Selain Kesehatan, Pemerintah Harus Prioritaskan Sektor Pangan
Senin, 08 Juni 2020 - 18:53 WIB
Dalam soal kelaparan, merujuk pada Global Hunger Index (GHI) 2019, Indonesia berada di posisi 70 dari 117 negara. Posisi yang tergolong buruk.
Peringatan mengenai ancaman krisis pangan tadi telah ditanggapi oleh Presiden dengan memerintahkan BUMN (Badan Usaha Milik Negara), pemerintah daerah, serta Kementerian Pertanian untuk secara keroyokan mencetak sawah baru. Obyeknya adalah 900 ribu hektare lahan gambut yang ada di Kalimantan Tengah.
Sayangnya, perintah cetak sawah baru di lahan gambut bukanlah respon yang kita harapkan. Dengan agenda itu, berarti Pemerintah tak konsisten dengan agendanya sendiri untuk merestorasi lahan gambut seperti dicanangkan pada 2016.
Pernyataan Presiden yang akan mencetak sawah besar-besaran juga tak konsisten dengan pemangkasan anggaran cetak sawah yang dilakukan Pemerintah sendiri. Sebagai informasi, untuk menangani dampak Covid-19, Pemerintah sebelumnya telah memangkas anggaran cetak sawah baru dari semula Rp209,8 miliar menjadi tinggal Rp10,8 miliar saja.
Bagaimana mau mencetak sawah, kalau anggarannya telah dipangkas? Kalau cetak sawah baru dianggap penting, kenapa kemarin anggarannya justru dipangkas? Ini tak konsisten dan tak ada koordinasi.
Di luar soal anggaran, saya melihat program cetak sawah sekarang ini tak akan efektif. Cetak sawah bukanlah jawaban atas krisis pangan yang sudah di depan mata.
Ketimbang memboroskan anggaran semacam itu, dengan risiko kegagalan yang sudah di depan mata, sebaiknya pemerintah menggunakan anggaran yang ada untuk mensubsidi petani. Adanya stimulus dan insentif ekonomi ini akan menambah kegairahan petani dalam berproduksi.
Untuk merangsang peningkatan produksi pangan, pemerintah sebenarnya bisa memulainya dengan menaikan insentif ekonomi bagi para petani, termasuk meningkatkan investasi di sektor pertanian. Sayangnya, kita belum melihat itu dalam politik anggaran Pemerintah.
Dengan bekal Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Penanganan Covid-19, pemerintah telah mengalokasikan tambahan belanja sebesar Rp405,1 triliun untuk menangani pandemi dan krisis yang ditimbulkannya. Namun, kita tidak melihat alokasi anggaran tersebut di bidang pangan.
Kita memang mendengar Pemerintah akan memberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai) bagi 2,4 juta petani miskin sebesar Rp600 ribu. Itupun, uang tunai yang akan diterima oleh petani hanya Rp300 ribu, karena sisanya akan diberikan dalam bentuk Saprotan (Sarana Produksi Pertanian).
Peringatan mengenai ancaman krisis pangan tadi telah ditanggapi oleh Presiden dengan memerintahkan BUMN (Badan Usaha Milik Negara), pemerintah daerah, serta Kementerian Pertanian untuk secara keroyokan mencetak sawah baru. Obyeknya adalah 900 ribu hektare lahan gambut yang ada di Kalimantan Tengah.
Sayangnya, perintah cetak sawah baru di lahan gambut bukanlah respon yang kita harapkan. Dengan agenda itu, berarti Pemerintah tak konsisten dengan agendanya sendiri untuk merestorasi lahan gambut seperti dicanangkan pada 2016.
Pernyataan Presiden yang akan mencetak sawah besar-besaran juga tak konsisten dengan pemangkasan anggaran cetak sawah yang dilakukan Pemerintah sendiri. Sebagai informasi, untuk menangani dampak Covid-19, Pemerintah sebelumnya telah memangkas anggaran cetak sawah baru dari semula Rp209,8 miliar menjadi tinggal Rp10,8 miliar saja.
Bagaimana mau mencetak sawah, kalau anggarannya telah dipangkas? Kalau cetak sawah baru dianggap penting, kenapa kemarin anggarannya justru dipangkas? Ini tak konsisten dan tak ada koordinasi.
Di luar soal anggaran, saya melihat program cetak sawah sekarang ini tak akan efektif. Cetak sawah bukanlah jawaban atas krisis pangan yang sudah di depan mata.
Ketimbang memboroskan anggaran semacam itu, dengan risiko kegagalan yang sudah di depan mata, sebaiknya pemerintah menggunakan anggaran yang ada untuk mensubsidi petani. Adanya stimulus dan insentif ekonomi ini akan menambah kegairahan petani dalam berproduksi.
Untuk merangsang peningkatan produksi pangan, pemerintah sebenarnya bisa memulainya dengan menaikan insentif ekonomi bagi para petani, termasuk meningkatkan investasi di sektor pertanian. Sayangnya, kita belum melihat itu dalam politik anggaran Pemerintah.
Dengan bekal Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Penanganan Covid-19, pemerintah telah mengalokasikan tambahan belanja sebesar Rp405,1 triliun untuk menangani pandemi dan krisis yang ditimbulkannya. Namun, kita tidak melihat alokasi anggaran tersebut di bidang pangan.
Kita memang mendengar Pemerintah akan memberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai) bagi 2,4 juta petani miskin sebesar Rp600 ribu. Itupun, uang tunai yang akan diterima oleh petani hanya Rp300 ribu, karena sisanya akan diberikan dalam bentuk Saprotan (Sarana Produksi Pertanian).
tulis komentar anda