Mengatasi Dampak Kekerasan dan Pelecehan dengan Komunikasi
Kamis, 24 Februari 2022 - 19:53 WIB
Dianingtyas Putri
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Bakrie
Kekerasan seksual di Indonesia masih terjadi, bahkan ketika dalam situasi pandemi pun meningkat secara signifikan. Kekerasan yang dilakukan beragam, terjadi dalam hubungan personal, hubungan keluarga, dan hubungan profesional.
Dalam hubungan pacaran, tidak jarang dilakukan oleh pasangannya. Mereka menjalani hubungan secara intim, kemudian hasil hubungan tersebut dijadikan ancaman bagi salah satu pihak untuk selalu menuruti yang diinginkan oleh pasangannya. Begitu juga dalam hubungan keluarga, orang terdekat yang melakukannya. Faktanya, korban yang menjadi kekerasan seksual adalah perempuan.
Selanjutnya, definisi antara kekerasan seksual dengan pelecehan seksual memiliki pemaknaan yang berbeda. Dalam artikel berjudul "Labelisasi Terhadap Penyintas Kekerasan Seksual Ditinjau dari Psikologi Sosial", pelecehan seksual atau yang biasa dikenal sebagai sexual harassment ialah salah satu bentuk kekerasan seksual yang menjadi masalah global saat ini, yang merujuk pada berbagai perilaku berupa komentar-komentar yang tidak pantas seperti panggilan 'sayang' sampai dengan pendekatan-pendekatan fisik yang berorientasi seksual di tempat kerja, catcalling, dan sebagainya.
Kekerasan seksual merupakan suatu tindakan kekerasan yang mengenai fisik hingga bisa menyebabkan kematian. Data World Health Organization (WHO) memperkirakan korban kekerasan seksual terjadi pada perempuan usia 15-44 tahun. Jika dibandingkan dengan kombinasi kanker, malaria, dan kecelakaan lalu lintas, Catatan Tahunan (Catahu) dari Komisi Nasional Kekerasan terhadap perempuan menunjukkan angka kekerasan yang terus meningkat sejak tahun 2010. Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) dalam komnasperempuan.go.id menyatakan 15 bentuk kekerasan seksual yang ditemukan yakni perkosaan, intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, perbudakan seksual, pelecehan seksual, hingga penyiksaan seksual (Putri & Dyah, 2021: 12).
Dampak yang ditimbulkan dari kekerasan seksual ini menimbulkan kerugian banyak hal, di antaranya adalah kerugian secara psikis, fisik, dan sosialnya. Pada psikis, tentunya akan memengaruhi proses pembentukkan self-concept-nya yang cenderung negatif sehingga akan terjadi efek domino terhadap self lainnya yakni esteem, efficacy, serta actualization-nya. Dengan kata lain, self-concept negatif maka self-anxiety-nya positif. Di sini korban akan merasa dirinya tidak berharga lagi sehingga tidak menutup kemungkinan untuk melakukan tindakan di luar kendali dirinya yakni melakukan tindakan bunuh diri (suicide).
Putri & Dyah (2021: 14) menyampaikan juga efek dari kekerasan dan pelecehan seksual ini dapat meninggalkan memori yang buruk, oleh karenanya dapat berimplikasi terhadap mind, body, dan soul-nya. Dalam arti, labelisasi dari masyarakat atas seseorang yang terganggu jiwanya sampai saat ini masih menjadi permasalahan yang sangat serius karena stigma negatif yang memang terbentuk di masyarakat apabila seseorang membutuhkan psikolog atau psikiater dinilai orang tersebut tidak waras dan dikucilkan.
Mengetahui dampak yang sangat signifikan dari kekerasan seksual, penting sekali peranan keluarga yang menjadi supporting system-nya untuk membantu melalui pascatraumatik dari perilaku tersebut. Keluarga adalah wadah atau sanctuary penyembuhan bagi korban kekerasan seksual. Di sini keluarga jangan bersikap berlebihan pada korban seperti marah, frustrasi, tidak percaya, dan merasa dikecewakan. Selain itu, keluarga harus memberikan dukungan yang positif bahwa korban bisa melaluinya, lalu ciptakan iklim komunikasi yang kondusif dengan memberikan rasa nyaman dan aman.
Korban butuh lingkungan yang mau menerima dan mendengarkannya, sehingga selain keluarga, peer group juga memberikan tempat ini bagi mereka. Selanjutnya, jangan memberikan banyak kalimat pertanyaan yang menyudutkan korban yakni kapan, di mana, bagaimana, mengapa, dan siapa. Sebab kalimat yang negatif demikian akan menyebabkan korban sulit untuk bisa melaluinya. Oleh karena itu, peran significant others ialah menghormati privacy-nya dengan tidak memaksakan atau menggesa-gesa mereka untuk segera menceritakannya. Dengan demikian, apabila korban dan significant others-nya dapat melalui bersama dan full support maka akan tercipta 3MB yaitu menerima, memaafkan, mensyukuri, dan belajar dari pengalaman tersebut sehingga akan menjadi pengetahuan dan hubungan yang terjalin semakin kuat dan positif.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Bakrie
Kekerasan seksual di Indonesia masih terjadi, bahkan ketika dalam situasi pandemi pun meningkat secara signifikan. Kekerasan yang dilakukan beragam, terjadi dalam hubungan personal, hubungan keluarga, dan hubungan profesional.
Dalam hubungan pacaran, tidak jarang dilakukan oleh pasangannya. Mereka menjalani hubungan secara intim, kemudian hasil hubungan tersebut dijadikan ancaman bagi salah satu pihak untuk selalu menuruti yang diinginkan oleh pasangannya. Begitu juga dalam hubungan keluarga, orang terdekat yang melakukannya. Faktanya, korban yang menjadi kekerasan seksual adalah perempuan.
Selanjutnya, definisi antara kekerasan seksual dengan pelecehan seksual memiliki pemaknaan yang berbeda. Dalam artikel berjudul "Labelisasi Terhadap Penyintas Kekerasan Seksual Ditinjau dari Psikologi Sosial", pelecehan seksual atau yang biasa dikenal sebagai sexual harassment ialah salah satu bentuk kekerasan seksual yang menjadi masalah global saat ini, yang merujuk pada berbagai perilaku berupa komentar-komentar yang tidak pantas seperti panggilan 'sayang' sampai dengan pendekatan-pendekatan fisik yang berorientasi seksual di tempat kerja, catcalling, dan sebagainya.
Kekerasan seksual merupakan suatu tindakan kekerasan yang mengenai fisik hingga bisa menyebabkan kematian. Data World Health Organization (WHO) memperkirakan korban kekerasan seksual terjadi pada perempuan usia 15-44 tahun. Jika dibandingkan dengan kombinasi kanker, malaria, dan kecelakaan lalu lintas, Catatan Tahunan (Catahu) dari Komisi Nasional Kekerasan terhadap perempuan menunjukkan angka kekerasan yang terus meningkat sejak tahun 2010. Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) dalam komnasperempuan.go.id menyatakan 15 bentuk kekerasan seksual yang ditemukan yakni perkosaan, intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, perbudakan seksual, pelecehan seksual, hingga penyiksaan seksual (Putri & Dyah, 2021: 12).
Dampak yang ditimbulkan dari kekerasan seksual ini menimbulkan kerugian banyak hal, di antaranya adalah kerugian secara psikis, fisik, dan sosialnya. Pada psikis, tentunya akan memengaruhi proses pembentukkan self-concept-nya yang cenderung negatif sehingga akan terjadi efek domino terhadap self lainnya yakni esteem, efficacy, serta actualization-nya. Dengan kata lain, self-concept negatif maka self-anxiety-nya positif. Di sini korban akan merasa dirinya tidak berharga lagi sehingga tidak menutup kemungkinan untuk melakukan tindakan di luar kendali dirinya yakni melakukan tindakan bunuh diri (suicide).
Putri & Dyah (2021: 14) menyampaikan juga efek dari kekerasan dan pelecehan seksual ini dapat meninggalkan memori yang buruk, oleh karenanya dapat berimplikasi terhadap mind, body, dan soul-nya. Dalam arti, labelisasi dari masyarakat atas seseorang yang terganggu jiwanya sampai saat ini masih menjadi permasalahan yang sangat serius karena stigma negatif yang memang terbentuk di masyarakat apabila seseorang membutuhkan psikolog atau psikiater dinilai orang tersebut tidak waras dan dikucilkan.
Mengetahui dampak yang sangat signifikan dari kekerasan seksual, penting sekali peranan keluarga yang menjadi supporting system-nya untuk membantu melalui pascatraumatik dari perilaku tersebut. Keluarga adalah wadah atau sanctuary penyembuhan bagi korban kekerasan seksual. Di sini keluarga jangan bersikap berlebihan pada korban seperti marah, frustrasi, tidak percaya, dan merasa dikecewakan. Selain itu, keluarga harus memberikan dukungan yang positif bahwa korban bisa melaluinya, lalu ciptakan iklim komunikasi yang kondusif dengan memberikan rasa nyaman dan aman.
Korban butuh lingkungan yang mau menerima dan mendengarkannya, sehingga selain keluarga, peer group juga memberikan tempat ini bagi mereka. Selanjutnya, jangan memberikan banyak kalimat pertanyaan yang menyudutkan korban yakni kapan, di mana, bagaimana, mengapa, dan siapa. Sebab kalimat yang negatif demikian akan menyebabkan korban sulit untuk bisa melaluinya. Oleh karena itu, peran significant others ialah menghormati privacy-nya dengan tidak memaksakan atau menggesa-gesa mereka untuk segera menceritakannya. Dengan demikian, apabila korban dan significant others-nya dapat melalui bersama dan full support maka akan tercipta 3MB yaitu menerima, memaafkan, mensyukuri, dan belajar dari pengalaman tersebut sehingga akan menjadi pengetahuan dan hubungan yang terjalin semakin kuat dan positif.
(zik)
tulis komentar anda