Uni Eropa Net-Zero 2050: Peluang dan Tantangan Indonesia

Jum'at, 10 Desember 2021 - 07:46 WIB
Haekal Siraj (Ist)
Haekal Siraj

Mahasiswa MSc International Relations di The University of Edinburgh, Inggris

Penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia Kemdikbudristek x LPDP

SATU hal menarik yang dihasilkan Konferensi Perubahan Iklim Internasional ke-26 atau COP-26 di Glasgow, Inggris adalah komitmen Uni Eropa (organisasi kawasan beranggotakan 27 negara-negara di Eropa) untuk menjadi kawasan pertama di dunia yang netral karbon (net-zero) pada 2050. Net-zero sendiri artinya adalah kondisi seimbang antara emisi yang dihasilkan dan yang mampu diserap oleh suatu wilayah.

Bagi Uni Eropa, net-zero bukanlah hal yang baru. Komitmen ambisius ini sudah disampaikan pertama kali pada Desember 2019 dalam pidato pertama Ursula von der Leyen sebagai Presiden Komisi Uni Eropa 2019-2024. Target tersebut diambil berdasarkan beberapa pertimbangan, contohnya, survei dari Eurobarometer, di mana 93% masyarakat Uni Eropa merasa perubahan iklim sebagai ancaman serius dan hampir 80% yakin ancaman tersebut dapat diatasi dengan inovasi hijau.



Salah satu bentuk inovasi hijau yang akan digunakan oleh Uni Eropa adalah penggunaan energi bersih. Hal ini dikarenakan selama ini sektor energi berkontribusi lebih dari 75% terhadap total emisi yang dihasilkan Uni Eropa, berdasarkan data dari Eurostat. Dengan mengaplikasikan energi bersih untuk mencapai target net-zero 2050, maka Uni Eropa akan menghentikan penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap namun signifikan, menggunakan gas alam untuk tujuan transisi dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan, serta menggunakan energi baru dan terbarukan dalam bauran energi (Leonard et al. 2021).

Eurostat mencatat pada 2004, Uni Eropa hanya menggunakan 8,6% energi dari sumber energi baru dan terbarukan. Namun, di tahun ini, angka tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 19,7%. Energi baru dan terbarukan dari pembangkit listrik tenaga angin dan air menempati porsi energi baru dan terbarukan paling signifikan dengan persentase masing-masing sebesar 35%. Sementara itu, meskipun tenaga surya hanya berkontribusi 1% dari total energi baru dan terbarukan pada 2018, namun pertumbuhannya paling cepat.

Peluang dan Tantangan Indonesia

Untuk mencapai net-zero 2050, tentu Uni Eropa akan semakin gencar menggunakan energi baru dan terbarukan. Sementara itu, untuk membuat pembangkit listrik yang berasal dari energi baru dan terbarukan, diperlukan beberapa komponen seperti panel surya dan turbin angin. Lalu, untuk memproduksi kedua komponen tersebut diperlukan berbagai bahan tambang. Uni Eropa sudah mengidentifikasi setidaknya ada 30 bahan tambang penting yang dibutuhkan untuk membuat komponen-komponen pembangkit listrik energi baru dan terbarukan.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More