Moderasi Beragama di Kampus
Sabtu, 09 Oktober 2021 - 06:55 WIB
Muhammad Itsbatun Najih
Alumnus Madrasah Ibtidaul Falah, Kudus
Ekstremisme beragama bisa muncul di mana saja, termasuk di kampus. Masih segar di ingatan beberapa tempo silam, sejumlah perguruan tinggi mengeluarkan edaran larangan terhadap aneka gerakan dan paham yang mencoba mendoktrin para mahasiswa dengan paham anti-Pancasila, menggugat NKRI . Bentuk-bentuk lain ekstremisme ialah kemudahan memvonis bidah, syirik, dan kafir kepada pihak/teman berbeda paham keagamaan.
baca juga: Milad Ilkom UNY Luncurkan Tujuh Buku Komunikasi
Timbul pertanyaan pula, sejauh mana kurikulum di internal kampus mampu mewedarkan jalan tengah (moderasi) pendidikan keberagamaan kepada mahasiswa. Penguatan moderasi mestinya terlebih dahulu terpatri dari perguruan tinggi. Karena itu, salah satu upaya menumbuhkan keberagamaan inklusif di kampus sekaligus memagari dari masuknya pemahaman ekstremis, bisa melalui pendekatan reformulasi dan reformasi pada mata kuliah berbasis keagamaan.
baca juga: Tujuh Buku Biografi yang Direkomendasikan Najwa Shihab
Di sejumlah perguruan tinggi, terdapat mata kuliah dan atau penjurusan bersebut Studi Islam (SI). Mata kuliah ini mengupas materi agama Islam: Alquran, Hadis, hingga sejarah keislaman. Mata kuliah ini biasanya dijadikan sebatas pengenalan/pengantar belajar agama dengan bobot dua-empat SKS. Bagi mahasiswa perguruan tinggi/universitas keislaman yang berkuliah di jurusan “umum”, mata kuliah ini, amatlah penting. Lantaran, kiranya pada mata kuliah tersebut sebagai wahana belajar agama di kampus.
baca juga: Nalar Sains untuk Kemajuan Indonesia
Karena itu, perhatian perlu diarahkan pada substansi dan materi yang terkandung dalam buku-buku yang menjadi rujukan mata kuliah SI. Gaya pemaparan buku SI meski sudah lolos uji, bukan berarti teranggap paripurna untuk dijadikan buku panduan mahasiswa yang nirrevisi dan tinjau ulang substansi. Hal ini dikarenakan, aneka persoalan dan dinamika keberagamaan terus bertumbuh yang menuntut respons faktual-kontekstual. Dengan kata lain, SI sebagai basis pengetahuan agama bagi civitas akademik juga perlu pengembangan wacana aktual dan menyesuaikan perkembangan dialektika isu kekinian.
Alumnus Madrasah Ibtidaul Falah, Kudus
Ekstremisme beragama bisa muncul di mana saja, termasuk di kampus. Masih segar di ingatan beberapa tempo silam, sejumlah perguruan tinggi mengeluarkan edaran larangan terhadap aneka gerakan dan paham yang mencoba mendoktrin para mahasiswa dengan paham anti-Pancasila, menggugat NKRI . Bentuk-bentuk lain ekstremisme ialah kemudahan memvonis bidah, syirik, dan kafir kepada pihak/teman berbeda paham keagamaan.
baca juga: Milad Ilkom UNY Luncurkan Tujuh Buku Komunikasi
Timbul pertanyaan pula, sejauh mana kurikulum di internal kampus mampu mewedarkan jalan tengah (moderasi) pendidikan keberagamaan kepada mahasiswa. Penguatan moderasi mestinya terlebih dahulu terpatri dari perguruan tinggi. Karena itu, salah satu upaya menumbuhkan keberagamaan inklusif di kampus sekaligus memagari dari masuknya pemahaman ekstremis, bisa melalui pendekatan reformulasi dan reformasi pada mata kuliah berbasis keagamaan.
baca juga: Tujuh Buku Biografi yang Direkomendasikan Najwa Shihab
Di sejumlah perguruan tinggi, terdapat mata kuliah dan atau penjurusan bersebut Studi Islam (SI). Mata kuliah ini mengupas materi agama Islam: Alquran, Hadis, hingga sejarah keislaman. Mata kuliah ini biasanya dijadikan sebatas pengenalan/pengantar belajar agama dengan bobot dua-empat SKS. Bagi mahasiswa perguruan tinggi/universitas keislaman yang berkuliah di jurusan “umum”, mata kuliah ini, amatlah penting. Lantaran, kiranya pada mata kuliah tersebut sebagai wahana belajar agama di kampus.
baca juga: Nalar Sains untuk Kemajuan Indonesia
Karena itu, perhatian perlu diarahkan pada substansi dan materi yang terkandung dalam buku-buku yang menjadi rujukan mata kuliah SI. Gaya pemaparan buku SI meski sudah lolos uji, bukan berarti teranggap paripurna untuk dijadikan buku panduan mahasiswa yang nirrevisi dan tinjau ulang substansi. Hal ini dikarenakan, aneka persoalan dan dinamika keberagamaan terus bertumbuh yang menuntut respons faktual-kontekstual. Dengan kata lain, SI sebagai basis pengetahuan agama bagi civitas akademik juga perlu pengembangan wacana aktual dan menyesuaikan perkembangan dialektika isu kekinian.
Lihat Juga :
tulis komentar anda