Puisi Berdoa dan Doa Berpuisi

Sabtu, 30 Oktober 2021 - 06:26 WIB
Sambungan dari kelucuan berpuisi akhir masa 1990-an, terus terbaca dalam puisi-puisi terbaru. Joko Pinurbo tak menghendaki sebagai penggubah puisi melulu doa. Ia pun mengerti ada tokoh-tokoh terdahulu telah memberi puisi mengenai doa sudah teringat umat sastra di Indonesia: Amir Hamzah , Chairil Anwar, Rendra , Sapardi Djoko Damono , Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Abdul Hadi WM, Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib, dan lain-lain. Ia agak dekat dengan “kelucuan” berdoa bila kita membaca puisi-puisi gubahan Darmanto Jatman, Remy Sylado, atau F Rahardi.

Kita membaca masalah diri ingin tampil cantik dan anggun sudah dimunculkan sejak penerbitan buku Celana (1999). Kita membaca puisi berjudul “Kosmetik”, angan cantik tapi menguak religisoitas. Puisi mengingatka pula kemonceran buku berjudul Telepon Genggam (2003). Pembaca menikmati puisi mungkin ingin tertawa pelan: Ia belum siap menjadi tua./ Ia takut kehilangan pesona./ Ia takut tidak menarik lagi/ di hadapan dirinya sendiri./ Di depan ponselnya/ ia berdoa: “Salam maria/ penuh rahmat./ Lindungilah kami/ dari godaan iklan kosmetik.” Sosok ingin tak terjerat imajinasi kecantikan bersumber iklan-iklan. Ia masih ingin cantik tapi terhindar dari dusta-dusta.

baca juga: Rekomendasi Buku untuk Belajar Alam Semesta, dari Sudut Sains hingga Agama

Kita menjenguk puisi berjudul “Kecantikan Belum Selesai” digubah pada 2003. Joko Pinurbo turut mengekalkan cantik dalam puisi-puisi. Dulu, suasana dan pengisahan berbeda: Sudah selesai. Sudah kucoba warna./ Sekarang bersiaplah kau di ruang ganti busana./ Belum. Belum selesai. Beri aku sentuhan terakhir/ pada rambut, mata, dan bibir agar melihatku/ adalah melihat kecantikan yang belum selesai. Pada 2021, kecantikan belum selesai. Orang-orang mengalami wabah tapi raihan dan imajinasi kecantikan justru berada dalam tatapan mata di gawai. Kecantikan makin heboh bagi orang-orang memberi mata untuk industri hiburan Korea Selatan. Cantik justru tema terbesar saat hiburan itu “wajib” selama wabah ketimbang kalah.

Pada akhir 2001, kita berharapan wabah berakhir. Kita tak pernah berakhir membaca puisi-puisi. Di kenikmatan membaca puisi, kita berdoa. Kemauan berdoa tak melupa membuat kita tertawa. Hari-hari terlalu susah tapi Joko Pinurbo memberi “salam” dan “selamat” kepada pembaca agar tak terlalu nestapa. Puisi-puisi itu bersama kita, mengalami hari-hari sudah jenuh wabah. Kita pun rajin mengucap dan memberi “amin”. Begitu.

Judul : Kabar Sukacinta

Penulis : Joko Pinurbo

Penerbit : Kanisius

Cetak : 2021

Tebal : 80 halaman
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More