudah mulai pulih seiring bergeliatnya ekonomi di era pasca pandemi.

Diketahui, di negara-negara terutama Eropa, aktivitas dan pergerakan warganya kian diperlonggar dan bahkan sudah bisa bebas melenggang tanpa mengenakan masker. Event-event olahraga yang mendatangkan massa pun tak lagi jaga jarak, plus kapasitas tempat duduk yang full.



Sektor pariwisata global pun sejak kuartal IV tahun lalu mulai dibuka. Ini memicu perjalanan luar negeri yang kian mengalir. Terakhir, Australia mulai pekan lalu membuka isolasi mereka dengan memperbolehkan kunjungan wisatawan dari luar negeri, termasuk Indonesia.

Momentun ini pun langsung disambut baik para pemangku kepentingan di sektor wisata termasuk maskapai nasional Garuda Indonesia yang kembali melayani penerbangan Sydney-Denpasar.

Kembali bergeliatnya ekonomi sudah barang tentu memicu meningkatnya permintaan komoditas termasuk energi. Sayangnya, di sisi lain perang yang berkecamuk antara Rusia versus Ukraina justru memperparah keadaan. Harga komoditas naik drastis. Minyak mentah misalnya, pada akhir pekan lalu mencapai USD118 per barel, tertinggi sejak 2013 silam. Begitupun batu bara yang awalnya sudah naik, kini bertambah tinggi di level USD400 per ton. Adapun harga CPO pada Jumat (4/3) lalu sempat menyentuh level 6.808 ringgit Malaysia per ton, tertinggi sejak 1980.

Melonjaknya beberapa komoditas utama perdagangan dunia harus direspons pemerintah demi menjamin kelangsungan suplai dalam negeri. Khusus untuk sektor energi, kendati di sisi hulu menguntungkan produsesn minyak, akan tetapi sektor hilir dan midstream justru menemui tantangan yang luar biasa. Di sektor midstream dan hilir, pelaku usaha terpaksa membeli harga minyak mentah dengah harga terbaru yang relatif tinggi. Pun demikian di sisi hilir, jika tidak ada penyesuaian harga jual dipastikan merugi karena bahan bakunya mahal.

Di dalam negeri beberapa operator penjual BBM mulai menyesuaikan harga bensin. Shell misalnya, untuk jenis BBM RON 95, kini harganya Rp14.500 per liter, naik Rp950 per liter dibanding sebelumnya Rp13.550 per liter. Demikian pula harga solar V-Power Diesel naik Rp480 per liter dari semula Rp13.270 menjadi Rp13.740 per liter. Adapun untuk bensin jenis RON 92 yang dinamai Shell Super tetap di level Rp12.990 per liter.

Operator lainnya, BP-AKR bahan bakar jenis RON 95 naik Rp450 per liter dari semula Rp13.450 menjadi Rp13.900 per liter. Adapun BP Diesel naik Rp510 per liter dari sebelumnya Rp12.990 menjadi Rp13.500 per liter.

Sebagai perbandingan, di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina, harga BBM jenis RON 98 (Pertamax Turbo) kini dijual seharga Rp14.500-15.100 per liter, dari sebelumnya Rp13.500-14.000 per liter. Dexlite kini dibanderol Rp12.950-13.550 per liter, naik dari sebelumnya Rp12.150-12.650 per liter. Sementara Pertamina DEX kini dijual seharga Rp13.700-14.300 per liter, naik dari sebelumnya Rp13.200-13.700 per liter.

Sementara itu, untuk harga bensin jenis RON 90 (Pertalite) di Pertamina masih dipertahankan di harga Rp7.650 per liter dan RON 92 (Pertamax) di angka Rp9.000-9.400 per liter. Sebagai perbandingan, untuk jenis BBM RON 92 di SPBU lain, harganya berada di kisaran Rp12.900 di Shell) dan Rp12.500 di SPBU BP-AKR.

BBM jenis Pertalite sampai saat ini belum ada penyesuaian harga meskipun sejumlah kalangan menilai harga yang berlaku saat ini berada di bawah keekonomian. Akan tetapi, dengan dipertahankannya harga Pertalite, kebijakan ini cukup tepat mengingat apabila dinaikkan akan berdampak cukup panjang ke sektor ritel maupun transportasi. Dalam hal ini ada aspek sosial dan ekonomi yang dipertimbangkan. Pertanyaannya, sampai kapan badan usaha pelat merah itu akan menanggung selisih harga BBM Pertalite yang bukan penugasan seperti jenis premium itu?
(ynt)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More