Muktamar NU dan Kisah Gus Dur Diam-diam Temui Syekh Minangkabau di Arab Saudi
Rabu, 22 Desember 2021 - 05:15 WIB
JAKARTA - Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Pondok Pesantren Al Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, pada November 1989 mengantarkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kembali ke tampuk pimpinan tertinggi organisasi Islam terbesar di Indonesia. Gus Dur terpilih sebagai Ketua Umum PBNU periode 1989-1994.
Ada cerita menarik mengapa Muktamar Nahdlatul Ulama ke-28 saat itu digelar di Krapyak. Semula, Kiai As’ad Syamsul Arifin berkeinginan Muktamar NU digelar di pesantrennya di Situbondo, Jawa Timur seperti sebelumnya tahun 1984. Namun Gus Dur dan Kiai Achmad Siddiq menolak keinginan Kiai As'Ad.
“Keduanya justeru melobi Krapyak, dan pesantren guru Gus Dur, Kiai Ali Ma’sum, akan menjadi tempat muktamar,” ujar Greg Barton dalam ‘Biografi Gus Dur’, dikutip Rabu (22/12/2021).
Menurut Greg, Kiai Ali Ma’sum dan Kiai As’ad Situbondo sesungguhnya sama-sama ulama khos (khusus) yang sangat dihormati sebagai anggota pendiri Nahdlatul Ulama. Namun tidak disangsikan lagi, Kiai Ali Ma’sum dipandang lebih tinggi karena pengetahuan, juga otoritasnya yang karismatik sebagai guru agama.
Lebih dari itu, Kiai Ma’sum juga saat itu sedang sakit-sakitan sehingga penyelenggaraaan muktamar di Krapyak dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap pendiri Nahdlatul Ulama yang masih hidup.
“Muktamar kali ini lebih memfokuskan untuk mengevaluasi pengaruh keputusan Situbondo, terutama mengenai kembalinya NU ke khitah 1926 dan kinerja PBNU yang dipilih pada 1984,” kata ahli antropologi Belanda yang telah lama menjadi pengamat Nahdlatul Ulama, Martin van Bruinessen.
Bruinessen yang turut hadir dalam Muktamar Nahdlatul Ulama tahun 1989 itu menuliskan pandangannya dalam ‘Traditionalist Muslims in A Modernizing World: The Nahdlatul Ulama and Indonesia’s New Order Politics, factional Conflict and The Search for A New Discourse’. Karya ini diterjemahkan Farid Wadjidi dalam buku “Nahdlatul Ulama: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru’.
Ada cerita menarik mengapa Muktamar Nahdlatul Ulama ke-28 saat itu digelar di Krapyak. Semula, Kiai As’ad Syamsul Arifin berkeinginan Muktamar NU digelar di pesantrennya di Situbondo, Jawa Timur seperti sebelumnya tahun 1984. Namun Gus Dur dan Kiai Achmad Siddiq menolak keinginan Kiai As'Ad.
“Keduanya justeru melobi Krapyak, dan pesantren guru Gus Dur, Kiai Ali Ma’sum, akan menjadi tempat muktamar,” ujar Greg Barton dalam ‘Biografi Gus Dur’, dikutip Rabu (22/12/2021).
Menurut Greg, Kiai Ali Ma’sum dan Kiai As’ad Situbondo sesungguhnya sama-sama ulama khos (khusus) yang sangat dihormati sebagai anggota pendiri Nahdlatul Ulama. Namun tidak disangsikan lagi, Kiai Ali Ma’sum dipandang lebih tinggi karena pengetahuan, juga otoritasnya yang karismatik sebagai guru agama.
Lebih dari itu, Kiai Ma’sum juga saat itu sedang sakit-sakitan sehingga penyelenggaraaan muktamar di Krapyak dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap pendiri Nahdlatul Ulama yang masih hidup.
“Muktamar kali ini lebih memfokuskan untuk mengevaluasi pengaruh keputusan Situbondo, terutama mengenai kembalinya NU ke khitah 1926 dan kinerja PBNU yang dipilih pada 1984,” kata ahli antropologi Belanda yang telah lama menjadi pengamat Nahdlatul Ulama, Martin van Bruinessen.
Bruinessen yang turut hadir dalam Muktamar Nahdlatul Ulama tahun 1989 itu menuliskan pandangannya dalam ‘Traditionalist Muslims in A Modernizing World: The Nahdlatul Ulama and Indonesia’s New Order Politics, factional Conflict and The Search for A New Discourse’. Karya ini diterjemahkan Farid Wadjidi dalam buku “Nahdlatul Ulama: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru’.
tulis komentar anda