Atasi Konflik Papua, Pengamat Sarankan Pemerintah Lakukan Pendekatan Secara Integratif
Rabu, 26 Januari 2022 - 10:48 WIB
JAKARTA - Tanah Papua hingga kini masih dilanda konflik. Berbagai pendekatan telah dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan perdamaian di wilayah Indonesia bagian timur tersebut.
Analis Politik Internasional dan Resolusi Konflik Adriana Elisabeth mengatakan, pada akhir 2021 terdapat harapan baru ketika TNI akan mendekati Papua secara humanis, terutama dalam menghadapi kelompok separatis bersenjata. Di awal 2022 ini, tepatnya sejak 17 Januari, Polri mulai menjalankan operasi Damai Cartenz di wilayah Papua berbarengan dengan operasi Rastra Samara Kasih (Rasaka) untuk menjaga keamanan di wilayah Papua.
”Semua pendekatan itu tentu bertujuan untuk mendukung proses pembangunan di Tanah Papua, di mana TNI dan Polri memiliki perannya masing-masing,” ujarnya, Rabu (26/1/2022).
Masa depan Papua sampai 2041, kata dia, tercantum di dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua Nomor 2 Tahun 2021 sebagai hasil revisi UU Otsus 2001. Sebelumnya, terdapat juga Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2020 untuk mendukung percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat.
Selama ini, kata dia, Papua dikenal sangat identik dengan konflik, lalu bagaimana sebaiknya berbagai pendekatan itu diimplementasikan di sana? Dia menjelaskan ada tiga pendekatan yang bisa dilakukan yakni, pertama, menyatukan semua pendekatan dan melaksanakannya secara sinergis, koordinatif, dan komunikatif. Salah satu kekuatan dalam berkomunikasi adalah melalui rangkaian dialog yang dipersiapkan secara matang.
Kedua, perdamaian (peace) dan pembangunan sama-sama penting, namun ini saja tidak cukup, karena terdapat prinsip kemanusiaan (humanity) yang perlu diintegrasikan karena menyelamatkan orang-orang yang terdampak konflik menjadi tugas dan tanggung jawab utama negara, dan juga pemerintah, baik di Papua maupun di Jakarta.
Ketiga peace, development, humanity dirancang menjadi satu langkah strategis yang dilandasi pemahaman mengenai sensitivitas konflik di Papua yang meliputi, keberagaman tradisi dan budaya, termasuk perspektif dan pola pikir yang memengaruhi interaksi Papua dengan yang lain.
“Kemudian kekayaan sumber daya alam daerah Papua yang cenderung menjadi rebutan banyak kepentingan dan belum dikelola secara transparan, lahan dan hutan Papua bukanlah ‘tanah kosong’ melainkan berpenghuni, di mana setiap jengkal tanah dimiliki oleh setiap suku ataupun marga yang berdiam di tujuh wilayah adat di seluruh Papua,” ucapnya.
Analis Politik Internasional dan Resolusi Konflik Adriana Elisabeth mengatakan, pada akhir 2021 terdapat harapan baru ketika TNI akan mendekati Papua secara humanis, terutama dalam menghadapi kelompok separatis bersenjata. Di awal 2022 ini, tepatnya sejak 17 Januari, Polri mulai menjalankan operasi Damai Cartenz di wilayah Papua berbarengan dengan operasi Rastra Samara Kasih (Rasaka) untuk menjaga keamanan di wilayah Papua.
”Semua pendekatan itu tentu bertujuan untuk mendukung proses pembangunan di Tanah Papua, di mana TNI dan Polri memiliki perannya masing-masing,” ujarnya, Rabu (26/1/2022).
Masa depan Papua sampai 2041, kata dia, tercantum di dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua Nomor 2 Tahun 2021 sebagai hasil revisi UU Otsus 2001. Sebelumnya, terdapat juga Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2020 untuk mendukung percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat.
Selama ini, kata dia, Papua dikenal sangat identik dengan konflik, lalu bagaimana sebaiknya berbagai pendekatan itu diimplementasikan di sana? Dia menjelaskan ada tiga pendekatan yang bisa dilakukan yakni, pertama, menyatukan semua pendekatan dan melaksanakannya secara sinergis, koordinatif, dan komunikatif. Salah satu kekuatan dalam berkomunikasi adalah melalui rangkaian dialog yang dipersiapkan secara matang.
Kedua, perdamaian (peace) dan pembangunan sama-sama penting, namun ini saja tidak cukup, karena terdapat prinsip kemanusiaan (humanity) yang perlu diintegrasikan karena menyelamatkan orang-orang yang terdampak konflik menjadi tugas dan tanggung jawab utama negara, dan juga pemerintah, baik di Papua maupun di Jakarta.
Ketiga peace, development, humanity dirancang menjadi satu langkah strategis yang dilandasi pemahaman mengenai sensitivitas konflik di Papua yang meliputi, keberagaman tradisi dan budaya, termasuk perspektif dan pola pikir yang memengaruhi interaksi Papua dengan yang lain.
“Kemudian kekayaan sumber daya alam daerah Papua yang cenderung menjadi rebutan banyak kepentingan dan belum dikelola secara transparan, lahan dan hutan Papua bukanlah ‘tanah kosong’ melainkan berpenghuni, di mana setiap jengkal tanah dimiliki oleh setiap suku ataupun marga yang berdiam di tujuh wilayah adat di seluruh Papua,” ucapnya.
(cip)
tulis komentar anda