Runtuhnya Kepercayaan Medsos
Sabtu, 13 November 2021 - 05:26 WIB
Saat ini yang terpenting menurut Ismail, kita bermedia sosial harus tahu manfaat untuk diri sendiri. Misalnya, bermain Facebook tujuannya apa, apa yang mau di dapatkan manfaatnya dari Facebok. Lalu, menggunakan Twitter, apa yang mau dicari dari Twitter. Minimal itu dulu yang harus dipahami dan mengerti. "Saya kira itu yang harus ditanyakan pada orang saat bermain sosial media, ada tidak tujuan mendapatkan manfaat pengembangan pribadi dan untuk mempromosikan karya atau menggunakan media sosial untuk menyebarkan karya yang kita hasilkan,"ucapnya
Namun, jika pengguna tidak tahu bagimana cara memanfaatkan media sosial dengan baik, akibatnya yang ada mereka malah dimanfaatkan oleh media sosial itu sendiri. "Dimanfaatkan dalam bentuk, biasanya yang ingin menyebarkan hoaks buat keramaian, membuat pro dan kontra. Mereka tanpa tahu diharap untuk ikut meramaikan dan dimanfaatkan sebagai alat saja, padahal mereka tidak mendapat keuntungan. Hanya emosinya saja yang dimainkan karena sama-sama tidak suka,"papar Ismail. Jadi, menurut Ismail terkadang mereka happy, tetapi sebenarnya dimanfaatkan oleh media sosial. Karena media sosial lebih cenderung seperti 'post truth' yaitu kebenaran mengikuti perasaan.
Praktisi media Dudy Syabani Takdir menilai tumbuh suburnya informasi bohong atau hoaks, ajang propaganda, provokatif, dan lainnya di medsos lantaran para penyedia platform medsos terkesan ‘angkat tangan’ dan tidak serius menanggulangi persoalan ini.
“Di sinilah media arus utama harus menjadi referensi dan rujukan. Ini menjadi peluang karena selama ini seolah-olah peran media arus utama itu tergantikan oleh sosial media. Hanya dengan melihat Instagram, orang merasa sudah mendapatkan berita. Hanya lihat baca Twitter dari tokoh politisi, seolah merasa sudah mendapatkan informasi. Padahal belum tentu itu terverifikasi. Ini menjadi peran dan peluang bagi media arus utama kembali merebut pembaca yang mungkin sempat diambil oleh sosial media,” ungkap Dudy kepada Koran SINDO.
Ketua Umum Forum Jurnalis Muslim (Forjim) sekaligus Founder dan CEO Media Labs itu menandaskan, media arus utama memiliki perangkat yang tidak dimiliki medsos, yaitu jurnalisnya. Ada proses verifikasi informasi, check and recheck, memeriksa fakta dan lainnya. Bahkan, beberapa media sudah memiliki rubrik cek fakta.
Tidak dimungkiri jika medsos menjadi kanal untuk berbagi informasi. Sarana itu sangat dekat dengan kehidupan masyarakat. Cukup dengan jempol saja, sudah bisa menyebarkan informasi ke banyak orang. “Ini menjadi masukan bagi para pengelola media agar kembali menyediakan forum atau ruang untuk citizen journalism. Jadi, hasrat masyarakat untuk berbagi informasi menjadi terwadahi di kanal media. Namun tentu lebih dahulu harus melalui kurasi, moderasi dan sebagainya biar nggak liar seperti sosial media. Ini menjadi salah satu peluang buat media,” ujarnya.
Kendati demikian, Dudy tidak menampik jika ada media arus utama yang masih bermain dengan clickbait, pemberitaan yang tidak berimbang (cover both sides) dan lainnya. Menurut dia, ini menjadi persoalan bersama, terutama bagi insan pers untuk meningkatkan mutu jurnalisme melalui peningkatan kompetensi dan kapasitas lewat pelatihan rutin. “Harus berpikir kreatif lagi tanpa harus mengorbankan etika jurnalistik atau integritasnya,” tandasnya
Sedangkan Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika Dedy Permadi mengatakan, pengawasan yang dilakukan kementeriannya terhadap berbagai platform medsos sesuai dengan amanat UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan turunannya.
Dalam beleid itu, konten dapat diputus karena melanggar ketentuan perundang-undangan, meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum, serta memberitahu cara atau menyediakan akses terhadap konten yang memiliki muatan dilarang peraturan perundang-undangan. Kementerian Kominfo mengklaim tidak langsung melakukan pemutusan akses. Akan tetapi, ada proses pendahuluan, seperti eksaminasi internal, kesesuaian dengan informasi aktual, dan konsultasi dengan kementerian atau lembaga terkait.
“Kementerian Kominfo akan mengajukan permintaan pemutusan akses kepada platform yang mengelola sistem elektronik dimana konten tersebut dapat diakses masyarakat,” ujarnya.
Namun, jika pengguna tidak tahu bagimana cara memanfaatkan media sosial dengan baik, akibatnya yang ada mereka malah dimanfaatkan oleh media sosial itu sendiri. "Dimanfaatkan dalam bentuk, biasanya yang ingin menyebarkan hoaks buat keramaian, membuat pro dan kontra. Mereka tanpa tahu diharap untuk ikut meramaikan dan dimanfaatkan sebagai alat saja, padahal mereka tidak mendapat keuntungan. Hanya emosinya saja yang dimainkan karena sama-sama tidak suka,"papar Ismail. Jadi, menurut Ismail terkadang mereka happy, tetapi sebenarnya dimanfaatkan oleh media sosial. Karena media sosial lebih cenderung seperti 'post truth' yaitu kebenaran mengikuti perasaan.
Praktisi media Dudy Syabani Takdir menilai tumbuh suburnya informasi bohong atau hoaks, ajang propaganda, provokatif, dan lainnya di medsos lantaran para penyedia platform medsos terkesan ‘angkat tangan’ dan tidak serius menanggulangi persoalan ini.
“Di sinilah media arus utama harus menjadi referensi dan rujukan. Ini menjadi peluang karena selama ini seolah-olah peran media arus utama itu tergantikan oleh sosial media. Hanya dengan melihat Instagram, orang merasa sudah mendapatkan berita. Hanya lihat baca Twitter dari tokoh politisi, seolah merasa sudah mendapatkan informasi. Padahal belum tentu itu terverifikasi. Ini menjadi peran dan peluang bagi media arus utama kembali merebut pembaca yang mungkin sempat diambil oleh sosial media,” ungkap Dudy kepada Koran SINDO.
Ketua Umum Forum Jurnalis Muslim (Forjim) sekaligus Founder dan CEO Media Labs itu menandaskan, media arus utama memiliki perangkat yang tidak dimiliki medsos, yaitu jurnalisnya. Ada proses verifikasi informasi, check and recheck, memeriksa fakta dan lainnya. Bahkan, beberapa media sudah memiliki rubrik cek fakta.
Tidak dimungkiri jika medsos menjadi kanal untuk berbagi informasi. Sarana itu sangat dekat dengan kehidupan masyarakat. Cukup dengan jempol saja, sudah bisa menyebarkan informasi ke banyak orang. “Ini menjadi masukan bagi para pengelola media agar kembali menyediakan forum atau ruang untuk citizen journalism. Jadi, hasrat masyarakat untuk berbagi informasi menjadi terwadahi di kanal media. Namun tentu lebih dahulu harus melalui kurasi, moderasi dan sebagainya biar nggak liar seperti sosial media. Ini menjadi salah satu peluang buat media,” ujarnya.
Kendati demikian, Dudy tidak menampik jika ada media arus utama yang masih bermain dengan clickbait, pemberitaan yang tidak berimbang (cover both sides) dan lainnya. Menurut dia, ini menjadi persoalan bersama, terutama bagi insan pers untuk meningkatkan mutu jurnalisme melalui peningkatan kompetensi dan kapasitas lewat pelatihan rutin. “Harus berpikir kreatif lagi tanpa harus mengorbankan etika jurnalistik atau integritasnya,” tandasnya
Sedangkan Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika Dedy Permadi mengatakan, pengawasan yang dilakukan kementeriannya terhadap berbagai platform medsos sesuai dengan amanat UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan turunannya.
Dalam beleid itu, konten dapat diputus karena melanggar ketentuan perundang-undangan, meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum, serta memberitahu cara atau menyediakan akses terhadap konten yang memiliki muatan dilarang peraturan perundang-undangan. Kementerian Kominfo mengklaim tidak langsung melakukan pemutusan akses. Akan tetapi, ada proses pendahuluan, seperti eksaminasi internal, kesesuaian dengan informasi aktual, dan konsultasi dengan kementerian atau lembaga terkait.
“Kementerian Kominfo akan mengajukan permintaan pemutusan akses kepada platform yang mengelola sistem elektronik dimana konten tersebut dapat diakses masyarakat,” ujarnya.
tulis komentar anda