Noktah Peziarah
Sabtu, 20 November 2021 - 08:45 WIB
Puisi berlanjut, “Aku masih mendengar lantunan gadis kecil menderaskan al-Qur’an/ Entah di pesantren Gus Djawis atau Gus Katip/ Kucari-cari suaranya seperti meratap”. Di Wonokromo, ia mendengar suara gadis kecil yang melantun merdu tapi belum menjumpai sosoknya. Peristiwa kecil tapi bisa agak puitis dan religius di lokasi menimba ilmu agama, seperti pesantren, umpamanya. Pengalaman ke dengan rasa ketertarikan, penasaran, antusiasme, dan takjub meski dengan bahasa sederhana tak muluk-muluk amat.
baca juga: Puisi Berdoa dan Doa Berpuisi
Abdul Wachid juga memuisikan tokoh-tokoh beserta makam keramat¾alias tempat persinggahan terakhirnya di dunia. Beberapa tokoh yang diabadikan Abdul Wachid dalam bait-baitnya seperti Syaikh Maulana Maghribi, Sunan Pandanaran, Syaikh Makdum Wali, Mbah Jogoreso, Mbah Marijan, dan lain-lain. Sekian tokoh berperan besar dan terbingkai dalam album sejarah. Karisma tokoh dan lakon hidup masa lampau tentu jadi bayangan paling kentara saat Abdul Wachid berusaha memuisikannya. Di berbagai makam, Abdul Wachid mungkin menimba sumur spiritual dalam-dalam.
baca juga: Usai Ditegur karena Sindir Jokowi, Fadli Zon Posting Musikalisasi Puisi Doa Chairil Anwar
Kita cecap saja puisi berjudul “Ziarah Maulana Maghribi” ini. “Di perbukitan kapur selatan ini/ masih berjaga doa-doamu, sehingga amarah samodra/ luruh sampai di pantai, sehingga parangtritis jadi/ pagar bumi bagi yogya.” Letak makam Maulana Maghribi berada tepat di dekat wilayah pantai Parangtritis. Ia menganalogikan parangtritis, sebagai pagar bumi bagi yogya.
Rupanya Abdul Wachid tak hanya mengisahkan tempat-tempat dalam negeri di wilayah teritorial Indonesia, melainkan juga mancanegara. Satu-satunya puisi itu adalah puisi berjudul “Kilat-kilat Cahaya Oranye di Udara Gaza”. Puisi ini mengundang pembaca mengimajinasikan kota masih konflik dan belum mau damai. Kita sadar, Gaza adalah sorotan dan tanggapan. Mata dunia tertuju padanya. Orang-orang merasa memiliki ikatan, berbekal persamaan iman atau persaudaraan atas nama kemanusiaan.
baca juga: Elon Musk Cuit Puisi Mandarin di Twitter, Ini Maknanya?
Abdul Wachid membayangkan Gaza mungkin bersandar berita-berita dan isu internasional. Sebab, puisi berketerangan Yogyakarta, 1 Januari 2009. Yogyakarta dengan Gaza di hadapan kuasa peta bumi tentu berjarak. Dari jauh, Ia seperti merespon dan mendoakannya lewat puisi. Kita baca, “Ribuan rumah luluh lantak bagai debu padang pasir/Udara beracun, tank-tank kematian membelah Gaza/ Tak ada raung ambulans, tak ada obat-obatan/Tak ada makanan, terobek-robek kemanusiaan... Tambah malam langit tambah benderang/ Bukanlah sebab bintang-gemintang/ Tapi tembakan roket, artileri dan tank-tank/ Israel, dan angin musim dingin memperparah”
baca juga: Goresan Sajak Cak Imin dalam Antologi Puisi Darah Juang
Di pengujung buku puisi yang masuk nominasi daftar panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2021 ini, Abdul Wachid menutupnya dengan esai berjudul “Hikmah Puisi”. Adanya esai penutup semacam untuk penjelasan, penegasan, dan apologi. Di situ, Abdul Wachid mengaku diri menganggap dan menggunakan puisi sebagai medium pemaknaan-pencerapan objek dan pengalaman ruhani manusia. Suasana alam dan batin yang dirasa-diindera oleh penggubah puisi diobjektifikasi lalu ditorehkan ke bait-bait puisi.
baca juga: Puisi Berdoa dan Doa Berpuisi
Abdul Wachid juga memuisikan tokoh-tokoh beserta makam keramat¾alias tempat persinggahan terakhirnya di dunia. Beberapa tokoh yang diabadikan Abdul Wachid dalam bait-baitnya seperti Syaikh Maulana Maghribi, Sunan Pandanaran, Syaikh Makdum Wali, Mbah Jogoreso, Mbah Marijan, dan lain-lain. Sekian tokoh berperan besar dan terbingkai dalam album sejarah. Karisma tokoh dan lakon hidup masa lampau tentu jadi bayangan paling kentara saat Abdul Wachid berusaha memuisikannya. Di berbagai makam, Abdul Wachid mungkin menimba sumur spiritual dalam-dalam.
baca juga: Usai Ditegur karena Sindir Jokowi, Fadli Zon Posting Musikalisasi Puisi Doa Chairil Anwar
Kita cecap saja puisi berjudul “Ziarah Maulana Maghribi” ini. “Di perbukitan kapur selatan ini/ masih berjaga doa-doamu, sehingga amarah samodra/ luruh sampai di pantai, sehingga parangtritis jadi/ pagar bumi bagi yogya.” Letak makam Maulana Maghribi berada tepat di dekat wilayah pantai Parangtritis. Ia menganalogikan parangtritis, sebagai pagar bumi bagi yogya.
Rupanya Abdul Wachid tak hanya mengisahkan tempat-tempat dalam negeri di wilayah teritorial Indonesia, melainkan juga mancanegara. Satu-satunya puisi itu adalah puisi berjudul “Kilat-kilat Cahaya Oranye di Udara Gaza”. Puisi ini mengundang pembaca mengimajinasikan kota masih konflik dan belum mau damai. Kita sadar, Gaza adalah sorotan dan tanggapan. Mata dunia tertuju padanya. Orang-orang merasa memiliki ikatan, berbekal persamaan iman atau persaudaraan atas nama kemanusiaan.
baca juga: Elon Musk Cuit Puisi Mandarin di Twitter, Ini Maknanya?
Abdul Wachid membayangkan Gaza mungkin bersandar berita-berita dan isu internasional. Sebab, puisi berketerangan Yogyakarta, 1 Januari 2009. Yogyakarta dengan Gaza di hadapan kuasa peta bumi tentu berjarak. Dari jauh, Ia seperti merespon dan mendoakannya lewat puisi. Kita baca, “Ribuan rumah luluh lantak bagai debu padang pasir/Udara beracun, tank-tank kematian membelah Gaza/ Tak ada raung ambulans, tak ada obat-obatan/Tak ada makanan, terobek-robek kemanusiaan... Tambah malam langit tambah benderang/ Bukanlah sebab bintang-gemintang/ Tapi tembakan roket, artileri dan tank-tank/ Israel, dan angin musim dingin memperparah”
baca juga: Goresan Sajak Cak Imin dalam Antologi Puisi Darah Juang
Di pengujung buku puisi yang masuk nominasi daftar panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2021 ini, Abdul Wachid menutupnya dengan esai berjudul “Hikmah Puisi”. Adanya esai penutup semacam untuk penjelasan, penegasan, dan apologi. Di situ, Abdul Wachid mengaku diri menganggap dan menggunakan puisi sebagai medium pemaknaan-pencerapan objek dan pengalaman ruhani manusia. Suasana alam dan batin yang dirasa-diindera oleh penggubah puisi diobjektifikasi lalu ditorehkan ke bait-bait puisi.
tulis komentar anda