Radikal Tak Diatur UU, Pengamat Intelijen Soroti Keberanian Jenderal Dudung Soal Copot Baliho
Selasa, 07 Desember 2021 - 06:40 WIB
JAKARTA - Pengamat Intelijen dan Pertahanan Ridlwan Habib menyoroti tentang belum adanya otoritas yang bisa mendefinisikan makna radikal atau suatu kelompok dan individu dikatakan radikal. Karena, sambungnya, radikal itu tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Anti- Terorisme ).
“Karena sampai hari ini belum ada satu otoritas pun yang dilindungi undang-undang yang boleh mengatakan, kamu radikal, kamu enggak bisa jadi PNS, ASN, anggota DPR karena youradikal. Sampai hari ini saya belum menemukan satu pasal pun di perundang-undangan kita yang mendefinisikan radikalisme adalah apa? Enggak, belum ada,” kata Ridlwan dalam diskusi Empat Pilar MPR RI yang bertajuk “Vaksinasi Empat Pilar Lawan Transformasi Kelompok Terorisme” di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin 6 Desember 2021.
Kemudian, kata Ridlwan, saat kemudian Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman berbicara secara terbuka dalam suatu acara mengenai radikalisme dan ekstremisme, menuai kontroversi di publik, bahkan ada warganet yang mencibir Dudung, karena Dudung seolah menjadi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
“Ketika ada seorang jenderal namanya Dudung, kepala staf angkatan darat bicara blak-blakan di sebuah acara, diserang netizen apa namanya kemarin KSAD rasa “keset” lah, KSAD penakut lah, itu diserang oleh netizen, seolah-olah KSAD-nya jadi kepala BNPT,” ujarnya.
Menurut dia, tugas utama KSAD sebenarnya memang bukan itu, karena tugas utamanya adalah pembinaan kekuatan angkatan darat.KSAD pun tidak bertugas untuk mengurusi baliho, tapi karena proses ini tidak berjalan, dan tidak ada yang mengurusi soal label radikalisme, maka Dudung yang berani mengambil tanggung jawab.
“Enggak ada yang ngurusin, semua orang takut maka Dudung ngambil tanggung jawab, tapi apakah kemudian kita harus menunggu the next Dudung-Dudung lagi di masa depan Indonesia, kan mestinya tidak,” tegas Ridlwan.
Ridlwan mengaku pernah berdiskusi dengan Kepala BNPT Boy Rafli Amar. Dalam diskusi itu, kata dia, Boy mengatakan kalau definisi radikalisme dan terorisme ini bukan urusan BNPT, karenapihaknya itu penanggulangan terorisme.
Padahal, dia menambahkan, BNPT bisa melakukan sosialisasi, membuat pengajian ataupun ceramah terkait dengan deradikalisasi.
“Tapi dia (BNPT) enggak punya wewenang untuk mengklasifikasikan orang kamu radikal, kamu melanggar Pasal 9 undang-undang ini. Enggak boleh jadi PNS, itu enggak bisa. Maka akibatnya sekarang ketakutan, ASN-ASN ketakutan “jangan-jangan kalau saya buka YouTube tema-tema Islami nanti inspektorat lihat enggak naik pangkat,”,” tandasnya.
“Karena sampai hari ini belum ada satu otoritas pun yang dilindungi undang-undang yang boleh mengatakan, kamu radikal, kamu enggak bisa jadi PNS, ASN, anggota DPR karena youradikal. Sampai hari ini saya belum menemukan satu pasal pun di perundang-undangan kita yang mendefinisikan radikalisme adalah apa? Enggak, belum ada,” kata Ridlwan dalam diskusi Empat Pilar MPR RI yang bertajuk “Vaksinasi Empat Pilar Lawan Transformasi Kelompok Terorisme” di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin 6 Desember 2021.
Kemudian, kata Ridlwan, saat kemudian Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman berbicara secara terbuka dalam suatu acara mengenai radikalisme dan ekstremisme, menuai kontroversi di publik, bahkan ada warganet yang mencibir Dudung, karena Dudung seolah menjadi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
“Ketika ada seorang jenderal namanya Dudung, kepala staf angkatan darat bicara blak-blakan di sebuah acara, diserang netizen apa namanya kemarin KSAD rasa “keset” lah, KSAD penakut lah, itu diserang oleh netizen, seolah-olah KSAD-nya jadi kepala BNPT,” ujarnya.
Menurut dia, tugas utama KSAD sebenarnya memang bukan itu, karena tugas utamanya adalah pembinaan kekuatan angkatan darat.KSAD pun tidak bertugas untuk mengurusi baliho, tapi karena proses ini tidak berjalan, dan tidak ada yang mengurusi soal label radikalisme, maka Dudung yang berani mengambil tanggung jawab.
“Enggak ada yang ngurusin, semua orang takut maka Dudung ngambil tanggung jawab, tapi apakah kemudian kita harus menunggu the next Dudung-Dudung lagi di masa depan Indonesia, kan mestinya tidak,” tegas Ridlwan.
Ridlwan mengaku pernah berdiskusi dengan Kepala BNPT Boy Rafli Amar. Dalam diskusi itu, kata dia, Boy mengatakan kalau definisi radikalisme dan terorisme ini bukan urusan BNPT, karenapihaknya itu penanggulangan terorisme.
Padahal, dia menambahkan, BNPT bisa melakukan sosialisasi, membuat pengajian ataupun ceramah terkait dengan deradikalisasi.
“Tapi dia (BNPT) enggak punya wewenang untuk mengklasifikasikan orang kamu radikal, kamu melanggar Pasal 9 undang-undang ini. Enggak boleh jadi PNS, itu enggak bisa. Maka akibatnya sekarang ketakutan, ASN-ASN ketakutan “jangan-jangan kalau saya buka YouTube tema-tema Islami nanti inspektorat lihat enggak naik pangkat,”,” tandasnya.
(mhd)
tulis komentar anda