Soal Amandemen UUD 45, Bamsoet Singgung Perlunya Utusan Golongan di MPR
Senin, 18 Oktober 2021 - 20:22 WIB
JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyinggung soal perlunya utusan golongan sebagai bagian keanggotaan MPR melalui amendemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45).
Hal ini disampaikannya dalam MPR RI kembali menggelar Focus Group Discussion (FGD) MPR RI yang bertajuk "MPR Sebagai Lembaga Perwakilan Inklusif" di Media Center DPR RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (18/10/2021).
Sebagai pembicara kunci, pria yang akrab disapa Bamsoet ini mengungkapkan, sebelum amendemen keempat, keanggotaan MPR RI terdiri dari anggota DPR, Utusan Daerah, dan Utusan Golongan. Setelah amendemen keempat, keanggotaan MPR RI hanya terdiri dari anggota DPR RI sebagai representasi partai politik, dan anggota DPD RI sebagai representasi kepentingan daerah.
Sedangkan Utusan Golongan dihapuskan. Kini banyak pihak, seperti yang pernah disampaikan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengurus Pusat Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia serta berbagai organisasi kemasyarakatan lainnya, melihat bahwa unsur Utusan Golongan sangat penting untuk dihidupkan kembali dalam keanggotaan MPR RI.
"Wacana menghadirkan kembali Utusan Golongan sebagai anggota MPR RI, merupakan wacana menarik yang perlu dielaborasi lebih jauh. Ruang dialektikanya harus dibuka lebar, tidak boleh ditutup apalagi buru-buru ditangkal. Baik yang pro maupun kontra bisa menyampaikan argumentasinya," kata Bamsoet dalam FGD.
Mantan Ketua DPR RI ini menerangkan, banyak pihak berpendapat, kehadiran Utusan Golongan akan menjadikan MPR RI sebagai lembaga perwakilan yang inklusif, yang mengikutsertakan seluruh unsur dalam masyarakat Indonesia yang plural. Kehadiran Utusan Golongan juga membuat kepentingan masyarakat yang tidak terwakili oleh partai politik dan daerah, bisa terakomodir. Termasuk golongan yang karena aturan undang-undang, hak pilih dan/atau hak dipilihnya ditiadakan. "Sebagaimana pernah disampaikan pakar kebangsaan Yudi Latif dalam salah satu seri FGD yang diselenggarakan MPR RI bersama Aliansi Kebangsaan, bahwa keberadaan Utusan Golongan berangkat dari prinsip keadilan multikulturalisme yang mengakui adanya perbedaan-perbedaan golongan dalam masyarakat," ujar Bamsoet.
Menurut Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini, dengan adanya perbedaan golongan ini bisa dijelaskan dengan fakta bahwa setiap warga negara, bahkan jika dipandang sebagai subjek hukum, bukanlah individu-individu abstrak yang tercerabut dari akar-akar sosialnya. Dalam kaitannya dengan akar sosial tersebut, pemenuhan hak individu bisa terkait dengan keadaan golongannya.
Sementara itu, Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bidang Hubungan Kelembagaan, Diani Sadiawati menekankan pemerintah sangat membutuhkan perencanaan dalam melaksanakan pembangunan nasional. Menurutnya, rencana MPR RI melahirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), proses penyusunan dan penetapannya harus dilakukan secara inklusif, merepresentasikan seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
"Sesuai prinsip universal dari pelaksanaan Sustainable Development Goals (SDGs), yakni 'leave no one behind' (tidak ada yang ditinggalkan). Prinsip ini memastikan bahwa tidak ada peraturan, kebijakan, dan praktik sosial yang mengabaikan atau bahkan mengeksklusi kelompok-kelompok tertentu di dalam masyarakat. Pemerintah Indonesia secara serius berkomitmen terhadap pelaksanaan SDGs dengan disahkannya Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan," ujar Diani di FGD.
Hal ini disampaikannya dalam MPR RI kembali menggelar Focus Group Discussion (FGD) MPR RI yang bertajuk "MPR Sebagai Lembaga Perwakilan Inklusif" di Media Center DPR RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (18/10/2021).
Sebagai pembicara kunci, pria yang akrab disapa Bamsoet ini mengungkapkan, sebelum amendemen keempat, keanggotaan MPR RI terdiri dari anggota DPR, Utusan Daerah, dan Utusan Golongan. Setelah amendemen keempat, keanggotaan MPR RI hanya terdiri dari anggota DPR RI sebagai representasi partai politik, dan anggota DPD RI sebagai representasi kepentingan daerah.
Sedangkan Utusan Golongan dihapuskan. Kini banyak pihak, seperti yang pernah disampaikan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengurus Pusat Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia serta berbagai organisasi kemasyarakatan lainnya, melihat bahwa unsur Utusan Golongan sangat penting untuk dihidupkan kembali dalam keanggotaan MPR RI.
"Wacana menghadirkan kembali Utusan Golongan sebagai anggota MPR RI, merupakan wacana menarik yang perlu dielaborasi lebih jauh. Ruang dialektikanya harus dibuka lebar, tidak boleh ditutup apalagi buru-buru ditangkal. Baik yang pro maupun kontra bisa menyampaikan argumentasinya," kata Bamsoet dalam FGD.
Baca Juga
Mantan Ketua DPR RI ini menerangkan, banyak pihak berpendapat, kehadiran Utusan Golongan akan menjadikan MPR RI sebagai lembaga perwakilan yang inklusif, yang mengikutsertakan seluruh unsur dalam masyarakat Indonesia yang plural. Kehadiran Utusan Golongan juga membuat kepentingan masyarakat yang tidak terwakili oleh partai politik dan daerah, bisa terakomodir. Termasuk golongan yang karena aturan undang-undang, hak pilih dan/atau hak dipilihnya ditiadakan. "Sebagaimana pernah disampaikan pakar kebangsaan Yudi Latif dalam salah satu seri FGD yang diselenggarakan MPR RI bersama Aliansi Kebangsaan, bahwa keberadaan Utusan Golongan berangkat dari prinsip keadilan multikulturalisme yang mengakui adanya perbedaan-perbedaan golongan dalam masyarakat," ujar Bamsoet.
Menurut Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini, dengan adanya perbedaan golongan ini bisa dijelaskan dengan fakta bahwa setiap warga negara, bahkan jika dipandang sebagai subjek hukum, bukanlah individu-individu abstrak yang tercerabut dari akar-akar sosialnya. Dalam kaitannya dengan akar sosial tersebut, pemenuhan hak individu bisa terkait dengan keadaan golongannya.
Sementara itu, Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bidang Hubungan Kelembagaan, Diani Sadiawati menekankan pemerintah sangat membutuhkan perencanaan dalam melaksanakan pembangunan nasional. Menurutnya, rencana MPR RI melahirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), proses penyusunan dan penetapannya harus dilakukan secara inklusif, merepresentasikan seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
"Sesuai prinsip universal dari pelaksanaan Sustainable Development Goals (SDGs), yakni 'leave no one behind' (tidak ada yang ditinggalkan). Prinsip ini memastikan bahwa tidak ada peraturan, kebijakan, dan praktik sosial yang mengabaikan atau bahkan mengeksklusi kelompok-kelompok tertentu di dalam masyarakat. Pemerintah Indonesia secara serius berkomitmen terhadap pelaksanaan SDGs dengan disahkannya Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan," ujar Diani di FGD.
Lihat Juga :
tulis komentar anda