Noktah Peziarah

Sabtu, 20 November 2021 - 08:45 WIB
loading...
Noktah Peziarah
Noktah Peziarah
A A A
Adib Baroya Al Fahmi
MahasiswaUINRaden Mas Said Solo, koordinator tadarus buku di Serambi Kata

Puisi mengabadikan perjalanan. Bait demi bait mengajak pembaca berkelana di hadapan kata-kata, imajinasi pun melesat dan melayang hebat membayangkan segala rupa. Kehadiran puisi lantas mengajak dan merangsang pembaca untuk seperti mengalami peristiwa meruangi tempat-tempat dan suasana. Situasi dan pengalaman diri secara personal sebagai seorang pengunjung atau pun peziarah terekam dalam puisi.

baca juga: Bunuh Diri Puisi di Tenda Pengungsian

Abdul Wachid BS dalam buku kumpulan sajak terbarunya berjudul Jalan Malam (2021) mengisahkan diri sebagai peziarah. Kita membaca saja dengan mengamati pilihan tanda, simbolisme ruang arsitektural, citra imaji, deskripsi, pilihan diksi, dan penempatan penyair dalam tubuh puisi. Larik-larik Abdul Wachid seolah berusaha menokohkan diri sebagai pejalan siang dan malam, tak melulu malam, lebih-lebih saat hanya matahari hendak tenggelam. Ia bergerak jauh, berkelana dari kota ke kota, dari suatu waktu ke suatu tempat.

Sebagai puisi yang mencatat fragmen perjalanan biografis, yang penggubah puisinya mendatangi tempat-tempat tertentu, penggambaran suasana jelas wajib ada. Pencitraan ini menimbulkan ide-imajinasi atas apa yang dituliskan, secara tersirat atau pun tersurat. Lanskap panorama jadi soal yang tak habis-habisnya dibahas dan diulik, hingga dijadikan referensi penggubahan puisi-puisi.

Suatu hari, Abdul Wachid mendatangi daerah Wonokromo. Tempat di Yogyakarta diceritakan dengan kekaguman dan rasa sedih. Kita cerap saja dengan seksama, “Silaturahmi ke Wonokromo/ Desa santri yang mengaji/ Ada rumah kekasih yang tersembunyi/ Sejarah masjid yang ‘Hamengkubuwono’/ Ada pertemuan dua sungai/ Di sikunya masjid itu hijau kebiruan/ Ada makam di baratnya bila kulewati/ Selalu kusampaikan salam pertemuan”

baca juga: Wanita Ini Sebut SBY Sang Guru, Kirim Doa Kesembuhan lewat Puisi

Di puisi, kita diserukan untuk membayangkan sekitar Wonokromo. Beberapa penanda seperti tempat penting: masjid, sungai, dan makam. Saat berkunjung ke suatu tempat, Abdul Wachid mungkin sekali bertemu bermacam-macam orang dengan beragam kepentingan, yang tanpa sengaja bersua di lokasi kunjungan yang sama. Selain yang sedari awal beralamat di situ tentu saja. Kita memang tidak bisa menduga dan menebak-nebak bakal ketemu siapa di titik tujuan.

Puisi berlanjut, “Aku masih mendengar lantunan gadis kecil menderaskan al-Qur’an/ Entah di pesantren Gus Djawis atau Gus Katip/ Kucari-cari suaranya seperti meratap”. Di Wonokromo, ia mendengar suara gadis kecil yang melantun merdu tapi belum menjumpai sosoknya. Peristiwa kecil tapi bisa agak puitis dan religius di lokasi menimba ilmu agama, seperti pesantren, umpamanya. Pengalaman ke dengan rasa ketertarikan, penasaran, antusiasme, dan takjub meski dengan bahasa sederhana tak muluk-muluk amat.

baca juga: Puisi Berdoa dan Doa Berpuisi

Abdul Wachid juga memuisikan tokoh-tokoh beserta makam keramat¾alias tempat persinggahan terakhirnya di dunia. Beberapa tokoh yang diabadikan Abdul Wachid dalam bait-baitnya seperti Syaikh Maulana Maghribi, Sunan Pandanaran, Syaikh Makdum Wali, Mbah Jogoreso, Mbah Marijan, dan lain-lain. Sekian tokoh berperan besar dan terbingkai dalam album sejarah. Karisma tokoh dan lakon hidup masa lampau tentu jadi bayangan paling kentara saat Abdul Wachid berusaha memuisikannya. Di berbagai makam, Abdul Wachid mungkin menimba sumur spiritual dalam-dalam.

baca juga: Usai Ditegur karena Sindir Jokowi, Fadli Zon Posting Musikalisasi Puisi Doa Chairil Anwar

Kita cecap saja puisi berjudul “Ziarah Maulana Maghribi” ini. “Di perbukitan kapur selatan ini/ masih berjaga doa-doamu, sehingga amarah samodra/ luruh sampai di pantai, sehingga parangtritis jadi/ pagar bumi bagi yogya.” Letak makam Maulana Maghribi berada tepat di dekat wilayah pantai Parangtritis. Ia menganalogikan parangtritis, sebagai pagar bumi bagi yogya.

Rupanya Abdul Wachid tak hanya mengisahkan tempat-tempat dalam negeri di wilayah teritorial Indonesia, melainkan juga mancanegara. Satu-satunya puisi itu adalah puisi berjudul “Kilat-kilat Cahaya Oranye di Udara Gaza”. Puisi ini mengundang pembaca mengimajinasikan kota masih konflik dan belum mau damai. Kita sadar, Gaza adalah sorotan dan tanggapan. Mata dunia tertuju padanya. Orang-orang merasa memiliki ikatan, berbekal persamaan iman atau persaudaraan atas nama kemanusiaan.

baca juga: Elon Musk Cuit Puisi Mandarin di Twitter, Ini Maknanya?

Abdul Wachid membayangkan Gaza mungkin bersandar berita-berita dan isu internasional. Sebab, puisi berketerangan Yogyakarta, 1 Januari 2009. Yogyakarta dengan Gaza di hadapan kuasa peta bumi tentu berjarak. Dari jauh, Ia seperti merespon dan mendoakannya lewat puisi. Kita baca, “Ribuan rumah luluh lantak bagai debu padang pasir/Udara beracun, tank-tank kematian membelah Gaza/ Tak ada raung ambulans, tak ada obat-obatan/Tak ada makanan, terobek-robek kemanusiaan... Tambah malam langit tambah benderang/ Bukanlah sebab bintang-gemintang/ Tapi tembakan roket, artileri dan tank-tank/ Israel, dan angin musim dingin memperparah”

baca juga: Goresan Sajak Cak Imin dalam Antologi Puisi Darah Juang

Di pengujung buku puisi yang masuk nominasi daftar panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2021 ini, Abdul Wachid menutupnya dengan esai berjudul “Hikmah Puisi”. Adanya esai penutup semacam untuk penjelasan, penegasan, dan apologi. Di situ, Abdul Wachid mengaku diri menganggap dan menggunakan puisi sebagai medium pemaknaan-pencerapan objek dan pengalaman ruhani manusia. Suasana alam dan batin yang dirasa-diindera oleh penggubah puisi diobjektifikasi lalu ditorehkan ke bait-bait puisi.

Puisi terus lahir dari rahim penyair. “Seseorang mencari ‘puisi’ yang bakal ditulisnya”, pandang Abdul Wachid, “samalah dengan manusia yang telah, sedang, dan terus akan mencari hikmah itu, maka dia harus senantiasa membaca alam...” Kita anggap saja, Abdul Wachid masih mencari “puisi” dari perjalanan ragawi, pelanglangan imajiner, pengalaman ruhani, dan romansa cinta melulu.

Judul Buku : Jalan Malam

Penulis : Abdul Wachid BS

Penerbit : BasaBasi

Cetakan : Pertama, April 2021

Tebal : vi + 142 halaman

ISBN : 978-623-305-209-2
(hdr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1103 seconds (0.1#10.140)