Panggilan Cerita
Sabtu, 05 Februari 2022 - 08:04 WIB
Pada abad XXI, “cuaca” dalam lakon saling menghormati berkaitan agama masih mudah berantakan akibat gagal mengejawantahkan iman demi kebaikan bersama dan dunia. Cuaca sedang tak keruan dan “cuaca” orang-orang beragama tampak bertanda seru. Agama sedang direnungkan akibat wabah dan cuaca membawa akibat-akibat belum “terkendalikan.
Di buku berjudul Awereness: Butir-Butir Mutiara Pencerahan (2005), Anthony de Mello mengingatkan bahwa langkah untuk mencapai kebijaksanaan adalah mengenali perasaan negatif, mungkin saja sulit atau jarang tersadari. Pada pembahasaan berbeda, manusia-manusia abad XXI menanggungkan tekanan-tekanan berakibat depresi. Gagal mengerti diri memunculkan kerusakan, kehancuran, kenistaan, dan ketololan. Kesanggupan mengatasi keburukan-keburukan itu demi dunia baik-baik saja. “Mengerti” dan “melihat” memungkinkan diri dan dunia itu baik. Cerita-cerita mungkin merangsang bijak.
Pada saat menanggungkan nasib tak keruan, kita diajak berfilsafat apa saja. Wabah telah mendatangkan masalah-masalah. Di Indonesia debat dan jawaban bersumber filsafat datang dari pelbagai arah. Kita agak terkejut mengetahui penerbitan buku-buku filsafat dengan ajaran-ajaran klasik dan pemikiran-pemikiran mutakhir justru laris. Orang-orang sengaja berfilsafat saat dunia tak baik-baik saja.
Kita simak pengisahan Anthony de Mello. Datanglah filosof ke tukang sepatu saat sore. Tempat perbaikan sepatu itu tutup. Tukang sepatu menganjurkan agar filosof datang lagi esok pagi. Filosof berdalih tak mungkin. Sepatu di kaki sudah rusak (parah). Ia bakal sulit berjalan tanpa sepatu. Tukang sepatu bermaksud baik dengan meminjamkan sepatu. Filosof berkata sombong: “Apa? Memakai sepatu orang lain? Kauanggap apa saya ini? Tukang sepatu meski biasa dicap bodoh dan rendahan memberi balasan telak: “Mengapa engkau tidak mau mengenakan sepatu orang lain di kakimu, sementara engkau begitu saja membawa pikiran-pikiran orang lain di kepalamu?” Cerita berakhir dan pembaca menjadi penjawab lanjutan.
Di Indonesia, kita agak “terhibur” dengan debat-debat filsafat di media sosial dan penerbitan buku-buku. Kita menduga kemauan membaca buku berat dan memikirkan sambil menjawab sulit-sulit selama wabah itu keberanian hidup. Debat filsafat itu seru. Kita mungkin menjadi murung setelah menikmati debat filsafat bermunculan debat-debat berdalih dan berdalil agama malah mengumbar picik, fanatik, dan pelik. Dunia menunggu jawaban-jawaban bijak. Filsafat turut berperan meski sulit ditengok orang-orang memilih menonton hiburan sepanjang hari di gawai.
Pada saat murung dan bingung, ajakan-ajakan mengubah diri dan hidup bermunculan di media sosial. Parade kutipan atau nasihat dipamerkan dan diedarkan cepat. Orang-orang kadang menemukan ajakan menjadi bijak dan meraih kebenaran setelah sibuk di media sosial. Sekian kalimat bernasihat beredar di media sosial mungkin berkaiatn dengan misi cerita Anthony de Mello.
Lelaki itu minum teh di restoran. Ia bersama teman-teman. Sekian menit memandangi cangkir, lelaki itu lekas mengoceh berlagak bijak: “Ah, hidup itu seperti secangkir teh.” Di cerita, ia memang memesan teh, bukan kopi. Orang mungkin ingin kalimat beda: “Ah, hidup itu seperti secangkir kopi.”
Teman di sebelah ikut memandangi cangkir teh tapi membantah: “Mengapa? Mengapa hidup itu seperti secangkir teh?” Peristiwa kebersamaan minum teh untuk jeda dan akrab mulai memunculkan debat. Lelaki telanjur mengoceh kalimat bijak berujar lagi: “Mana saya tahu? Memangnya saya ini intelektual.” Kita memetik cerita itu berbarengan mengalami hidup pada abad XXI memunculkan orang-orang mengaku “pintar”, “ahli”, atau “pakar”. Mereka sering berkhotbah, mendebat, dan mengumbar nasihat di media sosial. Mereka memiliki kebenaran-kebenaran dan persekongkolan cerita untuk meraih pujian di kerumuanan media sosial. Mereka “gampang” dan “telanjur” mengerti beragam hal. Mereka pun mudah membuat keramaian dan kekisruhan berdampak diperhatian jutaan orang. Semua disangka gara-gara internet.
Dua jilid buku berjudul Doa Sang Katak tak mungkin kita baca cukup sehari. Cerita demi cerita bisa terbaca pada hari-hari berbeda sambil memandangi dunia diharapkan lekas terang dan baik. Cerita-cerita memberi petunjuk dan kelegaan saat orang-orang dipicu mengikuti hal-hal menghebohkan. Kita berhak memenuhi panggilan menuju “taman cerita” ketimbang mengumbar kecerewetan tanpa jluntrungan di media sosial. Begitu.
Judul : Doa Sang Katak 1 & 2
Di buku berjudul Awereness: Butir-Butir Mutiara Pencerahan (2005), Anthony de Mello mengingatkan bahwa langkah untuk mencapai kebijaksanaan adalah mengenali perasaan negatif, mungkin saja sulit atau jarang tersadari. Pada pembahasaan berbeda, manusia-manusia abad XXI menanggungkan tekanan-tekanan berakibat depresi. Gagal mengerti diri memunculkan kerusakan, kehancuran, kenistaan, dan ketololan. Kesanggupan mengatasi keburukan-keburukan itu demi dunia baik-baik saja. “Mengerti” dan “melihat” memungkinkan diri dan dunia itu baik. Cerita-cerita mungkin merangsang bijak.
Pada saat menanggungkan nasib tak keruan, kita diajak berfilsafat apa saja. Wabah telah mendatangkan masalah-masalah. Di Indonesia debat dan jawaban bersumber filsafat datang dari pelbagai arah. Kita agak terkejut mengetahui penerbitan buku-buku filsafat dengan ajaran-ajaran klasik dan pemikiran-pemikiran mutakhir justru laris. Orang-orang sengaja berfilsafat saat dunia tak baik-baik saja.
Kita simak pengisahan Anthony de Mello. Datanglah filosof ke tukang sepatu saat sore. Tempat perbaikan sepatu itu tutup. Tukang sepatu menganjurkan agar filosof datang lagi esok pagi. Filosof berdalih tak mungkin. Sepatu di kaki sudah rusak (parah). Ia bakal sulit berjalan tanpa sepatu. Tukang sepatu bermaksud baik dengan meminjamkan sepatu. Filosof berkata sombong: “Apa? Memakai sepatu orang lain? Kauanggap apa saya ini? Tukang sepatu meski biasa dicap bodoh dan rendahan memberi balasan telak: “Mengapa engkau tidak mau mengenakan sepatu orang lain di kakimu, sementara engkau begitu saja membawa pikiran-pikiran orang lain di kepalamu?” Cerita berakhir dan pembaca menjadi penjawab lanjutan.
Di Indonesia, kita agak “terhibur” dengan debat-debat filsafat di media sosial dan penerbitan buku-buku. Kita menduga kemauan membaca buku berat dan memikirkan sambil menjawab sulit-sulit selama wabah itu keberanian hidup. Debat filsafat itu seru. Kita mungkin menjadi murung setelah menikmati debat filsafat bermunculan debat-debat berdalih dan berdalil agama malah mengumbar picik, fanatik, dan pelik. Dunia menunggu jawaban-jawaban bijak. Filsafat turut berperan meski sulit ditengok orang-orang memilih menonton hiburan sepanjang hari di gawai.
Pada saat murung dan bingung, ajakan-ajakan mengubah diri dan hidup bermunculan di media sosial. Parade kutipan atau nasihat dipamerkan dan diedarkan cepat. Orang-orang kadang menemukan ajakan menjadi bijak dan meraih kebenaran setelah sibuk di media sosial. Sekian kalimat bernasihat beredar di media sosial mungkin berkaiatn dengan misi cerita Anthony de Mello.
Lelaki itu minum teh di restoran. Ia bersama teman-teman. Sekian menit memandangi cangkir, lelaki itu lekas mengoceh berlagak bijak: “Ah, hidup itu seperti secangkir teh.” Di cerita, ia memang memesan teh, bukan kopi. Orang mungkin ingin kalimat beda: “Ah, hidup itu seperti secangkir kopi.”
Teman di sebelah ikut memandangi cangkir teh tapi membantah: “Mengapa? Mengapa hidup itu seperti secangkir teh?” Peristiwa kebersamaan minum teh untuk jeda dan akrab mulai memunculkan debat. Lelaki telanjur mengoceh kalimat bijak berujar lagi: “Mana saya tahu? Memangnya saya ini intelektual.” Kita memetik cerita itu berbarengan mengalami hidup pada abad XXI memunculkan orang-orang mengaku “pintar”, “ahli”, atau “pakar”. Mereka sering berkhotbah, mendebat, dan mengumbar nasihat di media sosial. Mereka memiliki kebenaran-kebenaran dan persekongkolan cerita untuk meraih pujian di kerumuanan media sosial. Mereka “gampang” dan “telanjur” mengerti beragam hal. Mereka pun mudah membuat keramaian dan kekisruhan berdampak diperhatian jutaan orang. Semua disangka gara-gara internet.
Dua jilid buku berjudul Doa Sang Katak tak mungkin kita baca cukup sehari. Cerita demi cerita bisa terbaca pada hari-hari berbeda sambil memandangi dunia diharapkan lekas terang dan baik. Cerita-cerita memberi petunjuk dan kelegaan saat orang-orang dipicu mengikuti hal-hal menghebohkan. Kita berhak memenuhi panggilan menuju “taman cerita” ketimbang mengumbar kecerewetan tanpa jluntrungan di media sosial. Begitu.
Judul : Doa Sang Katak 1 & 2
tulis komentar anda