Tiga Masalah di Balik Kebijakan New Normal
Kamis, 04 Juni 2020 - 13:00 WIB
Dr. Fadli Zon, M.Sc.
Anggota DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra
PEMERINTAH melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, telah memperbolehkan 102 wilayah kabupaten/kota di Tanah Air untuk menerapkan kebijakan “New Normal”. Kebijakan ini sangat mencemaskan, karena secara epidemiologis Indonesia sebenarnya masih berada dalam zona merah pandemi. Belum terlihat tanda-tanda “kenormalan”, yang terlihat justru ketidakjelasan seperti berjalan di tengah kegelapan.
Sebagai catatan, Indonesia saat ini berada di urutan ke-19 dunia dalam hal penambahan kasus baru. Menurut data WHO (World Health Organization), angka penularan virus, atau ‘reproduction rate’ (RO) Corona di Indonesia adalah 2,5, artinya satu penderita bisa menulari 2,5 orang. Tingkat penularan ini masih tergolong tinggi.
Secara umum, ada tiga persoalan kenapa wacana dan kebijakan”New Normal” ini dianggap buruk.
Pertama, otorisasi dan organisasi pengambilan keputusannya kacau. Pandemi ini oleh Pemerintah telah ditetapkan sebagai bencana nasional, di mana strategi yang dipilih untuk mengatasinya adalah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/2020, penetapan PSBB ini kewenangannya dipegang oleh Kementerian Kesehatan. Namun, otorisasi “New Normal”, yang dalam praktiknya bisa disebut sebagai bentuk pelonggaran terhadap PSBB, alih-alih dikembalikan ke Kementerian Kesehatan, malah dipegang oleh Gugus Tugas. Ini membuat organisasi pengambilan keputusan jadi tak jelas.
Hasilnya sudah bisa kita lihat. Dari 102 wilayah yang diperbolehkan “New Normal” oleh Gugus Tugas, misalnya, tak ada satupun kota di Jawa yang masuk rekomendasi, kecuali Tegal. Tapi anehnya, Gubernur Jawa Barat sudah mengumumkan per 1 Juni kemarin ada 15 daerah di Jawa Barat yang boleh menerapkan “New Normal”. Ini kan jadi kacau otorisasinya!
Kedua, datanya ‘misleading’. Pemerintah mengklaim angka reproduksi Covid-19 Indonesia sudah berada di angka 1,09. Dalam standar WHO, angka ini bisa dianggap terkendali. Masalahnya, angka yang digunakan Pemerintah ini adalah angka yang ada di DKI Jakarta.
Menggunakan tren perbaikan R0 dan Rt di DKI Jakarta sebagai dasar untuk menggaungkan kebijakan “New Normal” di level nasional jelas ‘misleading’. Lagi pula, meskipun di atas kertas data Covid-19 di DKI trennya cenderung membaik, data itu tetap harus dilihat secara kritis.
Anggota DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra
PEMERINTAH melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, telah memperbolehkan 102 wilayah kabupaten/kota di Tanah Air untuk menerapkan kebijakan “New Normal”. Kebijakan ini sangat mencemaskan, karena secara epidemiologis Indonesia sebenarnya masih berada dalam zona merah pandemi. Belum terlihat tanda-tanda “kenormalan”, yang terlihat justru ketidakjelasan seperti berjalan di tengah kegelapan.
Sebagai catatan, Indonesia saat ini berada di urutan ke-19 dunia dalam hal penambahan kasus baru. Menurut data WHO (World Health Organization), angka penularan virus, atau ‘reproduction rate’ (RO) Corona di Indonesia adalah 2,5, artinya satu penderita bisa menulari 2,5 orang. Tingkat penularan ini masih tergolong tinggi.
Secara umum, ada tiga persoalan kenapa wacana dan kebijakan”New Normal” ini dianggap buruk.
Pertama, otorisasi dan organisasi pengambilan keputusannya kacau. Pandemi ini oleh Pemerintah telah ditetapkan sebagai bencana nasional, di mana strategi yang dipilih untuk mengatasinya adalah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/2020, penetapan PSBB ini kewenangannya dipegang oleh Kementerian Kesehatan. Namun, otorisasi “New Normal”, yang dalam praktiknya bisa disebut sebagai bentuk pelonggaran terhadap PSBB, alih-alih dikembalikan ke Kementerian Kesehatan, malah dipegang oleh Gugus Tugas. Ini membuat organisasi pengambilan keputusan jadi tak jelas.
Hasilnya sudah bisa kita lihat. Dari 102 wilayah yang diperbolehkan “New Normal” oleh Gugus Tugas, misalnya, tak ada satupun kota di Jawa yang masuk rekomendasi, kecuali Tegal. Tapi anehnya, Gubernur Jawa Barat sudah mengumumkan per 1 Juni kemarin ada 15 daerah di Jawa Barat yang boleh menerapkan “New Normal”. Ini kan jadi kacau otorisasinya!
Kedua, datanya ‘misleading’. Pemerintah mengklaim angka reproduksi Covid-19 Indonesia sudah berada di angka 1,09. Dalam standar WHO, angka ini bisa dianggap terkendali. Masalahnya, angka yang digunakan Pemerintah ini adalah angka yang ada di DKI Jakarta.
Menggunakan tren perbaikan R0 dan Rt di DKI Jakarta sebagai dasar untuk menggaungkan kebijakan “New Normal” di level nasional jelas ‘misleading’. Lagi pula, meskipun di atas kertas data Covid-19 di DKI trennya cenderung membaik, data itu tetap harus dilihat secara kritis.
tulis komentar anda