LIPI Nilai Presidential Threshold Ideal di Angka 10%
Senin, 08 Juni 2020 - 17:39 WIB
JAKARTA - Mayoritas partai di parlemen mengusulkan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden sebesar 20%-25% dalam rancangan revisi Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu, atau sama seperti Pemilu 2019.
Lain halnya dengan Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) yang menilai bahwa ambang batas yang ideal adalah 10% agar tidak terjadi polarisasi yang tajam di masyarakat dan juga elite. “Kalau pandangan RUU dan pendapat masing-masing fraksi itu masih 20-25 saya kira itu terlalu tinggi. Tapi kalau tidak ada presidential threshold itu juga akan menimbulkan banyak fragmentasi politik. Karena itu harus dipikirkan, kira-kira nilai tengahnya itu di mana. Paling tidak kita bisa mengarah pada 3-4 calon di tahap awal pilpres,” kata Peneliti P2P LIPI Moch. Nurhasim, Senin (8/6/2020). (Baca juga: Ambang Batas Parlemen 7%, Puluhan Juta Suara Pemilih Terancam Hangus)
Menurut Nurhasim, angka yang paling ideal adalah 10% untuk kursi DPR dan 15% untuk suara nasional. Angka tersebut dianggapnya relatif ideal dengan tetap membatasi dukungan maksimal yakni sekitar 33% supaya tidak ada gejala calon tunggal, atau ada orang yang berniat membuat pilpres mendatang hanya 2 pasang calon. “Kalau yang terjadi sekarang, diulang kembali, politik kita akan head to head, politik kita akan selalu berhadap-hadapan, akan ada polarisasi politik yang sangat tajam,” ujarnya. (Baca juga: Tiga Opsi Besaran Ambang Batas Parlemen di Pemilu 2024)
Karena itu, dia mengingatkan kepada para pembuat Undang-Undang agar tidak merubah presidential threshold yang berdampak pada perubahan sistem di pemilu presiden (Pilpres). Karena, sejak awal sistem pilpres di Indonesia adalah mayoritas mutlak atau 50%+1% sehingga, jika belum memenuhi itu akan dilakukan pilpres putaran kedua.
“Kalau sistem itu diubah, selalu calonnya itu dibuat supaya hanya dua, tentu akan berubah menjadi sistem plurality. Jadi ada gejala, keinginan partai-partai besar agar model pertarungan pemilu 2014 dan pemilu 2019 itu terulang kembali dengan menyamakan presidential threshold,” katanya.
Lain halnya dengan Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) yang menilai bahwa ambang batas yang ideal adalah 10% agar tidak terjadi polarisasi yang tajam di masyarakat dan juga elite. “Kalau pandangan RUU dan pendapat masing-masing fraksi itu masih 20-25 saya kira itu terlalu tinggi. Tapi kalau tidak ada presidential threshold itu juga akan menimbulkan banyak fragmentasi politik. Karena itu harus dipikirkan, kira-kira nilai tengahnya itu di mana. Paling tidak kita bisa mengarah pada 3-4 calon di tahap awal pilpres,” kata Peneliti P2P LIPI Moch. Nurhasim, Senin (8/6/2020). (Baca juga: Ambang Batas Parlemen 7%, Puluhan Juta Suara Pemilih Terancam Hangus)
Menurut Nurhasim, angka yang paling ideal adalah 10% untuk kursi DPR dan 15% untuk suara nasional. Angka tersebut dianggapnya relatif ideal dengan tetap membatasi dukungan maksimal yakni sekitar 33% supaya tidak ada gejala calon tunggal, atau ada orang yang berniat membuat pilpres mendatang hanya 2 pasang calon. “Kalau yang terjadi sekarang, diulang kembali, politik kita akan head to head, politik kita akan selalu berhadap-hadapan, akan ada polarisasi politik yang sangat tajam,” ujarnya. (Baca juga: Tiga Opsi Besaran Ambang Batas Parlemen di Pemilu 2024)
Karena itu, dia mengingatkan kepada para pembuat Undang-Undang agar tidak merubah presidential threshold yang berdampak pada perubahan sistem di pemilu presiden (Pilpres). Karena, sejak awal sistem pilpres di Indonesia adalah mayoritas mutlak atau 50%+1% sehingga, jika belum memenuhi itu akan dilakukan pilpres putaran kedua.
“Kalau sistem itu diubah, selalu calonnya itu dibuat supaya hanya dua, tentu akan berubah menjadi sistem plurality. Jadi ada gejala, keinginan partai-partai besar agar model pertarungan pemilu 2014 dan pemilu 2019 itu terulang kembali dengan menyamakan presidential threshold,” katanya.
(cip)
tulis komentar anda