Pakar Hukum Tata Negara Bela Yusril soal Gugatan AD/ART Demokrat ke MA
Minggu, 03 Oktober 2021 - 23:36 WIB
Baca juga: Moeldoko Kudeta Jabatan AHY, Annisa Pohan: AD ART Tidak Sah Apalagi KLB-nya
Pada level ini, Fahri melanjutkan, semua pihak haruslah menerima legal action ini sebagai sebuah langkah dan keputusan yang bersifat terobosan breakthrough tentunya suatu terobosan yang cerdas dan tepat jika dilihat dari aspek ilmu hukum yang tentunya di lindungi oleh konstitusi.
Menurut Fahri, perdebatan uji materi terhadap AD/ART Partai Demokrat ke MA idealnya jangan dicampuradukan secara politis, agar sebangun dengan spirit serta kehendak pencari keadilan itu sendiri, yang mana telah mengarahkan perselisihan ini ke koridor hukum, dan tidak membangun opini atas perselisihan itu menjadi isu politis atau perdebatan kusir dan liar yang tidak ada ilmunya.
"Sejak semula para pencari keadilan yaitu 4 kader Demokrat itu lebih memilih penyelesaian melalui mekanisme peradilan yang jauh lebih beradab daripada membangun perselisihan pada ruang-ruang publik atau yang tidak pada tempatnya," tandas Fahri.
Fahri Bachmid mengatakan, permohonan pengujian formiil atas prosedur pembentukan AD/ART Demokrat 2020; dan dan pengujian materiil atas muatan pasal-pasal yang termaktub dalam AD/ART 2020 yang telah disahkan oleh Menkumham bernomor Nomor: M.H-09.AH.11.01 Tahun 2020 adalah murni masalah yuridis yang tidak perlu ditafsirkan, atau sengaja membangun tafsir yang bercorak politis. Dengan demikian, sangatlah elok, jika segala berdebatan sedapat mungkin diorientasikan pada perdebatan yang jauh lebih akademik dan konstitusional dan bukan perdebatan kusir yang bersifat politis.
"Sesungguhnya isu hukum yang dikemukakan oleh Pemohon dalam Permohonan JR AD/ART ke MA ini adalah terkait dengan Perubahan AD ART Partai Demokrat Tahun 2015 menjadi AD ART Partai Demokrat Tahun 2020 yang secara formiil dibentuk dengan cara-cara yang tidak diketahui oleh peserta Kongres 2020 itu sendiri. Di dalamnya ternyata terdapat perubahan-perubahan fundamental organ-organ partai, terutama kedudukan Majelis Tinggi Partai Demokrat, kedudukan Ketua Umum, mekanisme pelaksanaan kongres luar biasa, dan mekanisme penyelesaian sengketa internal Partai Demokrat," kata Fahri Bachmid.
Dari perubahan-perubahan tersebut Majelis Tinggi dan Ketua Umum Partai Demokrat diberikan kewenangan yang sangat besar, sehingga menggeser asas kedaulatan seluruh anggota. Perubahan ini, menurut Fahri, telah menyebabkan Partai Demokrat bukan lagi sebuah partai demokratis, melainkan berpotensi menjadikanya sebagai sebuah partai yang oligarkis, feodal dan Opresif yang bertentangan dengan norma-norma konstitusi di dalam UUD NRI 1945 dan UU Parpol.
"Sehingga tepat, jika pihak-pihak yang berkepentingan telah harus mengeser perdebatan ini menjadi perdebatan yuridis yang lebih argumentatif akademis kedalam ruang persidangan, daripada membangun tafsir politis serta agitatif yang kering substansi," paparnya.
Menurut Fahri, proses pengajuan judicial review AD/ART Demokrat ke MA tersebut secara yuridis akan berimplikasi menjadi terobosan hukum rule breaking penting dan signifikan dalam tata hukum nasional oleh MA. Secara teoritik hal tersebut sangat dibolehkan kalau bukan dikatakan dianjurkan. Artinya, kata Fahri, ada implikasi yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum terhadap hal-hal atau keadaan yang tidak atau belum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian hukum itu sendiri rechtsonzekerheid atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di masyarakat, yang lebih jauh lagi akan berakibat kepada kekacauan hukum rechtsverwarring. Dan itulah urgensi dan pentingnya dari “lagal action” ini sesungguhnya.
Pada level ini, Fahri melanjutkan, semua pihak haruslah menerima legal action ini sebagai sebuah langkah dan keputusan yang bersifat terobosan breakthrough tentunya suatu terobosan yang cerdas dan tepat jika dilihat dari aspek ilmu hukum yang tentunya di lindungi oleh konstitusi.
Menurut Fahri, perdebatan uji materi terhadap AD/ART Partai Demokrat ke MA idealnya jangan dicampuradukan secara politis, agar sebangun dengan spirit serta kehendak pencari keadilan itu sendiri, yang mana telah mengarahkan perselisihan ini ke koridor hukum, dan tidak membangun opini atas perselisihan itu menjadi isu politis atau perdebatan kusir dan liar yang tidak ada ilmunya.
"Sejak semula para pencari keadilan yaitu 4 kader Demokrat itu lebih memilih penyelesaian melalui mekanisme peradilan yang jauh lebih beradab daripada membangun perselisihan pada ruang-ruang publik atau yang tidak pada tempatnya," tandas Fahri.
Fahri Bachmid mengatakan, permohonan pengujian formiil atas prosedur pembentukan AD/ART Demokrat 2020; dan dan pengujian materiil atas muatan pasal-pasal yang termaktub dalam AD/ART 2020 yang telah disahkan oleh Menkumham bernomor Nomor: M.H-09.AH.11.01 Tahun 2020 adalah murni masalah yuridis yang tidak perlu ditafsirkan, atau sengaja membangun tafsir yang bercorak politis. Dengan demikian, sangatlah elok, jika segala berdebatan sedapat mungkin diorientasikan pada perdebatan yang jauh lebih akademik dan konstitusional dan bukan perdebatan kusir yang bersifat politis.
"Sesungguhnya isu hukum yang dikemukakan oleh Pemohon dalam Permohonan JR AD/ART ke MA ini adalah terkait dengan Perubahan AD ART Partai Demokrat Tahun 2015 menjadi AD ART Partai Demokrat Tahun 2020 yang secara formiil dibentuk dengan cara-cara yang tidak diketahui oleh peserta Kongres 2020 itu sendiri. Di dalamnya ternyata terdapat perubahan-perubahan fundamental organ-organ partai, terutama kedudukan Majelis Tinggi Partai Demokrat, kedudukan Ketua Umum, mekanisme pelaksanaan kongres luar biasa, dan mekanisme penyelesaian sengketa internal Partai Demokrat," kata Fahri Bachmid.
Dari perubahan-perubahan tersebut Majelis Tinggi dan Ketua Umum Partai Demokrat diberikan kewenangan yang sangat besar, sehingga menggeser asas kedaulatan seluruh anggota. Perubahan ini, menurut Fahri, telah menyebabkan Partai Demokrat bukan lagi sebuah partai demokratis, melainkan berpotensi menjadikanya sebagai sebuah partai yang oligarkis, feodal dan Opresif yang bertentangan dengan norma-norma konstitusi di dalam UUD NRI 1945 dan UU Parpol.
"Sehingga tepat, jika pihak-pihak yang berkepentingan telah harus mengeser perdebatan ini menjadi perdebatan yuridis yang lebih argumentatif akademis kedalam ruang persidangan, daripada membangun tafsir politis serta agitatif yang kering substansi," paparnya.
Menurut Fahri, proses pengajuan judicial review AD/ART Demokrat ke MA tersebut secara yuridis akan berimplikasi menjadi terobosan hukum rule breaking penting dan signifikan dalam tata hukum nasional oleh MA. Secara teoritik hal tersebut sangat dibolehkan kalau bukan dikatakan dianjurkan. Artinya, kata Fahri, ada implikasi yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum terhadap hal-hal atau keadaan yang tidak atau belum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian hukum itu sendiri rechtsonzekerheid atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di masyarakat, yang lebih jauh lagi akan berakibat kepada kekacauan hukum rechtsverwarring. Dan itulah urgensi dan pentingnya dari “lagal action” ini sesungguhnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda