Meraba dan Mengkhidmati Cinta Sang Maha

Sabtu, 23 Oktober 2021 - 09:42 WIB
loading...
Meraba dan Mengkhidmati Cinta Sang Maha
Meraba dan Mengkhidmati Cinta Sang Maha
A A A
Sekar Mayang
Editor, penulis, pengulas buku bermukim di Bali

SIAPA yang tidak menyukai keindahan? Semua makhluk hidup, baik yang memiliki kesadaran dan yang tidak, pasti menyukai keindahan. Bahkan, seseorang yang tidak mengerti seni pun akan mencari bentuk atau bebunyian yang ideal, yang nyaman diserap pancaindra.

baca juga: HUT ke-7, MNC Bank Berbagi Buku Bacaan untuk Anak-anak Sulawesi Tengah

Ketika kita memperhatikan sarang lebah, kita akan menemukan bentuk teratur. Begitu pula dengan sarang burung, terangkai rapi jail. Tidak ada yang mengajari mereka membuat aneka bentuk dan pola. Bukan keterampilan seni yang membuat mereka ahli, melainkan insting yang menuntun mereka. Pun dengan tumbuhan, secara mengagumkan mereka membentuk juluran cabang dan ranting yang ideal sembari mengikuti arah datangnya cahaya. Begitu pula manusia, hidupnya berisi seluruh keindahan dan akan selalu mencarinya.

Ada banyak cara manusia menuangkan keindahan dalam wujud materi fisik maupun non fisik. Melalui bebunyian, melalui paduan warna-warni, melalui rangkaian kata, melalui lekuk-tikung dalam pahat. Alfin Rizal dan Mutia Senja memilih sajak sebagai media menggambarkan keindahan dalam hidup.

Dengan Seperangkat Cinta dan Rindu Dibayar Tunai adalah kumpulan sajak. Sebagian besar isinya adalah ungkapan perasaan keduanya dalam menjalin sebuah hubungan. Mulai dari masa berkenalan sampai akhirnya mereka menikah dan memiliki buah hati. Segalanya tertulis secara jujur, gamblang, tanpa topeng.

baca juga: Gandeng Nyalanesia, Disdikbud Sultra Cetak 500 Judul Buku Karya Siswa-Guru

Sajak merupakan gubahan karya sastra yang sangat mementingkan keselarasan bunyi bahasa, baik kesepadanan bunyi, kekontrasan, maupun kesamaan (KBBI daring, diakses 7 Oktober 2021). Jika biasanya dalam satu buku tertuang pemikiran satu tema dari satu orang, di buku ini, Alfin dan Mutia bersahut-sahutan dalam harmoni. Ini bukan semata mereka sepasang suami istri, melainkan sebuah kesepakatan tak tertulis bahwa walaupun mereka adalah dua kepala yang berbeda namun utuh dalam cinta.

Bicara cinta, tentu bukan hanya isu yang dimiliki muda-mudi dimabuk asmara. Cinta akan selalu bersifat universal: dapat dimiliki siapa pun, dan apa pun. Mulai dari manusia yang baru lahir, sampai yang hendak menjemput senja. Mulai dari hewan paling jinak, sampai hiu putih dan paus Orca. Mulai dari kecambah, sampai pohon yang nyaris lapuk. Cinta akan selalu bersinergi dengan vibrasi baik, membuat segala kehidupan di Semesta berjalan dengan semestinya. Itulah yang tertangkap dari kumpulan sajak Alfin dan Mutia.

Maka, mereka tak hanya bicara cinta antara keduanya, melainkan cinta mereka kepada orang lain. Mutia, misalnya, bicara mengenai hubungannya dengan sang ayah melalui sajak berjudul Lirik. Sang cinta pertama pernah begitu tidak ia sukai, pernah saling tak sepakat. Akan tetapi, segala jarak itu luruh bersama maaf kala ia berpamitan untuk pindah ke rumah baru bersama suaminya. Bagi Mutia, kebenciannya terhadap sang ayah dapat mempengaruhi kinerja otaknya. Ia jadi tidak bisa berpikir jernih. Selalu merasa ada yang belum selesai, belum tuntas.

baca juga: Buku Sihir Tertua Ditemukan Dalam Tablet Kuno Berusia 3.500 Tahun

Pada sajak lain, Mutia bertutur soal sang ibu. Betapa Ibu adalah sosok yang memeluknya sejak dalam kandungan hingga ia telah berumah tangga. Tampak bahwa sesuatu yang indah itu tidak harus rumit dan aneh. Jalinan kata sederhana pun dapat mengungkapkan sejuta makna mendalam.

Proses Kreatif

Kita mungkin sepakat bahwa proses kreatif penulisan sajak tidak serumit novel. Tidak perlu ada riset mendalam terhadap detail-detail faktual. Pun, tidak selalu membutuhkan pembacaan dari orang lain ketika hendak dipublikasikan. Ia bergantung sepenuhnya kepada kepekaan penulisnya. Bahkan, ia semacam tidak perlu menerima protes dari siapa pun yang nanti membacanya.

Kepekaan dalam sajak hadir melalui suasana, olah rasa yang muncul, bahkan bahasa tubuh. Gerak laku manusia dapat menghasil miliaran bait sajak. Namun, yang sanggup menuliskannya hanya jiwa-jiwa yang mengakui bahwa cinta itu ada. Cinta tumbuh subur, bahkan tanpa diminta.

Pada sajak berjudul Matajantung, tampak sekali bahwa Alfin merasakan cintanya kepada sang (calon) istri pertama kali hadir dengan tiba-tiba. Alfin menuliskan, “di antara mataku dan jantungku,/ entah siapa yang paling merasa uwuwu;/ mataku menangkapmu pertama kali,/ jantungku menyebutmu berkali-kali.” (halaman 25)

baca juga: Kamu Merasa Cowok Fashionable? 5 Buku Ini Wajib Dibaca!

Alfin juga membawa nukilan satu lagu ke dalam sajaknya. Adalah To the Bone yang dipopulerkan Pamungkas yang Alfin bawa ke dalam sajak berjudul Kontaminasi Kecemasan. Sebagai salah satu proses kreatif, cara ini lumrah adanya. Musik, dalam hal ini, dapat membantu seorang seniman menyelesaikan hasil karyanya. Maka, jangan heran bila ada seniman yang merasa tidak bisa bekerja tanpa iringan musik. Harmoni suara-suara itu akan menenangkan otak mereka, bahkan dapat memancing ide-ide lain.

Tampilan sajak tidak melulu pendek dan ringkas. Ia bisa menjelma sebagai narasi panjang namun tetap liris dan terbaca laras. Selayaknya sajak-sajak panjang Khalil Gibran, baik Alfin maupun Mutia kadang menuliskan bentuk serupa. Misalnya pada sajak dengan judul Lirik yang ditulis Mutia Senja kala bercerita soal ayah. Atau, pada sajak berjudul Surat Cinta yang Ditulis Ulang, yang dirangkai Alfin dalam rentang 2018-2021.

Mari kita simak penggalan dari Merangkum Buku Harian yang digubah Mutia. “kisah kita bukan sebuah pagi yang menerbitkan matahari. kita pernah memulai paragraf dari waktu yang boleh genap—boleh juga ganjil. pertemuan kita seerat pelukan sepasang kekasih yang lama tak bertemu. rindu selalu menjadi obrolan yang boleh masuk akal—boleh juga tidak. mungkin cinta senang memulai sesuatu dari basabasi atau guyonan yang tak lucu. kita tertawa dan bersedih seolah tahu bahwa masa depan setelahnya adalah hidup yang baik-baik saja. kita mencuri pandang dengan detik waktu yang kadang terasa lamban—kadang juga berjalan terlalu cepat. malam tiba dan meninabobokan kita bersama bagian penutup untuk hari berikutnya.” (halaman 93)

baca juga: Milad Ilkom UNY Luncurkan Tujuh Buku Komunikasi

Jika dilihat dari jumlah kata serta bentuk kalimatnya, sebagian orang mungkin sepakat menyebut penggalan di atas adalah bagian dari cerita mini. Beberapa kalimatnya cukup kompleks, agak bertentangan dengan rumus sajak yang pendek dan ringkas.

Dalam seni, pakem kadang tidak berlaku, apalagi kita mengenal licentia poetica untuk penulisan puisi atau sajak. Batasan-batasan biasanya akan membuat karya terasa nanggung, tidak utuh. Namun, sebenarnya bukan tanpa batasan sama sekali. Tetap saja garis itu ada, dibentuk oleh penulisnya sendiri, sadar atau tidak sadar. Pembaca pun dapat merasakan batasan-batasan, meskipun tidak bisa menjatuhi protes.

Maka, kita perlu melakukan pembiaran terhadap mereka yang sedang tenggelam dalam diksi mendayu-dayu. Mereka bukan sedang menggombali seisi jagat. Mereka hanya sedang meraba dan mengkhidmati cinta Sang Maha. Sekian.

Judul buku : Dengan Seperangkat Cinta dan Rindu Dibayar Tunai

Penulis : Alfin Rizal dan Mutia Senja

Penerbit : DIVA Press

Cetak : Pertama, September 2021

Tebal : 124 halaman

ISBN : 978-623-293-497-9
(ymn)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2193 seconds (0.1#10.140)