Diaspora NU?

Kamis, 23 Desember 2021 - 15:42 WIB
Ali Usman (Ist)
Ali Usman

Dosen, Aktivis NU, dan Pengurus Lakpesdam PWNU DIY

ERA Reformasi 1998 memberi angin segar bagi tumbuh dan berkembangnya Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyah diniyah ijtimaiyah). Setelah cukup lama “disekap” dalam belenggu diskriminasi oleh rezim Orde Baru yang membatasi dan melakukan penekanan kepada ruang gerak NU, kini pasca-Reformasi, situasi itu kembali normal sebagai bagian dari kelompok sipil (civil society) di alam demokrasi.

Kader-kader NU yang umumnya dari kalangan santri, kini, meminjam istilah Ahmad Baso (2006) mengubah situasi, dari sebelumnya sebagai objek (korban), kini telah menjadi subjek (pelaku) yang aktif menentukan nasibnya sendiri; dalam istilah gramatika bahasa Arab (nahwu), dari maf’ul bih (objek) menjadi fa’il (pelaku).

Kenyataan tersebut menunjukkan adanya “diaspora NU”, yaitu keterlibatan aktif kader NU di berbagai bidang, menjadi bagian dari ruh dan denyut nadi kehidupan bangsa. Di mana-mana, selalu ada NU, baik kader maupun pemahaman keagamaanya yang moderat (washatiyah).



Karena itu, jika dipetakan ke dalam sub-bidang, terdapat beberapa hal yang telah dilakukan oleh (kader-kader) NU, namun di saat bersamaan juga perlu dievaluasi, bahkan dikritik secara konstruktif. Pertama, bidang politik. Sejak awal berdiri, NU berkomitmen sebagai organisasi sosial keagamaan, bukan organisasi politik, meski dalam episode tertentu pada pemilihan umum (pemilu) pertama 1955, NU berakrobat menjadi partai politik, tetapi kemudian dinormalkan kembali melalui deklarasi Khittah 1984.

Artinya, NU secara organisastoris meninggalkan aktivitas politik praktis, tetapi secara kultural memberi kebebasan kepada warganya untuk menyalurkan aspirasi di partai politik mana pun. Sebab bagi NU, aktivitas politik praktis tidak bisa ditinggalkan secara ekstrem. Justru sebaliknya, politik menjadi penopang laju perkembangan NU sebagai jam’iyah, sehingga atas kesadaran ini, tidak heran banyak kader NU yang menduduki posisi strategis di partai politik maupun pejabat pemerintahan.

Meski demikian, keberhasilan—kalau boleh dikatakan begitu—NU di ruang politik bukan tanpa kritik, dan kerenanya sekali lagi, perlu refleksi dan dievaluasi. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama, misalnya, terdapat banyak kader NU yang dipercaya menjadi menteri dan pejabat teras atas. Begitu pula dengan posisi KH Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden, mendampingi Presiden Joko Widodo di periode kedua, adakah signifikasinya untuk NU?

Membangun Sinergisitas
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More