Flight Information Region
Jum'at, 28 Januari 2022 - 14:57 WIB
Pertanyaan berikutnya, apakah sekarang SDM Indonesia bidang FIR sudah baik? Menurut Hikmahanto Juwana (26/1/2022), Indonesia mesti hati-hati. Mengapa? Karena perjanjian tersebut belum dibuka ke publik secara utuh. Masih sulit diketahui isi dan detail kebenarannya. Terkait masalah transparansi itu, beberapa hal dipertanyakan.
Pertama, Kemenko Marves menyebutkan di ketinggian 0-37,000 kaki di wilayah tertentu dari Indonesia akan didelegasikan ke otoritas penerbangan Singapura. Bila benar demikian, artinya batas ketinggian ini memungkinkan Bandara Changi tumbuh secara komersial dan menjamin keselamatan penerbangan. Walaupun konsep FIR bertujuan untuk keselamatan penerbangan, pada kenyataannya Bandara Changi dapat mencetak keuntungan besar bila FIR di atas Kepulauan Riau masih dikendalikan oleh Singapura. Mengapa tidak dikendalikan Indonesia melalui Bandara Soekarno-Hatta?
Kedua, media Singapura seperti Channelnewsasia memberitakan bahwa pendelegasian diberikan oleh Indonesia untuk jangka waktu 25 tahun. Jangka waktu dapat diperpanjang sesuai dengan kesepakatan kedua negara. Bila berita ini juga benar, berarti ada kelonggaran batas waktu. Di sini, Pemerintah Indonesia terkesan tidak serius dalam melakukan persiapan-persiapan pengambilalihan pengelolaan FIR. Apakah 25 tahun tidak terlalu lama? Lalu, tidakkah perpanjangan waktu berarti tidak memberi kepastian?
Pernyataan pakar hukum internasional di atas menyiratkan bahwa SDM Indonesia bidang ruang udara masih lemah. Bila salah melangkah, akan berkonsekuensi buruk pada berbagai bidang lain. Peringatan pakar tersebut layak diperhatikan, utamanya terkait dengan upaya menjaga martabat (dignity) bangsa.
Lepas dari kemungkinan buruk itu, Presiden tampaknya optimistis, seraya berharap dengan penandatanganan perjanjian penyesuaian FIR itu ruang lingkup FIR Jakarta akan melingkupi seluruh wilayah udara teritorial Indonesia, terutama di daerah Kepulauan Riau dan Kepulauan Natuna. Diharapkan pula ke depan kerja sama penegakan hukum, keselamatan penerbangan, dan pertahanan keamanan kedua negara, dapat terus diperkuat berdasarkan prinsip saling menguntungkan.
Dalam segala keterbatasan, berbagai masalah dan harapan di atas kiranya perlu dibahas secara intens di Komisi I DPR, sebelum Perjanjian Penyesuaian FIR dimintakan pengesahan. Apabila DPR dan pemerintah secara kelembagaan, ataupun insan-insan di dua lembaga tinggi negara itu masih ragu kompetensi dan profesionalitasnya, kiranya para pakar terkait perlu dihadirkan dan dimintakan kontribusi pemikirannya. Segalanya demi tuntasnya masalah-masalah FIR.
Hingga saat ini—entah kelalaian ataukah karena keterbatasan kepedulian—memang, belum ada lembaga formal yang diberi wewenang dan tanggung jawab di bidang ruang udara, ruang angkasa, FIR, dan berbagai bagian lainnya. Demi kokohnya masa depan kedaulatan negeri, barangkali sudah saatnya dibentuk lembaga setingkat kementerian yang mengurusi perihal tersebut. Wallahua’lam.
Pertama, Kemenko Marves menyebutkan di ketinggian 0-37,000 kaki di wilayah tertentu dari Indonesia akan didelegasikan ke otoritas penerbangan Singapura. Bila benar demikian, artinya batas ketinggian ini memungkinkan Bandara Changi tumbuh secara komersial dan menjamin keselamatan penerbangan. Walaupun konsep FIR bertujuan untuk keselamatan penerbangan, pada kenyataannya Bandara Changi dapat mencetak keuntungan besar bila FIR di atas Kepulauan Riau masih dikendalikan oleh Singapura. Mengapa tidak dikendalikan Indonesia melalui Bandara Soekarno-Hatta?
Kedua, media Singapura seperti Channelnewsasia memberitakan bahwa pendelegasian diberikan oleh Indonesia untuk jangka waktu 25 tahun. Jangka waktu dapat diperpanjang sesuai dengan kesepakatan kedua negara. Bila berita ini juga benar, berarti ada kelonggaran batas waktu. Di sini, Pemerintah Indonesia terkesan tidak serius dalam melakukan persiapan-persiapan pengambilalihan pengelolaan FIR. Apakah 25 tahun tidak terlalu lama? Lalu, tidakkah perpanjangan waktu berarti tidak memberi kepastian?
Pernyataan pakar hukum internasional di atas menyiratkan bahwa SDM Indonesia bidang ruang udara masih lemah. Bila salah melangkah, akan berkonsekuensi buruk pada berbagai bidang lain. Peringatan pakar tersebut layak diperhatikan, utamanya terkait dengan upaya menjaga martabat (dignity) bangsa.
Lepas dari kemungkinan buruk itu, Presiden tampaknya optimistis, seraya berharap dengan penandatanganan perjanjian penyesuaian FIR itu ruang lingkup FIR Jakarta akan melingkupi seluruh wilayah udara teritorial Indonesia, terutama di daerah Kepulauan Riau dan Kepulauan Natuna. Diharapkan pula ke depan kerja sama penegakan hukum, keselamatan penerbangan, dan pertahanan keamanan kedua negara, dapat terus diperkuat berdasarkan prinsip saling menguntungkan.
Dalam segala keterbatasan, berbagai masalah dan harapan di atas kiranya perlu dibahas secara intens di Komisi I DPR, sebelum Perjanjian Penyesuaian FIR dimintakan pengesahan. Apabila DPR dan pemerintah secara kelembagaan, ataupun insan-insan di dua lembaga tinggi negara itu masih ragu kompetensi dan profesionalitasnya, kiranya para pakar terkait perlu dihadirkan dan dimintakan kontribusi pemikirannya. Segalanya demi tuntasnya masalah-masalah FIR.
Hingga saat ini—entah kelalaian ataukah karena keterbatasan kepedulian—memang, belum ada lembaga formal yang diberi wewenang dan tanggung jawab di bidang ruang udara, ruang angkasa, FIR, dan berbagai bagian lainnya. Demi kokohnya masa depan kedaulatan negeri, barangkali sudah saatnya dibentuk lembaga setingkat kementerian yang mengurusi perihal tersebut. Wallahua’lam.
tulis komentar anda