Cerita Irman Gusman Perjuangkan DPD RI
Sabtu, 22 Januari 2022 - 16:57 WIB
JAKARTA - Ada kisah panjang di balik kelahiran Dewan Perwakilan Daerah ( DPD ) RI. Berawal dari utusan daerah, DPD akhirnya berdiri kokoh sebagai lembaga negara yang berkantor di Kompleks Parlemen Senayan bersama dengan MPR RI dan DPR RI.
Hal ini disampaikan oleh mantan Ketua DPD RI Irman Gusman dalam kanal Youtube Fadli Zon Official. Dia menceritakan bahwa pada 1999, utusan daerah yang menjadi cikal bakal DPD RI sempat dihilangkan dalam amendemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45).
“Waktu MPR terbentuk tahun 99, fraksi utusan daerah dihilangkan karena dianggap mewakili partai tertentu yang ada di situ, yang waktu paling banyak Golkar,” kata mantan Ketua DPD RI Irman Gusman dalam kanal Youtube Fadli Zon Official, dikutip Sabtu (22/1/2022).
Lantaran berlatar belakang Fraksi TNI/Polri, Irman menanyakan kepada Hari Sabarno, ketua fraksi saat itu, soal kemana dia harus bergabung. Irman diberikan kebebasan. Irman mengaku banyak ditawari partai, salah satunya Golkar yang diketuai Akbar Tandjung.
Akhirnya, Irman mencari kubu paling netral, yakni utusan golongan yang waktu itu diketuai Marzuki Usman. Anggotanya Syarwan Hamid dan Abdurrahman Wahid sebagai utusan NU. Namun utusan Golongan hanya bertahan beberapa bulan saja, dan pada sidang berikutnya dirinya meminta agar utusan daerah diadakan kembali dan diamini.
“Yang seharusnya anggotanya 135 hanya terkumpul sekitar 38 orang. Ini motor penggerak perjuangan, soal tadinya hampir nyaris enggak ada,” ungkap Irman.
Politikus asal Sumbar ini melanjutkan, setelah amendemen keempat, MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi, MPR hanya lembaga negara. Namun, karena masalah daerah penting, maka DPD tetap ada. Setiap provinsi diwakili empat orang, dan waktu Pemilu 2004 itu ada 112 anggota dari 28 provinsi.
Irman juga menceritakan saat dirinya memimpin DPD pada periode 2009-2014, bersama dua Wakil Ketua DPD RI yakni GKR Hemas dan Laode Ida, ia memimpin rapat pimpinan di Hotel Mulya, dan waktu itu anggaran DPD masih menumpang pada MPR RI. Dan saat ia memimpin juga lah tulisan “Dewan Perwakilan Daerah” bisa terpampang di Gedung DPR bersama dengan tulisan MPR dan DPR.
“Dulu waktu zaman pak Ginandjar (Ginandjar Kartasasmita/Ketua DPD RI pertama), karena awal, banyak sekali yang berbeda. Waktu itu pak Agung dan pak Ginanjar enggak masalah, tapi aspirasi kuat sekali, keberadaan kita dalam situasi itu belum begitu nyaman. Kalau saya dengan pak Taufik (Taufik Kiemas/Ketua MPR) bisa bahasa padang, akhirnya baru ada (tulisan DPD),” kenangnya.
Irman menambahkan, saat ini Indonesia menganut sistem soft bicameral karena fungsi DPD yang tidak begitu banyak. Tapi, waktu 2009, DPD mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan dikabulkan sehingga Undang-Undang No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) mengakomodir kewenangan DPD terkait pembahasan UU.
“Hal-hal yang berkaitan dengan kewenangan DPD, otonomi daerah, sumber daya alam, memang pertimbangan atau usulan di DPD diakomodasi. (RUU) Usulan saya itu pertama kali dari DPD, melakukan inisiatif UU Kelautan zamannya Pak Marzuki Alie (Ketua DPR 2009-2014),” ungkap Irman.
Hal ini disampaikan oleh mantan Ketua DPD RI Irman Gusman dalam kanal Youtube Fadli Zon Official. Dia menceritakan bahwa pada 1999, utusan daerah yang menjadi cikal bakal DPD RI sempat dihilangkan dalam amendemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45).
“Waktu MPR terbentuk tahun 99, fraksi utusan daerah dihilangkan karena dianggap mewakili partai tertentu yang ada di situ, yang waktu paling banyak Golkar,” kata mantan Ketua DPD RI Irman Gusman dalam kanal Youtube Fadli Zon Official, dikutip Sabtu (22/1/2022).
Lantaran berlatar belakang Fraksi TNI/Polri, Irman menanyakan kepada Hari Sabarno, ketua fraksi saat itu, soal kemana dia harus bergabung. Irman diberikan kebebasan. Irman mengaku banyak ditawari partai, salah satunya Golkar yang diketuai Akbar Tandjung.
Akhirnya, Irman mencari kubu paling netral, yakni utusan golongan yang waktu itu diketuai Marzuki Usman. Anggotanya Syarwan Hamid dan Abdurrahman Wahid sebagai utusan NU. Namun utusan Golongan hanya bertahan beberapa bulan saja, dan pada sidang berikutnya dirinya meminta agar utusan daerah diadakan kembali dan diamini.
“Yang seharusnya anggotanya 135 hanya terkumpul sekitar 38 orang. Ini motor penggerak perjuangan, soal tadinya hampir nyaris enggak ada,” ungkap Irman.
Politikus asal Sumbar ini melanjutkan, setelah amendemen keempat, MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi, MPR hanya lembaga negara. Namun, karena masalah daerah penting, maka DPD tetap ada. Setiap provinsi diwakili empat orang, dan waktu Pemilu 2004 itu ada 112 anggota dari 28 provinsi.
Irman juga menceritakan saat dirinya memimpin DPD pada periode 2009-2014, bersama dua Wakil Ketua DPD RI yakni GKR Hemas dan Laode Ida, ia memimpin rapat pimpinan di Hotel Mulya, dan waktu itu anggaran DPD masih menumpang pada MPR RI. Dan saat ia memimpin juga lah tulisan “Dewan Perwakilan Daerah” bisa terpampang di Gedung DPR bersama dengan tulisan MPR dan DPR.
“Dulu waktu zaman pak Ginandjar (Ginandjar Kartasasmita/Ketua DPD RI pertama), karena awal, banyak sekali yang berbeda. Waktu itu pak Agung dan pak Ginanjar enggak masalah, tapi aspirasi kuat sekali, keberadaan kita dalam situasi itu belum begitu nyaman. Kalau saya dengan pak Taufik (Taufik Kiemas/Ketua MPR) bisa bahasa padang, akhirnya baru ada (tulisan DPD),” kenangnya.
Irman menambahkan, saat ini Indonesia menganut sistem soft bicameral karena fungsi DPD yang tidak begitu banyak. Tapi, waktu 2009, DPD mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan dikabulkan sehingga Undang-Undang No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) mengakomodir kewenangan DPD terkait pembahasan UU.
“Hal-hal yang berkaitan dengan kewenangan DPD, otonomi daerah, sumber daya alam, memang pertimbangan atau usulan di DPD diakomodasi. (RUU) Usulan saya itu pertama kali dari DPD, melakukan inisiatif UU Kelautan zamannya Pak Marzuki Alie (Ketua DPR 2009-2014),” ungkap Irman.
(muh)
tulis komentar anda