Meraba dan Mengkhidmati Cinta Sang Maha
Sabtu, 23 Oktober 2021 - 09:42 WIB
Bicara cinta, tentu bukan hanya isu yang dimiliki muda-mudi dimabuk asmara. Cinta akan selalu bersifat universal: dapat dimiliki siapa pun, dan apa pun. Mulai dari manusia yang baru lahir, sampai yang hendak menjemput senja. Mulai dari hewan paling jinak, sampai hiu putih dan paus Orca. Mulai dari kecambah, sampai pohon yang nyaris lapuk. Cinta akan selalu bersinergi dengan vibrasi baik, membuat segala kehidupan di Semesta berjalan dengan semestinya. Itulah yang tertangkap dari kumpulan sajak Alfin dan Mutia.
Maka, mereka tak hanya bicara cinta antara keduanya, melainkan cinta mereka kepada orang lain. Mutia, misalnya, bicara mengenai hubungannya dengan sang ayah melalui sajak berjudul Lirik. Sang cinta pertama pernah begitu tidak ia sukai, pernah saling tak sepakat. Akan tetapi, segala jarak itu luruh bersama maaf kala ia berpamitan untuk pindah ke rumah baru bersama suaminya. Bagi Mutia, kebenciannya terhadap sang ayah dapat mempengaruhi kinerja otaknya. Ia jadi tidak bisa berpikir jernih. Selalu merasa ada yang belum selesai, belum tuntas.
baca juga: Buku Sihir Tertua Ditemukan Dalam Tablet Kuno Berusia 3.500 Tahun
Pada sajak lain, Mutia bertutur soal sang ibu. Betapa Ibu adalah sosok yang memeluknya sejak dalam kandungan hingga ia telah berumah tangga. Tampak bahwa sesuatu yang indah itu tidak harus rumit dan aneh. Jalinan kata sederhana pun dapat mengungkapkan sejuta makna mendalam.
Proses Kreatif
Kita mungkin sepakat bahwa proses kreatif penulisan sajak tidak serumit novel. Tidak perlu ada riset mendalam terhadap detail-detail faktual. Pun, tidak selalu membutuhkan pembacaan dari orang lain ketika hendak dipublikasikan. Ia bergantung sepenuhnya kepada kepekaan penulisnya. Bahkan, ia semacam tidak perlu menerima protes dari siapa pun yang nanti membacanya.
Kepekaan dalam sajak hadir melalui suasana, olah rasa yang muncul, bahkan bahasa tubuh. Gerak laku manusia dapat menghasil miliaran bait sajak. Namun, yang sanggup menuliskannya hanya jiwa-jiwa yang mengakui bahwa cinta itu ada. Cinta tumbuh subur, bahkan tanpa diminta.
Pada sajak berjudul Matajantung, tampak sekali bahwa Alfin merasakan cintanya kepada sang (calon) istri pertama kali hadir dengan tiba-tiba. Alfin menuliskan, “di antara mataku dan jantungku,/ entah siapa yang paling merasa uwuwu;/ mataku menangkapmu pertama kali,/ jantungku menyebutmu berkali-kali.” (halaman 25)
baca juga: Kamu Merasa Cowok Fashionable? 5 Buku Ini Wajib Dibaca!
Alfin juga membawa nukilan satu lagu ke dalam sajaknya. Adalah To the Bone yang dipopulerkan Pamungkas yang Alfin bawa ke dalam sajak berjudul Kontaminasi Kecemasan. Sebagai salah satu proses kreatif, cara ini lumrah adanya. Musik, dalam hal ini, dapat membantu seorang seniman menyelesaikan hasil karyanya. Maka, jangan heran bila ada seniman yang merasa tidak bisa bekerja tanpa iringan musik. Harmoni suara-suara itu akan menenangkan otak mereka, bahkan dapat memancing ide-ide lain.
Maka, mereka tak hanya bicara cinta antara keduanya, melainkan cinta mereka kepada orang lain. Mutia, misalnya, bicara mengenai hubungannya dengan sang ayah melalui sajak berjudul Lirik. Sang cinta pertama pernah begitu tidak ia sukai, pernah saling tak sepakat. Akan tetapi, segala jarak itu luruh bersama maaf kala ia berpamitan untuk pindah ke rumah baru bersama suaminya. Bagi Mutia, kebenciannya terhadap sang ayah dapat mempengaruhi kinerja otaknya. Ia jadi tidak bisa berpikir jernih. Selalu merasa ada yang belum selesai, belum tuntas.
baca juga: Buku Sihir Tertua Ditemukan Dalam Tablet Kuno Berusia 3.500 Tahun
Pada sajak lain, Mutia bertutur soal sang ibu. Betapa Ibu adalah sosok yang memeluknya sejak dalam kandungan hingga ia telah berumah tangga. Tampak bahwa sesuatu yang indah itu tidak harus rumit dan aneh. Jalinan kata sederhana pun dapat mengungkapkan sejuta makna mendalam.
Proses Kreatif
Kita mungkin sepakat bahwa proses kreatif penulisan sajak tidak serumit novel. Tidak perlu ada riset mendalam terhadap detail-detail faktual. Pun, tidak selalu membutuhkan pembacaan dari orang lain ketika hendak dipublikasikan. Ia bergantung sepenuhnya kepada kepekaan penulisnya. Bahkan, ia semacam tidak perlu menerima protes dari siapa pun yang nanti membacanya.
Kepekaan dalam sajak hadir melalui suasana, olah rasa yang muncul, bahkan bahasa tubuh. Gerak laku manusia dapat menghasil miliaran bait sajak. Namun, yang sanggup menuliskannya hanya jiwa-jiwa yang mengakui bahwa cinta itu ada. Cinta tumbuh subur, bahkan tanpa diminta.
Pada sajak berjudul Matajantung, tampak sekali bahwa Alfin merasakan cintanya kepada sang (calon) istri pertama kali hadir dengan tiba-tiba. Alfin menuliskan, “di antara mataku dan jantungku,/ entah siapa yang paling merasa uwuwu;/ mataku menangkapmu pertama kali,/ jantungku menyebutmu berkali-kali.” (halaman 25)
baca juga: Kamu Merasa Cowok Fashionable? 5 Buku Ini Wajib Dibaca!
Alfin juga membawa nukilan satu lagu ke dalam sajaknya. Adalah To the Bone yang dipopulerkan Pamungkas yang Alfin bawa ke dalam sajak berjudul Kontaminasi Kecemasan. Sebagai salah satu proses kreatif, cara ini lumrah adanya. Musik, dalam hal ini, dapat membantu seorang seniman menyelesaikan hasil karyanya. Maka, jangan heran bila ada seniman yang merasa tidak bisa bekerja tanpa iringan musik. Harmoni suara-suara itu akan menenangkan otak mereka, bahkan dapat memancing ide-ide lain.
tulis komentar anda