Runtuhnya Kepercayaan Medsos
Sabtu, 13 November 2021 - 05:26 WIB
JAKARTA - Media sosial (medsos) menjadi palagan baru dalam penyebaran beragam informasi, perdebatan, hingga diskusi mengenai isu-isu terkini. Namun, kepercayaan terhadap medsos semakin runtuh lantaran medium ini digunakan sebagai penyebaran informasi menyesatkan, propaganda hingga tindak kejahatan siber.
Medium komunikasi manusia dalam menyebarkan informasi di kolong jagat telah berubah, dari media-media konvensional, seperti cetak dan radio, beralih ke medsos, seperti facebook, twitter, dan instagram. Medsos punya keunggulan dari sisi kecepatan dan jangkauan yang luas. Sisi negatifnya, kerap terjadi penyebaran informasi bohong, intimidasi, propaganda, dan konten lainnya yang melanggar hukum.
Tidak seperti media-media konvensional yang memiliki penyaringan ketat, medsos lebih bebas. Tak ada penyaringan konten, sehingga medsos ibarat rimba belantara.
Sekretaris Jenderal(Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat, Asmono Wikan mengaku sangat prihatin dengan berkembangnya kasus-kasus penggunaan media sosial yang kontraproduktif. Bahkan, hingga memicu berbagai tindak kejahatan dan kriminal.
Menurut dia, situasi ini terjadi akibat dua hal. Pertama, masih rendahnya literasi masyarakat terhadap aktivitas bermedia sosial yang sehat sehingga pemahaman terhadap praktik media sosial tidak mendalam dan cenderung konsumtif. Kedua, berkembangnya hasrat untuk populer dalam waktu singkat melalui media sosial dengan berbagai cara, yang sebagian diantaranya justru tidak etik. Misalnya, fenomena panjat sosial (pansos), memancing kegaduhan dengan postingan kontroversial, dan lainnya.
Merujuk data hasil riset Dewan Pers selama 2020-2021, media sosial justru mendapatkan kepercayaan dari publik, terutama dari generasi Y dan Z, dalam hal kecepatannya dalam memperoleh informasi. Namun, media arus utama cenderung mendapatkan tingkat kepercayaan yang tinggi dari sisi faktor data maupun narasumber yang kredibel.
“Sebagai contoh, selama pandemi ini, banyak media arus utama mengalami pertumbuhan pembaca karena mereka menyajikan fakta, data, dan narasumber yang kredibel, relevan di bidang penanganan Covid-19,” tutur Asmono kepada Koran SINDO.
Medium komunikasi manusia dalam menyebarkan informasi di kolong jagat telah berubah, dari media-media konvensional, seperti cetak dan radio, beralih ke medsos, seperti facebook, twitter, dan instagram. Medsos punya keunggulan dari sisi kecepatan dan jangkauan yang luas. Sisi negatifnya, kerap terjadi penyebaran informasi bohong, intimidasi, propaganda, dan konten lainnya yang melanggar hukum.
Baca Juga
Tidak seperti media-media konvensional yang memiliki penyaringan ketat, medsos lebih bebas. Tak ada penyaringan konten, sehingga medsos ibarat rimba belantara.
Sekretaris Jenderal(Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat, Asmono Wikan mengaku sangat prihatin dengan berkembangnya kasus-kasus penggunaan media sosial yang kontraproduktif. Bahkan, hingga memicu berbagai tindak kejahatan dan kriminal.
Menurut dia, situasi ini terjadi akibat dua hal. Pertama, masih rendahnya literasi masyarakat terhadap aktivitas bermedia sosial yang sehat sehingga pemahaman terhadap praktik media sosial tidak mendalam dan cenderung konsumtif. Kedua, berkembangnya hasrat untuk populer dalam waktu singkat melalui media sosial dengan berbagai cara, yang sebagian diantaranya justru tidak etik. Misalnya, fenomena panjat sosial (pansos), memancing kegaduhan dengan postingan kontroversial, dan lainnya.
Merujuk data hasil riset Dewan Pers selama 2020-2021, media sosial justru mendapatkan kepercayaan dari publik, terutama dari generasi Y dan Z, dalam hal kecepatannya dalam memperoleh informasi. Namun, media arus utama cenderung mendapatkan tingkat kepercayaan yang tinggi dari sisi faktor data maupun narasumber yang kredibel.
“Sebagai contoh, selama pandemi ini, banyak media arus utama mengalami pertumbuhan pembaca karena mereka menyajikan fakta, data, dan narasumber yang kredibel, relevan di bidang penanganan Covid-19,” tutur Asmono kepada Koran SINDO.
tulis komentar anda