Diaspora NU?
Kamis, 23 Desember 2021 - 15:42 WIB
Kedua, bidang pendidikan. Perkembangan pendidikan NU, baik pesantren maupun lembaga pendidikan yang berjenjang formal, tidak dapat dimungkiri, memang mengalami kemajuan pesat. Kampus-kampus NU di banyak daerah tumbuh berkembang, meski juga perlu memikirkankan kesiapan sumber daya manusia (SDM) tenaga pengajar, karyawan/staf administrasi (tenaga pendidikan), fasilitas gedung, serta bagaimana agar menarik minat peserta didik/mahasiswa untuk menimba ilmu di kampus NU.
Begitu pula dengan persebaran kaum intelektual-akademisi yang berlatarbelakang NU. Di antara mereka telah banyak yang bergelar doktor hingga profesor di bidang masing-masing, baik lulusan perguruan tinggi dalam maupun luar negeri, sehingga meskipun tidak secara langsung ikut membesarkan kampus NU, namun dipandang dari kacamata warga nahdliyin, turut bangga. Lalu, bagaimana cara mengembangkan serta membangun sinergisitas antara SDM yang mumpuni itu dengan lembaga pendidikan yang dimiliki NU?
Ketiga, bidang ekonomi. Di negara-negara maju, seperti Indonesia, persoalan ekonomi selalu menjadi prioritas untuk mewujudkan apa yang lazim disebut kesejahteraan dan kemakmuran. Upaya untuk merealisasikan ini ditentukan di antaranya faktor pemegang otoritas setingkat menteri, misalnya.
Dalam konteks itu, di mana posisi NU? Sementara di hampir semua kelas sosial, apalagi kelas paling bawah, basis massa NU sangat dominan. Pada bidang ini, kader NU tidak terlalu terlihat di publik, sebab mungkin, memang jarang yang ahli ekonomi, yang ada justru orang-orang yang membutuhkan pertolongan ekonomi.
Keempat, bidang dakwah dan pemikiran keislaman. Kader-kader NU sering menjadi aktor penting dalam aktivitas keseharian. Di era milenial yang menuntut seseorang untuk akrab dengan teknologi, NU justru hadir dan menunjukkan ketidakcanggungan beradaptasi dengan mesin sebagai penanda modernitas dan globalisasi. Yang menggerakkan umumnya adalah anak-anak muda yang memiliki keahlian di bidang teknologi, dan wawasan keagamaan serta kebangsaan.
Aktor-aktor “pendakwah” generasi milenial yang sampai sekarang masih terus eksis, seperti Gus Ulil Abshar Abdalla, Gus Muwafiq, Gus Baha, Gus Miftah, Cak Kiai Kuswaidi Syafie, dan lain-lain, turut didukung oleh perkembangan teknologi yang memungkinkan terus mengudara dan popluler.
Begitu pula pada dinamika pemikiran keislaman, yang sebenarnya mulai tampak sejak awal 2000, wacana keislaman itu sesungguhnya dipepolori oleh generasi muda NU. Situasi ini terus berlanjut hingga sekarang.
Selamat menunaikan hajat Muktamar NU ke-34, di Lampung.
Begitu pula dengan persebaran kaum intelektual-akademisi yang berlatarbelakang NU. Di antara mereka telah banyak yang bergelar doktor hingga profesor di bidang masing-masing, baik lulusan perguruan tinggi dalam maupun luar negeri, sehingga meskipun tidak secara langsung ikut membesarkan kampus NU, namun dipandang dari kacamata warga nahdliyin, turut bangga. Lalu, bagaimana cara mengembangkan serta membangun sinergisitas antara SDM yang mumpuni itu dengan lembaga pendidikan yang dimiliki NU?
Ketiga, bidang ekonomi. Di negara-negara maju, seperti Indonesia, persoalan ekonomi selalu menjadi prioritas untuk mewujudkan apa yang lazim disebut kesejahteraan dan kemakmuran. Upaya untuk merealisasikan ini ditentukan di antaranya faktor pemegang otoritas setingkat menteri, misalnya.
Dalam konteks itu, di mana posisi NU? Sementara di hampir semua kelas sosial, apalagi kelas paling bawah, basis massa NU sangat dominan. Pada bidang ini, kader NU tidak terlalu terlihat di publik, sebab mungkin, memang jarang yang ahli ekonomi, yang ada justru orang-orang yang membutuhkan pertolongan ekonomi.
Keempat, bidang dakwah dan pemikiran keislaman. Kader-kader NU sering menjadi aktor penting dalam aktivitas keseharian. Di era milenial yang menuntut seseorang untuk akrab dengan teknologi, NU justru hadir dan menunjukkan ketidakcanggungan beradaptasi dengan mesin sebagai penanda modernitas dan globalisasi. Yang menggerakkan umumnya adalah anak-anak muda yang memiliki keahlian di bidang teknologi, dan wawasan keagamaan serta kebangsaan.
Aktor-aktor “pendakwah” generasi milenial yang sampai sekarang masih terus eksis, seperti Gus Ulil Abshar Abdalla, Gus Muwafiq, Gus Baha, Gus Miftah, Cak Kiai Kuswaidi Syafie, dan lain-lain, turut didukung oleh perkembangan teknologi yang memungkinkan terus mengudara dan popluler.
Begitu pula pada dinamika pemikiran keislaman, yang sebenarnya mulai tampak sejak awal 2000, wacana keislaman itu sesungguhnya dipepolori oleh generasi muda NU. Situasi ini terus berlanjut hingga sekarang.
Selamat menunaikan hajat Muktamar NU ke-34, di Lampung.
(bmm)
tulis komentar anda